Aib

Image source: pinterest


"Aib," katanya.

Kamu mengangkat wajah dengan kedua mata yang sembab, menatapnya.

"Aib itu seharusnya ditutupi, bukan diumbar. Sedangkan Alloh saja menutupi aibmu. Mengapa kau ini dengan bodohnya suka sekali mengumbar aib sendiri."

Kamu masih menatapnya. Kedua matamu masih saja sesembab sebelumnya.

"Rumah tangga itu milik berdua. Kebaikanya adalah kebaikan untuk kedua orang yang menjalaninya. Aibnya adalah aib untuk keduanya. Masalah rumah tangga itu aib. Aib itu ditutupi, bukan diumbar."

"Dia berselingkuh. Setelah semua yang aku berikan padanya, dia berselingkuh!" katamu dengan suara yang sarat rasa sakit hati.

"Masalah itu ada untuk diselesaikan, bukan hanya sekedar menunjuk siapa yang salah."

"Kau tak tahu rasanya."

"Kau juga tak tahu apa yang orang lain pernah alami."

"Bicara memang mudah. Berkomentar memang ringan."

"Mengeluh juga mudah. Mencari kambing hitam juga ringan." Ketenangan air mukanya tak goyah. "Masalah itu ada untuk diselesaikan," ulangnya.

Kamu tak bergeming.

"Kau punya Tuhan, kan? Lalu mengapa kau meratap pada sosial media dan bukan pada-Nya? Kau punya agama, kan? Agamamu mengajarkan tentang ke mana kau seharusnya mencari bantuan, kan? Lalu mengapa tak kau ikuti dan lebih memilih bercerita pada sosial media? Kau yakin semua yang berkomentar di sana itu benar-benar peduli padamu? Kau yakin tak ada yang kemudian menggunjingkanmu, menggunjingkan masalahmu, atau bahkan menertawakanmu?"

Kamu menatapnya, lurus ke kedua mata sembab perempuan yang berdiri di dalam cermin di hadapanmu itu. Tak bergeming.

#aib

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil