Orang Solo Paling Tara Sopan



 
Setiap kali mengingat kalimat itu, saya tertawa. Kalimat itu pernah dilontarkan oleh teman sekantor saya yang sekaligus adalah mentor, guru, kakak, dan sahabat saya. Waktu itu kami sedang kedatangan tamu, keluarga dari salah satu teman kantor. Saya sudah agak lupa detail ceritanya, mengapa tiba-tiba beliau mengatakan hal itu. Yang masih saya ingat adalah bahwa beliau dengan tertawa menunjuk kepada saya dan mengatakan, “Dia ini orang Solo paling tara sopan sudah!”, yang artinya saya ini adalah orang Solo paling tidak sopan. Mungkin, jika beliau mengatakan hal tersebut di depan orang banyak, akan ada banyak sekali orang yang mengamini kata-kata beliau. Pada dasarnya pilihan kata yang beliau gunakan itu sudah merupakan kata-kata yang paling halus. Biasanya saya disebut dengan ‘kepala angin’, ‘pamalawang’, apa lagi ya? Saya lupa. Sepertinya sudah terlalu banyak pilihan kata lain yang orang gunakan untuk menilai saya yang sebenarnya artinya sama; Lancang.

Lancang. Saya sadar, saya ini memang manusia yang sangat lancang. Maklum, walaupun berasal dari keluarga Jawa, saya tidak pernah dibesarkan untuk menjadi bayang-bayang. Tentunya saya mendapatkan pendidikan perilaku, tentang sopan santun, tentang cara berinteraksi dengan orang-orang yang lebih tua, tentang bagaimana seharusnya bertindak tanduk di masyarakat. Tapi orang tua saya juga mengajarkan bahwa saya ini manusia yang punya akal, yang bisa berpikir dan bernalar. Orang tua mengajarkan bahwa karena memiliki akal, seorang manusia itu tidak sepantasnya hanya bisa tunduk, diam, dan menelan segala macam penderitaannya bulat-bulat. Kata ibuk, tugasnya manusia itu memang bersabar dalam menghadapi hidup. Tapi manusia juga memiliki kewajiban untuk ikhtiyar, untuk melakukan usaha. Ketika merasa tertindas dan menderita, tidak seharusnya seorang manusia itu hanya diam dan berdoa semuanya akan berubah. Perubahan itu harus diusahakan juga, tidak hanya didoakan.

Mungkin juga saya dianggap lancang karena saya mengatakan apa yang perlu saya katakan kepada setiap orang, tidak peduli siapapun. Guru saya yang saya ceritakan di depan tadi sering menyebut sifat saya ini sebagai asertif. Beliau ini juga sering menjadi korban ke-asertif-an saya. –Maaf ya, Pak J -. Lagi-lagi, ini adalah hasil didikan orang tua saya juga. Orang tua saya mengajarkan bahwa rasa hormat dan penghargaan itu bukan kado gratis yang diberikan oleh usia atau kekuasaan. Artinya, orang tidak akan serta merta menghormati dan menghargai saya hanya karena saya dianggap lebih tua atau berkuasa. Inilah yang membuat saya juga merasa berat sekali untuk bisa menghormati dan menghargai orang-orang yang tidak bisa menghormati dan menghargai orang lain. Kata ibuk, kalo ingin dihargai ya berarti harus menghargai orang lain. Masalah itu ada untuk diselesaikan, bukan untuk dipendam. Masalah, kekesalan, ketidaksetujuan, ketidaksamaan visi, semua itu harus disampaikan dan diselesaikan karena jika dipendam dan disimpan hanya akan menjadi penyakit dan ujung-ujungnya nanti bisa jadi meledak dengan hebat seperti bom. Lebih baik disampaikan langsung daripada hanya dibicarakan di belakang. Membicarakan di belakang itu tidak akan ada manfaatnya. Makanya saya ini terbiasa menyampaikan apa adanya. Jika saya tidak suka, saya akan bilang tidak suka. Jika saya tidak setuju, ya saya sampaikan saya tidak setuju. Untuk apa memasang muka manis, mengangguk-anggukan kepala menyetujui, dan memasang senyum lebar jika pada kenyataannya rasanya ingin menghujamkan pisau? Lebih baik apa adanya saja, lebih tersampaikan dan bisa segera dicarikan jalan keluar.

Kata guru saya lagi, saya ini bukan orang Jawa. Mungkin orang menganggap bahwa yang namanya orang Jawa itu seharusnya halus, sopan, dan penurut. Ketiga hal itu, bagi sebagian orang, mungkin tidak ditemukan pada diri saya. Padahal sebenarnya saya punya semua itu. Hanya, lagi-lagi, kembali kepada siapa saya berhadapan. Ketika menghadapi orang yang halus dan sopan, tentunya saya juga akan bersikap halus dan sopan. Ketika menghadapi orang yang tidak sopan, ya bagaimana ya? Saya rasanya agak berat untuk bisa tetap berbuat sopan. Walaupun tetap diusahakan juga sebenarnya. Dan untuk urusan penurut, ya sama. Kembali lagi pada siapa. Saya penurut pada orang-orang yang memang pantas diturut. Apa saya harus menurut kepada orang yang antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan tidak pernah sejalan? Kalopun saya memang harus menuruti orang semacam itu, apanya yang harus saya turuti? Ucapannya atau perbuatannya? Karena saya ini hanya satu, tidak mungkin bisa memecah diri saya menjadi dua. :D

Yah, saya rasa memang guru saya itu benar. Saya ini memang orang Solo paling tidak sopan, suka melawan, ngeyel, kepala angin, lancang. Tidak apa-apa saya dinilai seperti itu. Pada kenyataannya masih banyak orang yang sayang kepada saya, yang paham bahwa saya ini manusia yang tidak akan mungkin bisa diam jika diinjak. Itu yang penting bagi saya. Berusaha memperbaiki diri itu pasti, seperti yang sedang saya usahakan setiap hari. Saya sedang berusaha memperbaiki diri. Tapi memperbaiki diri bukan berarti berusaha menjadi anak manis yang siap diikat lehernya. Memperbaiki diri itu lebih pada berusaha menjadi manusia yang lebih baik, yang membawa kebaikan, menjalankan tanggung jawab dan kewajiban, memberikan hak orang lain yang dititipkan kepada saya, walaupun untuk dapat melakukan itu harus siap dibenci beberapa orang. Asal Tuhan tidak membenci saya dan masih ada orang-orang yang menyayangi saya, saya rasa itu sudah lebih dari cukup, kok.

Ya, saya ini orang Solo paling tara sopan memang. ;D
 
 
Kata siapa orang Solo itu hanya bisa diam dan menjadi penurut? Wiji Thukul orang Solo.. Jokowi orang Solo.. Apa mereka selalu hanya bisa diam dan menjadi penurut? :)
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil