Ketika Bunga Tak Lagi Mekar



Edo melangkahkan kakinya pelan memasuki pemakaman yang siang itu sepi. Cowok berambut cepak itu lantas berjongkok di dekat sebuah makam yang nampaknya sudah lama tidak diurus, meletakkan beberapa tangkai mawar merah yang dia bawa lalu sebelah tangannya dengan cepat membersihkan kotoran yang menutupi nama di nisan makam itu.

Ananda Fresa, 1985-2001.

Ya. Nama dan tahun itu yang tertulis di sana.

 “Ternyata udah lama juga kamu pergi. Padahal baru kemarin rasanya aku menghabiskan waktu di teras rumah kamu. Rasanya baru kemarin aku mencium kening kamu, meluk kamu dan mencium wangi tubuh kamu.” Edo berbicara seolah-olah ada orang di sisinya. “Sori ya aku udah lama nggak ke sini. Tiap liburan aku ambil smester pendek, biar kuliah aku cepet kelar. Bulan depan aku wisuda. Dan kebetulan aku udah dapat kerjaan di kota ini. Jadi aku bisa sering-sering ke sini.” Edo menghela napas.

Lama kemudian setelah Edo merasa sudah tidak ada lagi yang bisa dia ceritakan, cowok itu berdiri. “Aku masih sayang sama kamu,” bisiknya pelan sebelum kemudian dia melangkah meninggalkan tempat itu.

***

Jam dua belas malam dan komputer di kamar Edo masih menyala. Dia tidak bisa tidur dan komputer adalah satu-satunya pelarian yang dia pikir paling bagus. Entah menulis sembarang atau sekedar maen game. Tapi belum sempat dia menyentuh keyboard komputernya lagi, buku hariannya yang ada di dekat komputer tiba-tiba jatuh dan terbuka di halaman pertama. Edo akhirnya memutuskan untuk membuka-buka buku itu, mencoba mengingat apa yang pernah dilaluinya.
1 Januari
Aku melihat cewek itu duduk sendirian di halte bus. Dia nampak cantik walaupun lingkaran hitam di kedua matanya dapat dilihat jelas. Dia nampak cantik walaupun wajahnya menampakkan kelelahan yang luar biasa.
2 Januari
Aku melihatnya lagi sore ini. Ah, kenapa nggak dari dulu aku memutuskan untuk jogging sore. Kalo saja dari dulu aku jogging sore, pasti aku lebih sering melihatnya.
3 Januari
Akhirnya aku tahu namanya; Ananda Fresa. Cantik sekali. Sangat sesuai dengan orangnya. Dia bekerja di toko kue nggak jauh dari SMA tempat aku sekolah. Tadi aku berdiri di sisinya, pura-pura menunggu bus. Dan keajaiban terjadi. Aku, yang biasanya merasa canggung bersama orang asing, merasa sangat …… entah apa kata yang tepat. Yang jelas aku merasa sudah lama mengenalnya.
4 Januari
Tuhan memang baik hati. Ada lowongan kerja paruh waktu di toko kue tempat Nanda bekerja dan aku diterima bekerja di sana. Yah, Tuhan memang baik hati.
Tapi aku sempet sakit hati juga waktu Dani, temen kosku, bilang kalo Nanda nggak secantik apa yang selama ini aku ceritakan. Katanya Nanda tuh biasa aja, nggak cantik-cantik banget. Malah cenderung ke jelek. Sialan. Udah gitu dari sore tadi, setiap kali ketemu dia selalu nyanyi lagunya Bon Jovi yang ‘Bed of Roses’ dan selalu di bagian, “Baby, blind love is true”.. Terus selalu ditambahin komentar, “Cinta emang bener-bener buta!”. Ugh! Sial kuadrat … eh kubik ….eh pangkat empat aja, deh!
5 Januari
“Edo?” Nanda kelihatan kaget banget waktu liat aku ada di toko itu. Tapi dari kedua matanya, aku bisa tahu kalo dia merasa senang aku ada di sana. Mmm, mungkin aku salah, tapi nggak mungkin dong dia nggak suka aku ada di sana.
6 Januari
Hari ini aku ngajak Nanda pulang bareng. Dia sempat berpikir sejenak, tapi lantas dia mengangguk.
Ah, motor kesayanganku memang berjasa. Kalo saja hari ini dia nggak mogok, aku nggak akan tambah dekat dengan Nanda. Aku nggak akan pernah tahu kalo dia sangat sabar. Dia dengan sabar menungguku berusaha membuat mesin motorku menyala lagi. Kalo motor kesayanganku nggak mogok hari ini, aku nggak bakal tahu kalo Nanda tuh sayang banget sama anak kecil. Tadi dia berhasil membuat seorang anak kecil yang tersesat berhenti menangis. Dia bahkan membuatnya tertawa.
Ya Tuhan. Di dunia ini memang ada malaikat!!
16 Januari
Sori nggak sempet nulis beberapa hari ini. Aku terlalu sibuk.
Dua hari yang lalu, saat aku mengantar Nanda pulang (ini sudah kesekian kalinya aku mengantar Nanda pulang dan dia selalu menolak aku mengantarnya sampai ke depan rumahnya), aku baru tahu kenapa selama ini dia selalu memintaku menurunkannya di tepi jalan dan selalu menolak setiap kali aku bilang mau main ke rumahnya.
“Anak haram!”
“Hei, anak pelacur, udah dapet pelanggan?”
Kata-kata itulah yang aku dengar waktu aku mengantar Nanda sampai ke rumahnya. Hell ya I was shocked! Aku pengin tahu banget kenapa, tapi Nanda justru menyuruhku buru-buru pulang.
17 Januari
Tadi Nanda akhirnya menceritakan ada apa dengannya. Ternyata dia tidak seperti yang selama ini ada di pikiranku. Dia lebih hebat dari apa yang selama ini ada di dalam pikiranku.
Ibu Nanda meninggal waktu melahirkan dia dan dia nggak tahu siapa ayahnya. Ibunya diperkosa waktu masih SMA dan hasilnya, dia hamil. (Kadang-kadang aku malu jadi laki-laki. Kebanyakan laki-laki nggak bisa menahan hawa nafsunya. Memperkosa wanita, maen wanita, selingkuh! Mentang-mentang jumlahnya lebih sedikit, jadi mereka pikir bisa memperlakukan wanita seenaknya lantas membuangnya begitu saja.). Sejak kecil Nanda ikut neneknya yang seorang guru, tapi waktu Nanda SD, neneknya meninggal.
Oh, ya. Sebenarnya dulu nggak ada orang yang tahu tentang apa yang terjadi di dalam keluarga Nanda karena mereka baru di tempat itu. Tapi waktu nenek Nanda meninggal, seseorang, yang mengaku teman dekat neneknya, menceritakan tentang Nanda yang lahir tanpa ayah pada salah seorang tetangga Nanda tapi ceritanya nggak lengkap. Dia cuma bilang kalo Nanda tuh lahir tanpa ayah. (Kok tega-teganya sih orang itu ngaku temen deket? Masak temen buka kartu temen sendiri!)
Anak haram. Nama itu yang melekat pada Nanda sejak hari itu, disamping kata-kata anak pelacur, anak wanita penggoda, anak anjing betina. Nanda nggak bisa apa-apa. Dia masih SD waktu itu. Sebenernya sih ada keinginan untuk pindah dari tempat itu, tapi dia nggak punya apa-apa. Jadi dengan terpaksa dia tetap di situ dan berusaha menutup telinga dan pura-pura nggak denger kata-kata yang menyakitkan itu.
Ah, jujur sekarang ini aku tidak tahu apa arti kata ‘haram’ sebenarnya. Apa benar Nanda anak haram? Padahal kan bayi yang baru saja lahir itu bersih seperti kertas yang belum pernah ditulisi. Bukankah manusia itu tidak dikenai dosa sebelum dia dewasa? Jadi benarkah ada yang namanya anak haram? Haram ......
Kebanyakan orang memang tidak peduli dengan apa yang sebenarnya menimpa ibu Nanda. Mereka tidak mau tahu kecuali apa yang mereka lihat dengan kedua mata mereka bahwa ibu Nanda mengandung tanpa menikah. Dan anak yang lahir di luar pernikahan adalah anak haram.
Kembali ke pendapatku tentang Nanda. Dia hebat! Kalo boleh pinjem istilahnya Bon Jovi, She lies down in a bed of nails. Tapi, dia bisa menjalani hidupnya dengan tegar. Aku saja jarang melihatnya menangis. (mungkin karena aku baru sebentar mengenalnya, ya?). Yang jelas, thousands of thumbs up for her!!! Aku jadi tambah jatuh cinta sama dia.
18 Januari
Hari ini aku dan Nanda resmi jadian. Dia kaget banget waktu aku, selesai kerja tadi, nembak dia.
“Edo sadar nggak sama yang Edo lakukan sekarang?” Nanda bertanya serius waktu aku nembak dia. Aku mengangguk. “Bener? Soalnya hidup di sisi Nanda tuh susah.”
“Tapi buat aku, lebih susah lagi kalo aku nggak hidup di sisi kamu.”
Sesaat, Nanda nampak berpikir. Dia lantas tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. Tapi, anggukan kepala itu jutaan kali lebih membahagiakan daripada mendapat hadiah jutaan rupiah.

9 Februari
Sori lagi, aku lama nggak nulis. Seperti yang sudah-sudah, aku terlalu sibuk.
Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Nanda daripada sebelumnya. Sekarang tiap malam minggu aku ke rumahnya, nggak peduli sama tatapan mata orang yang mungkin buat orang lain sangat mengganggu. Ah, peduli setan!
Setiap hari, setiap aku makin mengenalnya, setiap rasa sayangku padanya bertambah besar.
Ya Tuhan, terimakasih sudah memperkenalkan dia padaku.

14 Februari
Seharusnya ini menjadi hari yang membahagiakan. Tapi semuanya memang tidak selalu berjalan sesuai rencana.
Aku berencana mengajak Nanda dinner. Tapi waktu aku sampai di rumahnya, seorang cowok yang biasa mabuk bersama teman-temannya di pos kampling depan rumah Nanda, tiba-tiba menghampiriku. “Eh, Mas. Setiap kali pake bayar berapa?” tanyanya waktu sampai di sisiku.
Tanpa ba-bi-bu, aku langsung melayangkan pukulan ke wajahnya. Dia memang nggak jatuh, tapi ujung bibirnya berdarah. Lumayan! Kalo saja dia mabuk, mungkin aku nggak akan ambil pusing dengan ucapannya. Tapi tadi dia nggak mabuk (Tumben tadi dia nggak mabuk!). Jadi, nggak salah dong kalo aku memukulnya. Dia kan bertindak nggak sopan.
Dan malam ini nggak berakhir sempurna. Nanda marah padaku karena aku memukul cowok itu. Padahal ini bukan pertama kalinya cowok itu menjelek-jelekan dirinya. Ya Tuhan, bagaimana caranya Kau membuat manusia sesabar ini?

20 Maret
Lagi-lagi sori aku lama nggak nulis.
Aku menghabiskan waktu di rumah Nanda hari ini. Aku mengacak rambutnya saat dia meletakkan kepalanya dalam pelukanku. Dia tertawa. Entah karena apa. Tapi aku tidak peduli. Yang jelas, aku suka mendengar tawanya. Dulu, waktu pertama kali bertemu, aku tidak melihat senyumannya sesering ini. Karena masyarakat tidak memberikan hak tersenyum atau bahagia buat seorang ‘anak haram’.
Kami lantas bercanda sampai jarum pendek jam yang ada di dinding ruang tamu menunjuk ke angka sembilan.
Nanda tiba-tiba meraih tanganku. “Mmm, Do. Nanda sayang banget sama Edo,” katanya. Waktu dia bilang gitu, aku berbalik, tersenyum dan bilang padanya kalo aku juga sayang banget sama dia.
Beberapa pasang mata milik orang-orang yang bergerombol di poskamling depan rumah Nanda menatap tak suka kepadaku. Mereka berbisik-bisik dengan ekor mata menatap kami. Hal itu memang mengusikku. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Aku tidak peduli dengan semua yang mereka lakukan untuk menghilangkan kesenangan hidup kami. Toh, kami tidak pernah melakukan tindakan yang melanggar norma maupun hukum. Aku melajukan motor pulang tanpa memperhatikan orang-orang menyebalkan itu.

26 Maret
Anak-anak kos masih pada main gitar di teras waktu aku pulang dari tempat kerja paruh waktuku. Aku duduk di antara mereka sampai jam dua belas malam dan aku meninggalkan mereka ke dalam kamar. Belum sempat melangkah masuk. Aku berhenti di depan pintu karena Dani memanggilku.
Aku berbalik dan ada Nanda berdiri tidak jauh dari teras. Buru-buru aku melangkah mendatanginya. Dari kedua matanya yang sembab, aku bisa tahu kalo dia baru aja nangis. Aku langsung membawanya masuk dan menganggukkan kepalaku waktu dia nanya apa dia boleh nginep di kosku semalam aja.

27 Maret
Aku tidak menemukan Nanda waktu bangun. Tapi aku menemukan pesannya di selembar kertas yang dia selipkan di buku harianku.
Edo, thanks ya udah mau jadi cowok Nanda yang paling pengertian, selalu melindungi Nanda dan nggak peduli apa kata orang tentang Nanda. Eh, iya. Thanks juga karena malam ini Nanda boleh nginep di kos Edo. Tapi, Nanda pikir hubungan kita nggak bakal bisa dilanjutin lagi. Nanda udah nggak kuat, Do. Walaupun Nanda tahu kalo Edo sayang sama Nanda, tapi Nanda nggak bisa terus-terusan nyuusahin Edo. Nanda nggak mau Edo berantem sama orang lagi karena belain Nanda.
Edo, malem ini Nanda dateng ke kos cuma pengin liat Edo buat yang terakhir kali. Nanda pengin tetep inget sama wajah Edo kalo Edo lagi tidur.
Nanda tuh cuma anak haram yang nggak berhak hidup. Yah, walaupun sebenernya Nanda nggak ngerti juga kenapa anak yang lahir di luar nikah disebut anak haram dan nggak punya hak hidup. Nanda juga nggak ngerti kenapa masyarakat tuh picik banget, mereka nggak mau tahu alasan kenapa mama hamil di luar nikah. Mereka nggak peduli kalo mama nggak salah. Yang penting hamil di luar nikah tuh salah, haram, dosa, dan orang yang mengalaminya adalah sampah masyarakat sampai keturunannya yang ke berapa-pun. Dan menurut mereka, sampah masyarakat harus dihapuskan dari muka bumi ini. Dan Nanda termasuk di dalamnya. Nanda tuh cuma anak haram yang nggak berhak hidup, Do. Jadi Edo nggak usah menyusahkan diri buat membela Nanda.
Nanda pergi bukan karena nggak sayang sama Edo. Nanda sayang banget sama Edo. Nanda nggak mau Edo susah. Makanya Nanda pergi. Nanda yakin Edo pasti ngertiin keputusan Nanda.

30 April
Aku akhirnya menyerah. Sudah sebulan aku berusaha memohon pada Nanda untuk menemuiku, tapi nggak pernah berhasil. Dia selalu bisa menghindariku. Sebenarnya aku masih ingin terus mencoba, tapi teman-teman mulai mengingatkanku tentang ujian akhir sekolah bulan depan. Mereka mulai khawatir karena aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk menemui Nanda. Aku bahkan nggak peduli pada pekerjaan sambilanku, toh aku dulu mendaftar di sana karena ingin selalu bersama-sama Nanda. Jadi, kalo sekarang dia nggak di sana lagi, buat apa aku ada di sana.

31 Agustus
Sori, lama banget nggak nulis. Aku terlalu sibuk dengan ujian akhir, UMPTN, daftar ulang dan sebagainya. Oh, ya. Aku diterima di pilihan pertamaku, jauh dari kota ini. Tapi, mungkin malah bagus karena aku sejenak bisa melupakan Nanda. Ah, sedang apa ya malaikat itu sekarang? Apa dia juga sedang memikirkan aku?
1 September
Untuk pertama kalinya setelah aku menginjak remaja; aku menangis. Ridho, teman SMA-ku menghubungiku lewat telpon. Nanda kecelakaan. Dia tertabrak truk waktu berusaha menolong seorang anak kecil. Ridho kebetulan ada di tempat itu. Dia yang membawa jenasah Nanda ke rumah sakit. Sayang, Nanda keburu meninggal sebelum sampai di rumah sakit.
2 September
Hari ini jenasah Nanda dimakamkan. Cuma ada sedikit orang yang mengantar sampai ke makam, termasuk teman-teman dekatku dan beberapa teman dari tempat kerja kami dulu. Nggak ada tetangga Nanda yang nampak. Yang sempat aku dengar tadi, seorang tetangga membicarakan tentang Nanda.
“Sukur, deh! Akhirnya dia mati juga. Dasar, ibu sama anak sama aja. Makanya, Jeng. Sekarang ini kalo nyari calon mantu harus hati-hati. Harus dilihat bibit, bebet dan bobotnya. Jangan sampe dapet anak haram. Bakalan susah. Lihat saja perempuan itu, dia sudah menggoda anaknya Bu Marmi dan memaksa anak Bu Marmi untuk menidurinya. Uh, memalukan!”
Aku tahu, wanita yang duduk di dekatku itu sengaja menceritakan apa yang baru saja dia ceritakan agar aku mendengarnya. Jujur, aku terkejut juga. Ternyata mereka nggak berhenti. Bahkan sampai hari ini, dimana mereka seharusnya sudah berhenti karena Nanda sudah pergi.
Tadi aku sempat melihat wajah Nanda. Dia tersenyum. Kelihatan tenang sekali. Bahkan dia kelihatan lebih bahagia ketimbang ketika dia masih hidup. Aku sangat mengerti tentang hal itu. Tentu saja dia sangat bahagia karena sekarang dia sudah aman bersama-Nya di sana. Sekarang Nanda nggak perlu lagi mendengar kata-kata menyakitkan tentang dia dan ibunya lagi. Sekarang dia ada di tangan yang sangat menyayanginya.
Aku ingat Nanda pernah bilang padaku kalo dia nggak takut mati. Dia lebih takut kalo apa yang ada di dalam hati nurani manusia mati di saat mereka masih hidup. Dan sekarang apa yang dia takutkan terjadi. Bunga-bunga kemanusiaan yang ada di dalam hati nurani manusia sudah banyak yang mati. Sayang sekali. Padahal seandainya bunga-bunga itu mekar, dunia ini pasti akan menjadi lebih indah.
Ya Tuhan, tolong jaga dia dalam damai-Mu.

4 September
Aku mampir ke rumah Nanda sebelum pulang. Rumah itu kosong. Tapi aku masih bisa merasakan kebahagiaan yang dulu pernah aku rasakan bersama Nanda di ruang tamunya.
Baru saja aku mengunci pintu, cowok yang sebelumnya pernah aku pukul, berdiri di luar pagar rumah Nanda. “Ngapain, Mas? Dia sudah mati! Nggak usah dicari lagi,” katanya.
Aku menghela napas. Biar! Orang mabuk ini, pikirku.
“Oh, ya! Aku sudah mengerti kenapa kamu selalu datang. Dia memang hebat di ranjang. Rambutnya…. Tubuhnya…. Mmmm….. sangat harum.”
Sekarang aku mulai memperhatikan kata-katanya. Aku menatapnya.
“Kenapa? Oh, dia nggak bilang kalo aku pernah menidurinya?”
“APA??!!” Aku berteriak lalu berjalan cepat ke arahnya dan untuk kedua kalinya aku memukul wajahnya. Sekarang aku nggak peduli apakah dia sedang mabuk atau nggak. Aku memukulinya berkali-kali sampai dia jatuh, sampai orang-orang datang memisah kami.
“Hei, Nak! Kamu ini kenapa?”
“Dia sudah memperkosa Nanda! Saya nggak rela!” kataku. Seseorang memegangiku dari belakang.
“Kamu nggak usah mengada-ada! Pelacur itu yang menggoda anak saya! Jangan mentang-mentang kamu orang sekolahan, kamu merasa tahu semuanya!” Seorang ibu, sepertinya ibu cowok itu, nampak marah. Dia duduk bersimpuh di sisi cowok itu dan meletakkan kepala cowok itu di pangkuannya.
“Dia sendiri yang bilang!”
“YA! AKU MEMANG MEMPERKOSANYA!!! LANTAS KAMU MAU APA?!” Cowok itu berteriak dengan keras.
Aku merasakan orang yang ada di belakangku mengendurkan pelukannya di tubuhku. Dan aku melihat orang-orang yang berkerumun mulai berbisik-bisik. 
Kedua mata Edo nampak berkaca-kaca. Dia menyudahi membaca sebelum sempat menyelesaikan semuanya.
“Aku sayang banget sama kamu, Nan,” bisik Edo. Tiba-tiba semua hari yang dijalaninya bersama Nanda melintas di depan matanya seperti film tanpa suara. “Aku bener-bener sayang sama kamu.”

***

“Nanda, kamu pasti sekarang bahagia. Iya, kan? Semuanya sudah selesai dengan baik. Tuhan memang adil dan baik hati.” Edo menata mawar-mawar yang dibawanya ke atas makam Nanda. “Sudah, ya? Malam ini aku harus banyak tidur. Ada iklan yang bakal dibuat besok pagi dan mungkin selesainya bisa sampai malam.”

Edo berdiri, tersenyum sejenak ke arah makam Nanda sebelum kemudian dia melangkah keluar dari tempat itu. Tamat (7 Agustus 2001)

Maut bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup.
Kehilangan terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup.
-Norman Cousins


*Gambar diambil dari www.flickr.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil