Tentang Hujan dan Kebencian



"Ayah, aku tak sanggup lagi!" teriakku di antara suara derasnya hujan. "Hujan ini terlalu deras. Udara terlalu dingin."

"Tak apa, Nak. Ada ayah di sini."

Lalu dedaunan itu membentuk pelindung di atas kepalaku, melindungiku dari serangan air hujan. Ah, aku tak suka hujan. Titik-titik airnya yang jatuh dengan deras seperti ini selalu menyakitiku.

"Jangan begitu." Teguran itu terdengar halus, tapi tegas dan jelas. Hujan sudah mulai reda, hanya tinggal gerimis. "Jangan membenci hujan," katanya seraya membuka pelindung yang dibuatnya di atas kepalaku.

"Mengapa tak boleh? Tetes-tetes airnya menyakitiku, Ayah," keluhku.

"Sebenci apa pun kita padanya, dia tak akan berubah. Dia akan seperti itu. Tetes-tetes airnya tetap akan menyakiti kita jika dia turun dengan deras. Kita tak akan bisa membuatnya berubah."

Aku membuang muka, malas menatapi wajah ayah yang tak pernah kulihat digantungi amarah itu.

"Jadi kalau ada yang menyakitiku, aku harus diam saja begitu? Tak boleh membenci? Jika membenci saja tak boleh, pasti ayah akan menyuruhku untuk tak juga membalas, kan?"

Aku merasakan sentuhan pelan di puncak kepalaku. Lalu aku kembali menengadah, memandangi wajah ayah yang berlatar belakang langit yang mulai kembali cerah. Aku selalu tak bisa menolak godaan untuk tak menatapnya jika dia mulai menyentuh kepalaku penuh kasih sayang seperti itu.

"Jika ada yang menyakitimu, sampaikan padanya dengan cara yang baik. Jika kamu merasa mampu mengubah sesuatu, maka ubahlah. Jika kamu ingin membalas, balaslah. Tapi aku pernah mendengar seorang manusia berkata jika mata harus dibalas dengan mata, maka dunia ini akan dipenuhi kebutaan. Maka jika kamu ingin membalas, balaslah dengan kasih sayang."

"Aku harus menyayangi mereka yang menyakitiku?" tanyaku tak terima.

"Ya. Harus. Contohlah bunga. Ketika mereka dihancurkan, mereka tidak membalas menyakiti, mereka justru menyebarkan keharuman. Lalu doakan semua hal baik untuk mereka yang menyakitimu agar Allah mengubah perilaku mereka, membuka hati mereka untuk kebaikan, dan menyadarkan mereka bahwa mereka salah. Bukankah akan lebih baik jika kita berusaha membuat dunia ini menjadi tempat tinggal yang menyenangkan untuk semuanya dan bukan hanya untuk kita?"

Aku memainkan ujung tangkaiku, memainkan daun hijau yang menggantung di sana. Tak masuk akal. Masak iya aku tak boleh membenci mereka yang menyakitiku.

"Membenci itu hanya akan menyakiti diri kita sendiri, membebani pikiran kita sendiri, meracuni hati kita sendiri. Apalagi membenci pada hal-hal yang tak bisa kita ubah." Ayah menyentuh puncak kepalaku lagi. "Jika kamu tak bisa mengubah apa yang kamu hadapi, ubahlah dirimu sendiri. Ubah hatimu. Ubah cara pandangmu. Karena kadang apa yang tak kita sukai adalah sesuatu yang baik untuk kita. Bisa jadi."

"Bahkan hujan deras itu?"

"Ya. Bahkan hujan deras itu. Setiap kali hujan turun, airnya akan masuk ke dalam tanah agar bisa diserap akarmu. Agar kamu bisa hidup. Agar kamu mampu bekerja lalu menghasilkan oksigen untuk menghidupi makhluk lain di bumi ini, memenuhi tugas dari Allahmu."

Aku melirik wajah ayah. Warna hijaunya masih saja menawarkan keteduhan luar biasa.

"Hujan deras juga akan melatihmu untuk kuat, untuk tak mudah menyerah, untuk tak hanya menjadi makhluk yang suka mengeluh. Dia menjauhkanmu dari rasa tak bersyukur. Jika kamu terbiasa mengeluh, maka kamu akan lupa bagaimana caranya bersyukur."

"Jadi, aku tak boleh membenci hujan." Aku menyimpulkan dengan penuh pemahaman.

"Ya. KITA tak boleh membenci hujan. KITA tak boleh membenci."


Photo credit: Wh DYoe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil