Korupsi

Sejak mobil yang kami tumpangi memasuki kawasan perumahan elit, budhe -yang duduk di kursi belakang- tidak berhenti berkomentar.

“Rumah kok gedhenya minta ampun. Pasti ini rumah-rumah para koruptor. Pasti dibangun pake duit hasil korupsi.”

Biasanya aku akan menjawab komentar yang hanya berdasarkan asumsi. Tapi kali ini tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku, entah karena kecapean setelah perjalanan jauh demi liburan di kota besar ini atau memang sedang malas bicara.

“Mereka itu buta kali ya? Mereka nggak melihat rakyatnya pada kelaparan, kena gizi buruk, nggak bisa sekolah, nggak bisa berobat kalo sakit gara-gara nggak punya duit. Tega-teganya mereka korupsi dan bangun istananya."

Aku melirik Mas Aji, anak budhe, yang memegang setir di sebelahku. Dia balas menatapku dan tersenyum. Sebelah tangannya mengacak rambutku kemudian.

“Ngantuk?” tanyanya. Aku mengangguk. “Tidur aja. Nanti kalo sudah sampai aku bangunin.”

Aku menurut, menutup mata, mencoba untuk tidur.

“Aku tu gemes sama mereka. Kalo ketemu sama koruptor, bakalan ta marahi.”

Aku tersenyum mendengar kalimat terakhir budhe sebelum aku akhirnya terlelap.

***

“Bangun, dek. Sudah sampai.”

Aku merasakan tangan besar Mas Aji mengguncang bahuku. Aku membuka mata, meluruskan punggung lalu menatap keluar jendela. Iya, sudah sampai di rumah budhe. Dengan malas aku turun dari mobil, mengambil ransel di bagasi mobil, lalu mengikuti budhe melangkah masuk ke dalam rumah.

“Kamu tidur di kamar tamu sini ya?” Budhe membukakan pintu kamar yang ada di dekat ruang tamu.

Sebuah kamar berukuran 3x4 m2 dan sebuah tempat tidur yang telah tertata rapi langsung menyambutku.

“Mandi terus istirahat dulu, ya?” Budhe lantas mencium keningku dan keluar dari kamar.

Tanpa disuruh dua kali aku langsung mandi. Tapi siraman air segar di kepala ternyata berhasil menghilangkan rasa kantukku. Rencana bergumul dengan bantal dan guling akhirnya aku tunda.

“Nggak istirahat dulu, Din?” tanya Mas Aji waktu aku menjatuhkan diri di kasur depan televisi, di sisinya.

Aku menggeleng. “Udah nggak ngantuk,” jawabku.

Mas Aji mengangguk-angguk.

“Eh, Mas Aji nggak ngantor?”

“Nggak. Masak aku tega ninggalin kamu?”

“Halah! Alesan. Emang dasar pengen bolos aja pasti.”

Mas Aji tertawa.

“Masmu itu nggak pernah cuti, Din. Ya baru sekarang ini dia ngambil cuti. Katanya pengen ngajak kamu jalan-jalan.” Budhe datang dengan setoples kripik singkong pedas kesukaanku dan Mas Aji.

“Asik. Berarti Dinda dapet pelayanan penuh, nih.”

Mas Aji menarik rambutku. Aku balas menarik lengan kaosnya.

“Eh, sudah, sudah. Lihat tuh. Gayus akhirnya mengaku kalo dia pergi ke Bali.” Kata-kata budhe menghentikan candaku dan Mas Aji. Kita langsung ikut menyimak berita di televisi.

“Pasti Mas Gayus ini terlalu banyak nonton sinetron,” celetukku.

“Kok bisa?” tanya budhe bingung.

“Iya, Budhe. Habis dia kemakan kebodohannya sinetron si. Dia kira cuma dengan pake wig sama kacamata, orang-orang nggak ngenalin dia?”

Mas Aji tertawa dan memukul bahuku. “Dasar.”

Acara televisi kemudian berubah menjadi sinetron.

“Jangan menghina sinetron, yah?” Budhe menepuk pahaku.

“Nah lo, dimarahin sama penggemar sinetron.” Mas Aji lantas mengambil keripik dari dalam stoples yang tadi sempat direbutnya dari tangan budhe.

“Iya, Budhe. Ampuunn..” Aku memohon sambil tertawa. “Eh tapi kasihan loh Mas Gayus itu, dijadikan tumbal.”

Budhe mencibir, “Halah. Tumbal apa?. Dia itu kan juga ikut makan.”

“Tapi kan yang makannya lebih banyak dari dia kagak ditangkep walaupun sudah jelas.” Aku berusaha mempertahankan pendapatku.

“Salah dia sendiri dia mau makan.” Budhe memindah saluran televisi lagi. “Oya, kemarin mama ketemu sama bu Lurah pas belanja di pasar.”

“He em,” respon Mas Aji sambil mengunyah keripik singkong.

“Masak dia itu istri lurah kok ke pasar cuma pake daster.”

Aku melirik Mas Aji. Dia mengangguk-angguk dengan mulut penuh keripik singkong. Dari tampangnya, aku yakin dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang dikatakan budhe.

“Eh iya. Mama jadi inget. Masak pas acara nikahan mbakmu tahun lalu, dia cuma nyumbang lima puluh ribu.”

“Lha emang kenapa, Budhe? Emang sekarang uang lima puluh ribuan sudah nggak laku?” tanyaku bingung.

“Ya bukannya gitu. Secara, suami dia itu lurah, PNS pula. Masak cuma nyumbang lima puluh ribu. Harusnya kan di nyumbang lebih banyak dari warganya yang lain.”

Aku mendengar Mas Aji menghela napas. Dia menutup stoples yang sedari tadi dipegangnya.

“Kamu capek, Din?” tanyanya begitu berpaling padaku, nampak sekali berusaha menghindari melanjutkan pembicaraan dengan budhe.

“Nggak. Kenapa, Mas?”

“Keluar, yuk! Temenin Mas nonton.” Mas Aji berdiri. “Ganti baju,” katanya sebelum kemudian melangkah ke kamarnya.

Aku memandang budhe, meminta ijin secara non verbal untuk meninggalkannya.

“Iya, nggak papa. Temenin masmu sana.”

Aku berdiri, melangkah ke kamar, lalu mengganti pakaian.

***

Mas Aji menjatuhkan diri, ikut duduk di sofa ruang tunggu bioskop tempat aku sedari tadi duduk.

“Dapet tiketnya?” tanyaku. Mas Aji mengangguk. “Maen jam berapa?” tanyaku lagi.

“Setengah jam lagi.” Mas Aji memasukkan tiket yang tadi dia beli ke dalam saku belakang celana jeans-nya.

Beberapa detik berlalu tanpa ada yang bicara. Aku mendengar Mas Aji beberapa kali menghela napas.

“Kok tiba-tiba jadi suntuk gitu, Mas?” tanyaku setelah mulai bosan mendengar helaan napasnya yang mengandung kekesalan.

“Lagi sebel aja sama mama.”

“Emang kenapa?”

“Mama itu dimana-mana nyeritain betapa dia membenci koruptor, korupsi, dan tetek bengeknya. Kalo liat berita tentang korupsi pasti langsung heboh menghujat. Nggak di rumah, nggak di acara temu keluarga, nggak di acara arisan, pasti seperti itu.”

“Ya bagus lah, Mas. Berarti budhe kan warga negara yang baik, nggak suka korup,” kataku menanggapi ceritanya.

“Masalahnya, mama itu nggak ngerti apa itu korupsi.”

“Lah kok aneh?”

“Iya. Kek hari ini. Kamu perhatiin nggak? Waktu jemput kamu dari terminal tadi mama ngejelek-jelekin koruptor, kan?”

Aku menggangguk.

“Habis itu, sorenya mama ngomongin istri pak lurah yang cuma nyumbang lima puluh ribu.”

Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang Mas Aji dengan tatapan ‘lalu?’.

“Ya sekarang coba mikir, deh. Lurah PNS di sini itu golongan berapa? Gajinya berapa? Cukup nggak gajinya buat mencukupi kebutuhan istri dan kelima anaknya?” Mas Aji menghela napas lagi. “Di sini itu kehidupan sosialnya masih setengah-setengah antara desa dan kota. Kalo ada warga yang punya kerja, meninggal, atau sakit, pasti Pak Lurah dilibatkan dan dimintai sumbangan. Misal dalam sebulan itu di satu kelurahan ada tiga kali kondangan, berapa duit yang harus dia keluarkan kalo semua warga menuntut dia untuk menyumbang lebih dari orang lain? Terus, anak-anaknya mau dikasih makan apa coba?” Helaan napas Mas Aji terdengar lagi. “Kalo pak Lurah itu bukan orang yang kuat, apa nggak lama-lama dia bakalan korupsi?”

Betul juga kata Mas Aji. Kalo semua warga berpikiran seperti budhe, menuntut Pak Lurah untuk selalu memberikan sumbangan lebih banyak dari warga yang lain, dan imannya tidak kuat, lama-lama dia akan korupsi juga.

“Eh, filmnya udah mau mulai. Masuk, yuk.” Mas Aji berdiri, mengulurkan tangannya untuk mengajakku berdiri dan melangkah ke dalam bioskop.

***

Aku tidak bisa tidur. Kepalaku masih dipenuhi kata-kata yang diucapkan Mas Aji di ruang tunggu bioskop tadi. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir sampai ke sana. Selama ini aku pikir korupsi itu cuma kesalahan pribadi si Koruptor, murni kesalahan dia. Tapi setelah obrolan dengan Mas Aji tadi, aku jadi berpikir kalo sebenarnya masyarakat ikut andil dalam penciptaan koruptor.

“Belum tidur, Cah Ayu?”

Aku menoleh. Budhe berdiri di belakangku sambil merapikan ikatan rambutnya.

“Belum, Budhe. Nggak bisa tidur.”

Budhe duduk di sisiku, ikut menonton televisi bersamaku.

“Tadi kemana aja?”

“Cuma nonton sama makan malam.” Aku meletakkan kepala di pangkuan budhe. Dulu waktu masih kecil, aku sering melakukan ini, bermanja-manja dengan budhe.

“Nggak dibeliin apa-apa sama masmu?”

Aku menggeleng.

“Ya nggak papa ya, Nduk. Masmu itu duitnya juga nggak banyak. Lha wong dia itu aneh. Di kantor itu dia selalu nolak kalo dikasih amplop. Padahal kalo habis ngaudit kantor-kantor, dia pasti dikasih amplop, isinya bisa sampe puluhan juta. Tapi dia tolak.”

Aku hanya tersenyum pahit mendengar cerita budhe. Benar kata Mas Aji, budhe tidak tahu apa itu korupsi.

“Budhe tau darimana tentang itu?”

“Dari teman kerjanya yang sering main ke sini. Hampir semua ceritanya sama, masmu itu selalu nolak setiap kali dikasih amplop.” Budhe membelai kepalaku. “Coba dia mau nerima, pasti dia bisa bangun rumah yang lebih gedhe dari ini, bisa beli mobil bagus, kayak temennya itu. Masak dulu masuknya bareng, temennya masmu itu sudah bisa beli macem-macem, tapi masmu nggak.”

Kedua mataku yang sebenarnya sudah mulai terpejam karena terbuai belaian budhe langsung terbuka lagi. Aku memandang wajah budhe.

“Kenapa?” tanya budhe, bingung karena aku memandangnya.

“Tapi budhe, amplop-amplop itu kan uang sogokan. Kalo Mas Aji nerima semua amplop itu, terus apa bedanya Mas Aji sama koruptor-koruptor yang budhe benci?”

Budhe menatapku. Belaian tangannya di kepalaku langsung berhenti. Aku juga bisa merasakan napasnya seolah berhenti.

“Budhe?” panggilku.

 Ada senyuman pahit di bibirnya. Budhe lantas mendesah. “Iya, ya,” kata budhe pelan yang disusul oleh desahan lagi. “Ah, aku ini bodoh sekali.”

Aku ikut tersenyum. Lalu seperti mendapat angin segar dengan respon budhe tadi, aku mulai bercerita pada budhe tentang obrolanku dengan Mas Aji di bioskop sore tadi. Budhe sesekali mengangguk dan tersenyum pahit.

“Ternyata…. Selama ini…” Budhe menggantung ucapannya, nampak menyesal dengan apa yang selama ini sudah dilakukan dan dikatakan.

Belaian budhe kembali aku rasakan, membuatku lama-lama mengantuk dan akhirnya membuatku tertidur. Tidurku nyenyak sekali. Hatiku terasa ringan sekali karena telah berhasil membuka mata budhe.

***

Sejak bangun tadi pagi perasaanku begitu ringan dan penuh dengan semangat untuk membuka mata orang lain, hasil dari keberhasilanku atas budhe.

“Panjang banget sih. Udah. Ambil kanan aja, Ji,” perintah budhe waktu jumlah mobil yang berhenti di lampu merah di depan mobil kami nampak melebihi tujuh gerbong kereta api.

“Nggak ah, Ma. Kalo ambil kanan kan ngelanggar marka,” jawab Mas Aji.

Aku yang duduk di kursi belakang hanya diam.

“Kenapa? Kamu takut polisi? Udah. Kalo nanti ditangkep polisi, tinggal bayar aja. Selesai perkara!”

 Aku yang duduk di kursi belakang lagi-lagi hanya diam, terlalu syok mendengar kata-kata budhe dan kehilangan semangatku yang lima detik lalu masih berkobar. Aku gagal. Korupsi – Tamat (9 Desember 2010 – Hari Anti Korupsi)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil