Pedang

Head line surat kabar pagi ini; SEORANG DOSEN SEBUAH UNIVERSITAS TERKEMUKA MENJADI KORBAN PEMBUNUHAN

Semua orang di kota ini pasti tahu Pak Hira, dosen di salah satu universitas terkemuka yang juga seorang pembicara terkenal itu. Dia meninggal. Semalam orang menemukan mayatnya tergeletak berlumuran darah di pinggir jalan. Mayatnya tidak lagi punya bibir. Pembunuh itu pasti mengambilnya. Kejam sekali.

“Tidak. Dia tidak kejam. Semua itu bukan salahnya,” kata sebuah suara tiba-tiba di belakangku.

Bulu kudukku langsung berdiri. Aku tidak berani menoleh. Dan suaraku rasanya tidak mau keluar, tercekat di leher.

“Semuanya salahku,” kata suara itu lagi.
Kali ini aku merasakan seseorang menepuk bahuku pelan. Lantas aku menemukan seorang laki-laki yang cukup aku kenal, duduk di kursi di dekat komputer yang sedang aku hadapi. Dia tersenyum dengan wajah pucatnya. Kedua matanya yang menampakkan kesedihan menatapku.

“Jangan menyalahkan dia. Bukan dia yang salah. Aku yang salah. Seharusnya aku lebih bisa mengontrol kata-kata yang keluar dari mulutku. Seharusnya aku tidak sepicik itu dalam bicara. Seharusnya ......”

Laki-laki itu tidak menyelesaikan ucapannya. Kedua matanya menerawang. Buat sesaat, kamar ini hening. Laki-laki itu tidak bicara dan suaraku masih tercekat, tak mau keluar.

“Kamu harus tahu cerita yang sebenarnya,” katanya lagi. Dia lantas mulai bercerita.

***

Seperti hari-hari biasa, Pak Hira berangkat ke kampus setelah mengantar anak bungsunya ke sekolah. Memarkirkan mobilnya di tempat parkir dosen, di antara mobil-mobil mewah dosen yang lain.

“Pagi, Pak,” sapa mahasiswanya ramah saat berjalan di dekatnya.

“Pagi,” balasnya tak kalah ramah.

Ringan kemudian kedua kakinya melangkah ke ruang kantor. Hari ini dia tidak mengajar. Belum ada kegiatan belajar mengajar. Minggu ini masih penuh dengan kegiatan orientasi mahasiswa baru.

“Bapak tidak lupa kalo hari ini menjadi salah satu pembicara dalam acara pengakraban mahasiswa baru, kan?” tanya sekretaris fakultas begitu dia duduk.

“Tentu saja tidak. Saya sudah menyiapkan semua bahannya, kok!” jawab Pak Hira santai.
Dua jam kemudian. Dengan santai Pak Hira melangkah memasuki ruang kelas yang penuh dengan mahasiswa baru. Wajah-wajah segar yang akan sering mengisi hari-harinya di depan.

Pembukaan berjalan lancar. Semua yang ada di dalam kelas nampak mengikuti acara. Tidak ada yang nampak bosan.

“Baiklah. Saya lanjutkan,” katanya sambil memamerkan gambar seorang laki-laki penderita AIDS dengan tubuh penuh hiasan tato yang dia potong dari surat kabar kepada isi kelas. “Kalian perhatikan gambar ini. Dia adalah salah satu contoh orang yang menderita di dunia dan pastinya akan menderita di akherat karena selalu melanggar larangan Tuhan. Jadi jangan kalian contoh. Janganlah kalian melanggar larangan Tuhan kalo kalian tidak ingin seperti laki-laki ini. ...... bla .. bla .. bla...”

Satu jam berlalu cepat tanpa ada pertanyaan maupun kritik dari para mahasiswa baru.

“Mau langsung pulang, Pak?” tanya sekretaris fakultas lagi waktu Pak Hira bersiap pulang.

“Iya,” jawab Pak Hira pendek.

Mobil mewah yang dia kendarai melaju mulus di jalan raya yang lumayan sepi siang itu.
Tidak ada orang waktu dia sampai di rumah. Yang dia temui hanya pesan pendek sang istri; aku pulang ke rumah ibu. Anak-anak aku ajak bersamaku. Jangan pernah berpikir untuk menyusulku untuk pulang sebelum kamu bisa mengontrol kata-katamu!
Tangan besar Pak Hira dengan kesal merenggut kertas yang tertempel di pintu kamar itu dan meremasnya lalu melemparkan gumpalannya ke lantai begitu saja.

Hanya gara-gara pertengkaran sepele semalam, istrinya purik, pulang ke rumah orang tuanya.

Malam berjalan wajar awalnya. Hanya dingin dan suara jangkrik yang menemani Pak Hira.
Kenapa kamu pakai parfum di luar rumah? Seperti pelacur saja!

Pak Hira teringat kata-kata yang dia ucapkan pada istrinya semalam. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa hanya dengan mengucapkan kata-kata itu, dia kehilangan anak istrinya.

Baru saja mendaratkan pantatnya di kursi malas depan TV, sebilah pedang langsung menempel di lehernya. Dia bisa merasakan dinginnya besi itu menyentuh kulitnya.

“Si ... siapa kamu?” tanya Pak Hira takut-takut sambil berusaha menoleh. Kedua matanya langsung terbelalak saat menemukan siapa yang berdiri di belakangnya; mahasiswa baru yang tadi ikut kelasnya.

Cowok itu, mahasiswa yang menempelkan pedang di leher Pak Hira, menggelengkan kepalanya perlahan dan menampakkan wajah benci ke arah lak-laki berjenggot yang duduk di kursi malas di hadapannya.

“Mau apa kamu? Jangan macam-macam!” kata Pak Hira kemudian sok berani. Padahal di dalam hatinya, dia ciut.

“Pak Hira,” kata cowok itu sambil melangkah ke hadapan Pak Hira. “Mr. ‘I Know Everything’.”

“Apa maksud kamu?”

“Oh, jadi anda tidak tahu maksudnya? Bukankah anda tahu segalanya? Bukankah anda pandai memaknai segala sesuatu? Sampai-sampai anda bisa menilai dan mengetahui kehidupan seseorang bahkan menghakiminya hanya dari keadaan yang anda lihat sekilas?”

“Kamu ini bicara apa?”

“Saya bicara tentang laki-laki yang tadi siang gambarnya anda pajang di depan forum. Laki-laki yang anda bilang selalu melanggar larangan-larangan Tuhan!”

Pak Hira nampak terkejut.

“La .... lalu .... apa hubungannya denganmu?”

“LAKI-LAKI ITU BAPAK SAYA! Anda dengar? Dia BAPAK SAYA!” kata cowok itu lebih keras di dekat telinga Pak Hira.

Deg! Jantung Pak Hira serasa berhenti berdetak.

“Anda tidak mengenalnya, kan? Anda tidak tahu dia, kan?” Pak Hira mengangguk takut-takut. “Kalo memang anda tidak mengenalnya, lantas kenapa anda menyebutnya sebagai laki-laki yang selalu melanggar larangan Tuhan? Darimana anda tahu dia selalu melanggar larangan Tuhan? Dari penyakit AIDS yang menggerogoti tubuhnya? Dari tato-tato di tubuhnya? Darimana?”

Tidak ada kata yang bisa keluar dari mulut Pak Hira. Semuanya bersembunyi entah di mana.

“Perlu anda ketahui, bapak saya itu orang baik. Penyakit itu dia dapat dari transfusi darah waktu dia kecelakaan beberapa tahun lalu. Apa itu selalu melanggar larangan Tuhan?”

Kepala Pak Hira menggeleng pelan.

“Tato-tato itu .... apa ada larangan Tuhan untuk membuat tato? Ada?” Pak Hira diam.

“Ada atau tidak?” tanya cowok itu lebih keras.

“Ti .... tidak. Tidak ada.”

“Nah! Lantas darimana anda tahu kalo bapak saya itu selalu selalu melanggar larangan Tuhan? Darimana?”

Lagi, Pak Hira tidak bicara apa-apa.

“Hah!” Cowok itu mengeluh kesal. “Gara-gara anda, teman-teman menjauhi saya. Mereka tidak mau bicara pada saya karena takut tertular penyakit ‘melanggar larangan Tuhan’. Gara-gara anda, saya jadi sendirian, saya tidak punya teman!”

“Tap ... tapi ....”

“Menyebalkan!” kata cowok itu. Dia mengangkat pedangnya dan dengan cepat menyabetkan pedang itu ke tubuh Pak Hira.

Darah segar mengalir dari luka sabetan pedang itu. Pak Hira nampak kesakitan.

“Itu untuk bapak saya yang harga dirinya telah anda hancurkan!” katanya sebelum kemudian mengayunkan pedang untuk kedua kali.

“Jangan!” kata Pak Hira berusaha mencegah.

Pedang itu melukai dada Pak Hira untuk kedua kalinya.

“Itu untukku. Untuk aku yang ditinggalkan teman-temanku.”

Pak Hira berdiri tapi sekali lagi cowok itu mengayunkan pedangnya dan membuat luka di tubuh Pak Hira.

“Itu untuk orang-orang yang bernasib sama denganku.”

Pak Hira dengan tiga luka sabetan pedang berusaha menjauhi cowok yang berdiri dekat dengannya, yang kemudian menyabetkan pedangnya sekali lagi.

“Itu untuk kepicikan anda!”

Tubuh Pak Hira jatuh. Darah membanjiri lantai.

“Bagaimana rasanya pedang ini? Bagaimana? Enak merasakan ketajaman pedang saya?”
Pak Hira tidak dapat berkata apa-apa. Kepalanya mulai pusing, pandangannya mulai berkunang-kunang karena kehilangan banyak darah.

“Sekarang kita sama. Anda sudah merasakan ketajaman pedang saya dan saya juga sudah cukup merasakan tajamnya pedang anda, pedang yang selalu anda bawa ke mana-mana; mulut anda!”

Cowok itu lantas berjongkok di sisi tubuh Pak Hira yang berlumuran darah. Dia menggelengkan kepalanya lagi pelan. Memandang kasihan pada Pak Hira yang nampak kesakitan.

“Nah, supaya tidak ada lagi orang yang merasakan ketajaman mulut anda, lebih baik mulut ini ditiadakan saja, ya?”

Cowok itu mendekatkan pedangnya ke wajah Pak Hira dan ......

***

“Setelah itu, yang aku tahu adalah bahwa aku melihat tubuhku yang sudah tidak bermulut dibuang begitu saja ke pinggir jalan oleh anak laki-laki itu.”

Kedua mataku menatap laki-laki berwajah pucat yang ada di hadapanku, di sebelah komputerku.

“Apa anda mau saya melaporkan ke polisi tentang anak laki-laki itu?” tanyaku. Entah darimana keberanian itu timbul.

“Tidak. Tidak perlu.” Laki-laki itu tersenyum dan berdiri. “Aku hanya minta tolong satu hal. Tolong beritahu orang-orang untuk menjaga ucapannya, untuk menghancurkan kepicikan mereka. Tulis di berita esok hari!” Laki-laki itu lantas secara tiba-tiba menghilang dari hadapanku, aku yang kemudian berusaha menghancurkan kepicikanku.

Tamat


my note: Cerpen ini pernah dapet juara 1 di lomba cerpen yang diadakan sama Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tahun 2007, tapi panitianya salah nulis nama di sertipikatku. huhuhu.... mas-mas, mbak-mbak yang jadi panitia. mana tanggung jawab kalian?!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil