Baju Baru, Nasib, dan Hidup

 
 

Malam itu sepulang kantor, tawa saya langsung meledak waktu membuka BBM dari Mey, adik sepupu saya. Dia mengirimkan foto masa kecil kami. Sumpah, saya tidak bisa berhenti tertawa memandangi beberapa foto itu. Gaya yang jaman dulu saya rasa sudah paling keren ternyata terlihat begitu lucu dan aneh sekarang.
 
Mey   : Lebaran bsk kita kembaran baju lagi, yuk!
Me      : Ogah!! Kek anak kecil aja!
 
Awalnya saya menolak ajakan dia. Secara, kami berdua sudah bukan anak kecil lagi. Rasanya aneh sekali ketika kami harus mengenakan baju yang sama lagi. Selain itu, saya tidak pernah membeli baju baru di Lebaran. Saya bahkan sudah lupa kapan terakhir kali saya mengenakan baju baru saat lebaran. Sepertinya sewaktu SD, entah kelas berapa, saya masih mewajibkan diri membeli baju baru untuk lebaran. Tetapi semakin bertambah usia, saya semakin merasa bahwa baju baru itu bukan suatu kewajiban. Saya pikir masih banyak hal yang lebih penting dari sekedar baju baru. Toh baju yang lama juga masih layak dipakai, kok. Siapa juga yang mau mengingat baju apa yang saya pakai di lebaran tahun sebelumnya.
 
Entah karena apa, pada akhirnya saya menyetujui juga ajakan sepupu saya itu. H-3 lebaran, saya dan Mey menjubel-jubelkan diri di antara (mungkin) ribuan orang yang sudah berjubel sejak pagi berburu baju lebaran. Hari itu sebenarnya adalah hari paling menyiksa dalam hidup saya bulan ini; dalam kondisi berpuasa, saya memaksakan diri masuk ke dalam ruangan dengan kadar oksigen yang rendah dan kadar karbondioksida tinggi akibat terlalu banyak manusia di dalam ruangan itu. Tanpa puasa-pun, saya ini ini tipe manusia yang paling tidak bisa melihat terlalu banyak manusia. Kepala saya sering pusing jika melihat orang yang terlalu banyak. Tapi demi kembaran baju dengan Mey, saya nekat saja.
 
Memilih baju ternyata tidak semudah bernapas. Saya baru sadar hari itu. Sebelumnya, setiap kali membeli baju, saya hanya cukup mempertimbangkan empat hal; harga murah, cukup di badan saya, nyaman dipakai, dan cocok saya kenakan. Ketika mencari baju untuk dua orang itu, ternyata ada lebih banyak pertimbangan apalagi ketika untuk dua orang yang berbeda selera seperti saya dan Mey. Saya tidak terlalu suka pakaian yang warnanya mencolok, menurut saya terlalu norak dan tidak cocok dengan saya. Saya tidak suka menonjol. Sedangkan Mey kebalikan dengan saya. Dia suka warna-warna yang mencolok, yang bisa terlihat dari jarak puluhan meter, cocoklah dengannya yang Sanguin. Lebih parah lagi, saya dan dia punya ukuran badan yang bertolak belakang. Dia ekstra Small, saya Ekstra Large. Berulang kali kami menemukan baju yang sudah cocok secara bahan dan warna, setiap kali ada yang muat di saya, selalu saja ukuran S-nya masih kebesaran untuk dia. Kalo ukuran S-nya cocok di badannya, ukuran XL-nya tidak cukup di saya. Begitu terus, berulang-ulang selama hampir tiga jam dan benar-benar kehabisan oksigen. Tapi, alhamdulillah akhirnya kami mendapatkan baju yang sama, walaupun warnanya menurut dia kurang cerah dan menurut saya terlalu cerah, tak apalah. Initinya memang kompromi. :D
 
Setelah perjuangan panjang itu, di hari lebaran saya justru sama sekali tidak bertemu dengan Mey. Lebaran pertama seharusnya kami berkumpul di rumah Mbah dari pihak bapak saya. Tapi Mey ke rumah Mbah waktu pagi, siang harinya dia dan keluarganya harus pindahan ke Mbah dari pihak mamanya. Saya di hari lebaran pertama pagi harus keliling di Solo dulu, baru siangnya bisa ke rumah Mbah. Waktu saya sampai di rumah Mbah, Mey dan keluarganya sudah boyongan dari sana. Bahkan sampai saya pulang, saya tidak sama sekali tidak bertemu dengannya. 
 
Hah, hidup. Nasib. Bener-bener. Manusia benar-benar hanya bisa berencana dan mempersiapkan semuanya, tapi keputusan akhir ada di tangan Allah.
 
 
 
*Gambar didapat dari www.tumblr.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil