Perbincangan di Perempatan

Di perempatan jalan itu, di belakang lampu lalu lintas, sebuah rambu bundar berwarna merah menyala dengan garis putih di tengahnya, berdiri dengan tegak. Sudah tiga tahun rambu itu berdiri di sana, tapi masih saja ada yang melanggarnya.

***

Ciiiiiiiiiiittt!!!! Jdueer!!!!!

Dengan sukses, motor berwarna hitam yang baru saja melewatiku dengan kecepatan 60 km per jam itu menabrak sepeda motor lain yang datang dari arah berlawanan. Beberapa orang lantas berkumpul, mencoba menolong korban yang bermandikan darah.

Ugh, menyebalkan! Padahal aku sudah berdiri di ujung jalan ini sejak tiga tahun yang lalu. Tapi tetap saja ada yang nekat melewatiku. Apa mereka tidak tahu kalau aku dipasang di ujung jalan ini untuk mencegah manusia memasuki jalan di belakangku? Sebenarnya mereka itu tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?

O iya, orang Jawa bilang namaku ”Porboden”. Iya, aku adalah salah satu rambu lalu lintas. Bentukku bulat berwarna merah dengan garis warna putih di bagian tengah. Aku yakin para manusia itu mengenalku dengan baik. Mereka pasti sebenarnya tahu kalau ada aku, artinya dilarang masuk. Tapi, tetap saja ....

”Suntuk lagi, nih?”

Aku diam saja, tidak menanggapi pertanyaan si Lampu Lalu Lintas yang berdiri di belakangku.

”Dasar manusia nggak pernah belajar, ya?” kata si Lampu Lalu Lintas lagi, ”Padahal kamu sudah dipasang di belakangku sejak ..... mmm..... sejak kapan, sih? Sudah lama, kan?”

”Iya. Sudah tiga tahun.” Akhirnya aku menanggapinya, ”Bohong banget kalau mereka bilang tidak tahu ada aku di sini. Tiga tahun!!!” kataku dengan kesal.

Ya, aku memang sangat kesal. Aku benci sekali dengan manusia-manusia yang melanggar rambu-rambu lalu lintas. Kami, para rambu lalu lintas, kan dipasang untuk menyelamatkan mereka juga. Misalnya si Tanda Dilarang Berhenti, tidak mungkin dia dipasang di pinggir jalan besar hanya untuk pajangan. Dia dipasang di sana supaya manusia itu tidak berhenti sembarangan, jadi jalanan tidak macet dan tidak terjadi kecelakaan karena kendaraan yang seenaknya berhenti mendadak. Atau, si Tanda Batas Kecepatan, dia pastinya dipasang supaya kendaraan tidak melaju terlalu cepat di tempat-tempat tertentu, misalnya di dekat sekolah atau di jalan yang rawan terjadi kecelakaan. Tapi, kenapa sih para manusia itu tidak mau mengerti juga? Apa susahnya sih mematuhi rambu-rambu lalu lintas?

”Yah, namanya juga manusia!” kata Lampu Lalu Lintas. ”Kan manusia itu gudangnya salah dan dosa.”

”Tapi manusia kan diciptakan dengan akal yang melebihi makhluk lainnya. Seharusnya mereka menggunakan akal mereka. Kan sudah banyak kecelakaan yang terjadi karena pelanggaran peraturan lalu lintas. Kenapa sih mereka tidak belajar dari itu?” tanyaku dengan kesal.

Aku mendenar suara ’klik’ pelan dan semua kendaraan yang ada di hadapan si Lampu Lalu Lintas langsung berhenti. Ups, aku salah. Ternyata tidak semuanya. Masih ada tiga motor yang nekat menerobos sewaktu warna merah si Lampu Lalu Lintas pertamakali menyala. Tuh, kan!

”Yah, mau bagaimana lagi? Di perempatan ini kan jarang ada polisi,” kata si Lampu Lalu Lintas.

”Kalau tidak ada polisi lantas kenapa?” tanyaku bingung.

”Loh, sebagian besar manusia itu kan mematuhi peraturan lalu lintas karena takut pada polisi, bukan karena mereka sadar akan pentingnya menaati peraturan!” kata si Lampu Lalu Lintas lagi. ”Coba sekali-kali kamu perhatikan dan bandingkan jumlah pengguna jalan yang mematuhi peraturan lalu lintas ketika ada polisi dan tidak ada polisi. Pasti jumlahnya jauh lebih banyak jika di sini ada polisi.”

Aku mendengar suara ’klik’ pelan lagi. Kendaraan yang ada di hadapan si Lampu Lalu Lintas langsung melaju begitu lampu berubah hijau.

Rasa kesalku bertambah lagi sewaktu ada motor lewat di depanku. Motor itu dinaiki lima orang; seorang anak laki-laki yang duduk paling depan, seorang pria setengah baya, seorang anak perempuan, dan seorang wanita setengah baya yang sedang menggendong bayi. Aku tidak mau menyebut si Pria dan wanita setengah baya itu dengan kata ’dewasa’ karena kupikir mereka belum cukup dewasa jika dilihat dari apa yang sedang mereka lakukan.

Si Pria dan Wanita Setengah Baya itu tidak memakai helm. Mungkin mereka, dan banyak manusia yang lain, berpikir bahwa helm adalah benda yang dipakai jika bepergian jauh. Jadi, jika hanya berkendara jarak dekat, mereka tidak perlu memakai helm. Salah besar!!! Helm adalah sebuah benda yang dibuat untuk melindungi kepala manusia dari benturan langsung. Benturan itu dapat terjadi ketika manusia mengalami kecelakaan saat mengendarai kendaraan. Dan kecelakaan itu bisa terjadi kapan saja, entah si Manusia berkendara dalam jarak dekat maupun jarak jauh.

Tidak jauh dariku, si Pria Setengah Baya itu merogoh sakunya dan mengeluarkan telepon selular dan mulai berbicara tanpa menghentikan kendaraannya terlebih dahulu. Aduh, itu kan tindakan yang sangat berbahaya!!! Menyetir atau mengendarai kendaraan adalah sebuah pekerjaan tunggal, maksudnya suatu pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi penuh, tidak boleh terbagi-bagi. Apa dia tidak pernah membaca peringatan yang ditulis besar-besar bahwa menyetir sambil menelpon bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain? Tidakkah dia sadar bahwa dirinya membahayakan tidak hanya satu tapi lima nyawa sekaligus dengan melakukan hal itu?

Ada lagi. Apa manusia itu tidak sadar bahwa dia membawa anak-anak? Apa mereka tidak sadar bahwa otak anak-anak itu seperti spons yang akan menyerap apa yang mereka lihat sehari-hari dengan mudah? Jika setiap harinya mereka melihat orang tua mereka mengendarai motor tanpa helm sambil menelpon atau ber-SMS ria, maka hal itulah yang akan mereka lakukan nantinya. Anak-anak itu akan menganggap bahwa tidak memakai helm adalah hal yang wajar karena orang tua mereka juga melakukan hal yang sama.

Jika manusia adalah makhluk berakal, seharusnya mereka bisa berpikir bahwa orang tua adalah role model utama yang paling sering berinteraksi dengan anak. Mereka seharusnya tahu bahwa semua tindakan mereka akan ditiru oleh anak-anaknya.

”Sekali lagi, namanya juga manusia,” kata si Lampu Lalu Lintas, memecah keheningan di antara kami karena aku terlalu sibuk dengan suara-suara di dalam pikiranku. ”Sebagian besar manusia tidak akan peduli tentang suatu hal sampai hal itu menghampiri mereka,” lanjutnya.

Aku mengamini kata-kata si Lampu Lalu Lintas barusan.

”Yah, learning by doing memang bagus. Tapi tidak untuk diterapkan dalam hal ini. Aku juga tidak habis pikir, kok para manusia itu mau ya mengalami kecelakaan hanya untuk sekedar mengetahui kalau kecelakaan itu rasanya tidak enak?” imbuh si Lampu Lalu Lintas.

Aku mengangguk pelan.

”Yah, itulah kalau tidak pernah diajari untuk melakukan tindakan pencegahan sejak kecil,” kataku. ”Lihat saja bidang kesehatan mereka, sepertinya bidang itu didominasi oleh tindakan pengobatan dan rehabilitasi daripada tindakan pencegahan. Padahal kan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan tindakan pencegahan sebenarnya jauh lebih murah daripada tindakan pengobatan dan rehabilitasi. Tapi tetap saja, namanya juga manusia.!”

”Ih, kok kamu jadi melantur begitu, sih? Membicarakan tentang lalu lintas kok tahu-tahu jadi kesehatan!” Si Lampu Lalu Lintas mengomentari ucapanku.
”Siapa bilang kita membicarakan lalu lintas? Kita kan membicarakan manusia. Jadi tidak salah kan kalau sampai ke kesehatan?” kataku tak mau kalah.

”Iya. Tapi mbok ya yang fokus. Kita bicara tentang lalu lintas saja dulu.”

”Ya sudah! Kita bicara lalu lintas,” kataku mengalah.

Kami lantas diam. Buat beberapa saat, aku dan si Lampu Lalu Lintas sama-sama diam, tidak tahu harus membahas apa lagi.

”Manusia,” gumamku dan si Lampu Lalu Lintas bersamaan sambil tersenyum.

”Eh, tapi sebenarnya para pengguna jalan itu tidak sepenuhnya salah, loh!” kata si Lampu Lalu Lintas.

Aku menoleh ke arah si Lampu Lalu Lintas dengan tampang tidak mengeti. Apa dia tidak salah? Masa manusia yang melanggar peraturan tidak sepenuhnya salah?

”Iya,” katanya. ”Sekarang coba pikir. Para manusia ini kan sejak dulu tidak diajarkan untuk melakukan tindakan pencegahan dan pemerintah mereka juga hanya memberikan hukuman bagi pelanggar peraturan. Menurut teori perilaku, manusia itu tidak hanya memerlukan hukuman, tetapi juga pendorong untuk mau menerapkan suatu perilaku tententu. Dalam teori perilaku manusia ada sistem pembentukan perilaku yang dinamakan sistem punishment and reward atau dengan kata lain sistem hukuman dan hadiah. Jadi, seorang manusia itu akan lebih terdorong untuk menerapkan suatu perilaku karena dia berpikir bahwa akan ada hadiah jika dia berhasil menerapkan perilaku itu.”

Aku mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan si Lampu Lalu Lintas.

”Nah, sekarang ini apa ada hadiah yang disediakan bagi manusia yang mau mematuhi peraturan lalu lintas? Tidak ada, kan? Makanya, pasti para manusia itu berpikir untuk apa mereka harus mematuhi peraturan lalu lintas. Apa yang akan mereka dapat kalau mereka patuh?”

”Loh, kalau mereka patuh kan mereka bisa selamat dari kecelakaan!” Aku ngeyel.

”Por, ingat! Kita sedang membicarakan manusia yang tidak pernah diajari untuk melakukan tindakan pencegahan. Untuk manusia macam ini, seharusnya diterapkan sistem perubahan perilaku. Perilaku mereka yang tidak peduli dengan peraturan harus diubah menjadi peduli. Ingat, peduli, bukan takut. Nah, salah satunya ya dengan sistem punishment and reward tadi.”

Aku manggut-manggut. Ah, si Lampu Lalu Lintas ini memang cerdas!

”Jadi, sebenarnya pemerintah mereka juga ambil andil dalam pelanggaran peraturan lalu lintas, ya?” kataku.

”Iya,” jawab si Lampu Lalu Lintas cepat.

Hari mulai gelap dan aku mulai mengantuk.

”Besok kita ngobrol lagi, ya?” kataku sambil menguap. Si Lampu Lalu Lintas mengangguk pasti.

***

Di perempatan jalan itu, di belakang lampu lalu lintas, sebuah rambu bundar berwarna merah menyala dengan garis putih di tengahnya, berdiri dengan tegak. Sudah tiga tahun rambu itu berdiri di sana, tapi masih saja ada yang melanggarnya. Tanpa kita sadari mungkin sebenarnya dia dan lampu lalu lintas yang ada di belakangnya sering membicarakan kita yang masih saja tidak mematuhi mereka.

Tamat (April 2008)

MY NOTE: ini adalah cerpen yang menempatkan namaku di antara 10 besar juara di tangkai lomba penulisan cerpen Pekan Seni Mahasiswa Daerah 2008 yang diadain sama BPSMI (Badan Pembinaan Seni Mahasiswa Indonesia)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil