Dari Telinga Saya Belajar
Ada yang bilang bahwa perempuan
itu jatuh cinta dengan apa yang dia dengar. Sebagai seorang perempuan, saya
mengamini hal itu. Saya merasa memang saya mudah jatuh cinta dengan apa yang
saya dengar daripada apa yang saya lihat. Saya lebih mudah jatuh cinta pada
sebuah lagu daripada sebuah film atau buku. Makanya, ada lebih banyak hal yang
saya pelajari dari mendengar daripada melihat. Ada banyak hal yang saya
pelajari dari telinga.
Saya belajar bahwa manusia
dikaruniai sepasang telinga dan satu mulut bukan tanpa alasan. Dari awal Tuhan
memang sudah memberikan petunjuk kepada manusia untuk lebih banyak mendengar
daripada berbicara. Karena Tuhan tahu manusia itu makhluk yang terburu-buru,
yang lebih sering sekilas mendengar, tidak memahami, tapi sudah buru-buru
menjawab. Sampai akhirnya muncul yang namanya salah pengertian dan mungkin
berujung pada pertengkaran. Seperti yang semalam terjadi. Saya tidak terlalu
tahu apa permasalahan sebenarnya tetapi tiba-tiba salah satu mahasiswa saya
berteriak keras meneriaki temannya. Saya cepat-cepat memisahkan keduanya dan
mengurung salah satunya di dalam kamar bersama beberapa orang mahasiswa lain,
menenangkannya, dan menanyakan duduk permasalahannya. Setelah itu saya menemui
mahasiswa yang tadi diteriaki, menenangkannya, dan menanyakan duduk
permasalahan menurut dia. Dan ternyata semua berawal dari salah paham, dari
ketidakmauan untuk mendengar, dari prasangka. Yah, untungnya setelah semua
tenang, masalah bisa diselesaikan.
Saya belajar bahwa manusia
dikaruniai sepasang telinga agar manusia banyak mendengar. Dan karena manusia
akan banyak mendengar, maka tidak seharusnya juga mulut terlalu banyak bicara
karena semua hal ada batas, termasuk kemampuan telinga untuk mendengar dan
menampung apa yang dia dengar. Saya belajar, apalagi sebagai seorang perempuan,
untuk tidak terlalu banyak berbicara yang tidak perlu, berkomentar yang tidak
ingin didengar, dan mengatur ini-itu terutama pada suami. Seperti yang saya
lihat akhir minggu kemarin ketika seorang laki-laki duduk di ruang tunggu kedatangan
bandara dengan wajah lelah dan seorang wanita duduk di sisinya, terus mengoceh
tentang ini itu dan menuntut suaminya untuk begini dan begitu. Ya saya memang
tidak tahu ada apa sebenarnya di antara mereka berdua. Tapi, dari wajah si
laki-laki dan beberapa kali helaan napasnya, saya tahu sebenarnya dia kesal
dengan wanita yang duduk di sisinya, kesal dituntut ini dan itu apalagi di
tempat umum seperti itu. Tapi dia memilih untuk diam. Di situ saya belajar
bahwa tugas seorang istri bukan hanya menuntut suaminya menjadi imam yang lebih
baik, tetapi juga mendengarkan. Seorang istri harus bisa mendengarkan kata-kata
yang tidak diucapkan suaminya, harus tahu kapan harus berbicara dan kapan harus
diam.
Saya belajar bahwa manusia
dikaruniai sepasang telinga dan bukan hanya satu agar manusia benar-benar bisa
mendengar, listen. Mendengar dengan
sebenarnya. Mendengar untuk memahami dan mencerna apa yang benar-benar
didengar. Mendengar dengan hati. Kadang, ada hal-hal yang tidak diucapkan atau
memang tidak bisa diucapkan. Seharusnya, dengan sepasang telinga, manusia tetap
bisa mendengarkan kata-kata itu, mendengarnya dengan hati. Seperti ketika salah
seorang teman sedang menghadapi masalah dengan rekan kerja kami waktu itu. Dia
tidak mengatakan apapun, tapi jika kita mendengarnya dengan hati, kita pasti
akan tahu dan merasa ada yang tidak beres dengannya hari itu. Dan benar saja.
Ketika saya duduk di sebelahnya, bahkan tanpa bertanya apa-apa, akhirnya semua
masalah itu mengalir bersama air matanya.
Saya belajar bahwa manusia
dikaruniai sepasang telinga yang terbuka dan sebuah mulut yang tertutup karena
terkadang manusia hanya butuh mendengar, tidak perlu berkomentar. Kadang
manusia itu hanya butuh didengarkan saja, tidak butuh dinasehati, tidak butuh
diberi solusi. Seperti semalam ketika saya duduk di hadapan tiga orang
mahasiswa saya yang menumpahkan kekesalannya karena merasa selalu diinjak oleh
temannya sendiri. Saya tahu mereka tidak membutuhkan solusi. Mereka perempuan
dan seperti kebanyakan perempuan, mereka hanya ingin didengar. Karena dengan
begitu mereka bisa melepaskan kekesalan di hati mereka. Jadi semalam saya hanya
duduk mendengarkan keluh kesah mereka dan berkomentar seperlunya saja kemudian
pergi setelah mereka mengucapkan terima kasih.
Dari telinga, saya belajar untuk mendengar.
Karena suatu hari nanti, entah kapan, saya pasti akan butuh untuk didengar.
Kata orang, kita ini hidup di dunia cermin. Apa yang terjadi pada kita adalah
pantulan apa yang selama ini kita lakukan. Makanya, karena saya tahu saya akan
butuh untuk didengar, mulai sekarang saya akan belajar untuk mendengar. Listen.
Komentar