Telpon Tengah Malam

Ini sudah hampir satu tahun.

Rasanya memang baru kemarin aku mengenalnya, melihatnya tertawa, mendengarnya berbicara dan menghabiskan jam kosong dengan bernyanyi bersamaku. Rasanya juga baru kemarin waktu aku dengan panik menyelesaikan PR kimia yang belum sempat aku buat di rumah, lantas berlari tak sabar ke tempat parkir, menyambar motor, lalu melajukannya ke rumah sakit bersama Nindya dan Dani, dua orang teman dekatku yang lain.
Rama, sahabatku, kecelakaan.

Tangis Nindya langsung pecah waktu tangan Dani membuka kain yang menutupi tubuh yang terbujur kaku di hadapan kami. Rama sudah pergi. Aku, dengan sekuat tenaga berusaha menahan agar air mataku biar tidak keluar dan membiarkan Nindya menangis di pelukanku. Sesaat aku menoleh pada Dani. Cowok itu, sama denganku, berusaha menahan agar air matanya tidak menetes. Dia berdiri mematung di sisiku, tidak berkata apa-apa, tidak melakukan apa-apa selain menatap tubuh Rama yang terbaring kaku. Rama benar-benar sudah pergi. Begitu cepat dan mendadak.

Sejak melihat jenasah Rama di rumah sakit siang itu, aku menghabiskan banyak waktu buat mengingat semua hari yang kami lalui bersama. Aku berusaha buat selalu tertawa di depan semua orang. Tapi, setiap kali sendirian, setiap kali aku ingat sama Rama, aku menangis.

Di antara aku, Nindya dan Dani, cuma Nindya yang nampak tegar. Dia memang satu-satunya yang nangis di hadapan jenasah dan kuburan Rama, tapi setelah itu dia nampak benar-benar merelakan kepergian Rama, tidak seperti aku. Dan Dani, dia yang nampak paling kehilangan di antara kami. Selang sehari setelah hari pemakaman Rama, aku sama sekali tidak liat dia tertawa atau bicara. Padahal, biasanya dia tidak pernah melewatkan hari tanpa bercanda sama aku dan Nindya.

Tapi, ini sudah hampir setahun dan semuanya sudah kembali seperti dulu. Dani sudah kembali menjadi Dani yang sebenarnya setelah malam kedua sejak Rama meninggal, setelah suatu keajaiban terjadi.

***

Aku yakin kedua mataku masih bengkak gara-gara tangis yang sampai sekarang belum reda. Berita kecelakaan yang mengambil Rama, yang baru saja aku baca, membuat air mataku meleleh lagi setelah seharian ini coba aku tahan. Foto-foto di tempat kejadian yang ada di halaman depan surat kabar, yang baru saja aku letakkan, membuatku kembali ingat padanya.

Entah mendapat ide gila darimana, aku meraih ponsel yang aku letakkan di meja belajar. Hanya selang beberapa detik kemudian, jari-jariku dengan cepat mencari nomor ponsel Rama yang sampai sekarang masih belum aku hapus dari daftar nomor di ponselku. Aku juga tidak tahu darimana datangnya pikiran tak masuk akal ini, tapi yang jelas kemudian aku memanggil nomor Rama begitu aku menemukannya. Sesaat kemudian terdengar nada sambung. Nomor itu masih aktif. Mungkin keluarganya memang membiarkan ponselnya tetap aktif.

Telpon buru-buru aku putus sebelum ada jawaban. Tapi, baru saja aku akan meletakkan ponsel ke atas meja, benda mungil itu berbunyi. Dengan cepat aku meraihnya dan setengah tak percaya membaca tulisan yang tertera di layar.

Rama Cuakep calling

“Rama?” tanyaku tak percaya.

Ah, bodoh! Pasti salah satu keluarganya yang membalas missed call-ku tadi, bukan Rama. Aku tersenyum menyadari ketololanku.

“Ya?” Ragu-ragu kemudian aku menjawab panggilan itu.

“Hai, Vie.” Suara yang aku dengar dari seberang langsung membuat air mataku meleleh lagi. Ini mungkin gila, tapi aku yakin kalo itu adalah suara Rama. “Elo baek-baek aja, kan?”

“Rama?” Aku bertanya ragu-ragu.

“Ya?”

“Rama? Elo bener-bener Rama?” Aku bertanya lagi memastikan.

“Iya. Eh, thanks ya, Vie. Thanks karena elo nggak berusaha ngelupain gue. Thanks karena elo selalu doain gue. Gue bener-bener berterimakasih buat semua itu. Tapi …” Rama menggantung ucapannya. Dia lantas diam sejenak. “Mmm, gue nggak suka liat elo nangis, Vie. Gue nggak mau nemuin elo nangis setiap kali elo ingat gue.

“Gue emang pengin elo selalu inget gue. Gue emang pengin elo selalu menganggap kalo gue bakal selalu hidup buat elo, kalo gue bakal selalu ada di sisi elo. Tapi gue nggak mau kalo ternyata semua itu justru nyakitin elo. Gue nggak mau kalo ternyata semua itu malahan bikin elo sedih dan nangis. Gue nggak mau.

“Vie, gue pengin liat elo tetep nyanyi-nyanyi, ketawa-ketawa waktu nunggu dosen dateng sama kayak dulu. Gue pengin elo bisa becanda sama temen-temen yang laen. Gue pengin elo tetep jadi cewek cerewet yang ceria en bisa bikin orang-orang yang ada di sekitar elo ikut ceria. Gue pengin elo jalanin hidup elo sama kayak waktu gue ada di sisi elo. Karena sebenernya gue emang nggak pernah ninggalin elo.”

Aku sudah banjir air mata sewaktu Rama menyelesaikan ucapannya. Aku sudah menangis sesenggukan. Napasku sudah terputus-putus karena tangis.

“Tapi gue nggak bisa, Ram.” Aku berkata sambil menangis. “Kalo gue nyanyi-nyanyi, ketawa-ketawa, itu semua sama aja gue berusaha ngelupain elo. Dan elo tahu kalo gue nggak bakal bisa ngelupain elo.”

“Nggak, Vie. Kalo ada seseorang tetep nyanyi-nyanyi, tetep ketawa-ketawa, tetep menjalani kehidupannya seperti biasa setelah orang yang dia sayangi meninggal, bukan berarti dia melupakan orang yang dia sayangi itu. Bukan berarti dia nggak peduli.” Rama bicara dengan nada, yang aku sangat yakin, sama sedihnya denganku.

Buat sesaat, tidak ada yang bicara. Yang ada hanya isakan tangisku dan detik jam yang masih bisa kudengar dengan jelas.

Sekarang hanya ada satu hal yang ada di pikiranku; Rama mengusir aku dan tidak mau lagi berhubungan denganku.

“Bukannya gitu, Vie. Gue nggak berusaha ngusir elo atau mutusin apa yang udah ada di antara kita.” Rama seolah bisa membaca pikiranku. “Tapi terserah elo mau anggap apa. Yang jelas, gue nggak pernah bermaksud kayak gitu. Gue juga nggak mau elo ngelupain gue. Tapi buat gue, lebih baik elo ngelupain gue kalo itu emang satu-satunya cara biar elo nggak hidup dalam kenangan. Gue rela elo ngelupain gue asalkan elo bisa ngelanjutin hidup. Asalkan elo nggak nangis lagi. Gue rela, Vie.”

Aku dengan sekuat tenaga berusaha menghentikan tangis. Sebelah tanganku menghapus air mata yang membasahi pipi. Aku lantas menarik napas panjang. Tapi tetap saja air mataku tidak mau berhenti menetes.

“Udah dong, Vie. Jangan nangis lagi. Gue sayang elo dan gue percaya elo juga sayang gue. So please let me go,” pinta Rama. “Please,” katanya lagi.

Sekali lagi aku menarik napas panjang, menahannya sesaat supaya tak lagi terisak. Lumayan berhasil. Tangisku tidak separah tadi.

“That’s better,” kata Rama. Dia terdengar lebih bahagia. “Jangan nangis lagi ya? Elo harus janji sama gue kalo elo nggak bakal nangis lagi, kalo elo bakal nyanyi-nyanyi, ketawa-ketawa lagi dan bikin orang-orang di sekitar elo bahagia.”

“Gue janji.”

“Baiklah kalo gitu. Gue sayang elo, Vie. Bye.” Telpon diputus tanpa pesetujuanku.

Aku terbangun. Ah, hanya mimpi. Aku tersenyum pahit.

Jam enam pagi. Aku buru-buru berlari ke kamar mandi waktu sadar kalo aku hanya punya waktu lima belas menit untuk siap-siap ke sekolah biar nggak telat.

Empat puluh lima menit kemudian aku sudah duduk di salah satu kursi di kelas, di antara dua puluh satu siswa lain.

“Elo habis nangis, ya?” Nindya, sahabat cewekku itu menyikutku. Aku menggeleng pelan. “Elo harus bisa relain Rama pergi, Vie!” Nindya sekarang berpaling padaku. Aku diam.

Tiga puluh lima menit kemudian aku menutup buku catatan yang sebenarnya memang tidak aku pakai untuk mencatat. Guru baik hati yang telah menemani kelasku itu melangkah cepat keluar kelas setelah bel ganti jam berbunyi.

“Ngelamun aja!” Nindya menegurku sambil memasukkan bukunya ke dalam tas. Dia lantas mengajakku keluar kelas. “Eh, Dani, tuh!” Nindya menunjuk cowok yang duduk sendirian di tangga. Aku dan Nindya lantas menghampirinya.

“HOEEE!” Dani yang membolos jam pertama nampak terkejut waktu aku dan Nindya menepuk bahunya pelan. Dia menoleh dan tersenyum samar.

Aku dan Nindya lantas duduk di anak tangga di atasnya. Tapi, tidak ada yang bicara. Kami hanya diam.

Sebelah tanganku meraih ponsel yang ada di dalam saku rok, berusaha mencari pelarian di benda mungil itu. Iseng-iseng, aku membuka “daftar panggilan” di bagian “Panggilan masuk”. Nama “Rama Cuakep” ada di nomor pertama.
Bukannya yang semalem itu cuma mimpi?

12:05 am
14-03-2006

Deretan angka dan huruf itulah yang muncul di layar ponselku sewaktu aku memeriksa waktu telpon. Tepat seperti mimpiku semalam. Atau mungkin memang yang semalam itu bukan mimpi?

“Semalem Rama telpon gue.” Dani berkata tiba-tiba tanpa menoleh pada kami. “Dia bilang dia bakal rela gue ngelupain dia kalo emang itu satu-satunya cara supaya gue nggak sedih.” lanjutnya.

“Nggak mung…..”

“Dani nggak bohong.” Dengan cepat aku memotong ucapan Nindya sebelum cewek itu menyelesaikan ucapannya. Dani langsung berpaling padaku. “Dia juga nelpon gue semalem. Gue pikir gue mimpi. Tapi …” Aku menggantung ucapanku dan menyerahkan ponsel pada Dani.

Aku, Nindya dan Dani lantas saling memandang tak mengerti sebelum kemudian saling tersenyum.

***

Aku menguap, meluruskan tubuhku lantas menoleh ke arah jam weker yang ada di meja kecil dekat kasurku. Ah, sudah jam dua belas malam. Waktunya tidur. Besok aku harus masuk pagi.
Ini sudah hampir setahun. Tamat (27 April 2005)


This story is dedicated to our beloved friend Andi Setya Permana (14 Desember 1985-14 April 2005). we all love you, always..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil