Terbang Bersama Para Malaikat dan Sebuah Suara Tawa dari Kursi Belakang


 
 
Hari Jumat kemarin saya terbang dari Ternate menuju Jakarta. Ceritanya, minggu ini saya mendapat tugas untuk mendampingi mahasiswa yang sedang praktik klinik keperawatan Jiwa di Jakarta. Hari Jumat kemarin saya mengambil penerbangan siang agar paling tidak Jumat malam saya sudah bisa sampai di Jakarta dan melanjutkan perjalanan ke Bogor dulu untuk bertemu dengan keluarga Om saya. Tapi yang namanya manusia memang hanya bisa berencana.
 
Sesuai jadwal yang tertulis pada tiket, pesawat saya seharusnya berangkat pada pukul 14.30 WIT. Pukul 13.30 saya sampai di bandara, di depan meja cek in. Dengan wajah yang tidak menyenangkan dan tanpa senyuman, petugas di meja cek in tersebut mengambil tiket yang saya serahkan lalu mengangkat wajahnya ke arah saya.
 
“Jakarta ya, Mbak?” tanyanya.
 
“Iya.”
 
“Pesawatnya delay. Nanti jam setengah empat baru berangkat,” katanya masih tanpa senyuman. Dan lebih parahnya, tanpa kata maaf. Dia kemudian diam menatap saya dengan sebelah tangan masih menggenggam tiket. Tidak jelas menunggu apa.
 
Saya sebenarnya tidak begitu mengerti tujuannya melakukan hal tersebut. Sepertinya dia menunggu keputusan saya apakah saya akan tetap cek in atau tidak. Tapi sayangnya hal tersebut tidak dia komunikasikan dengan baik karena dia tidak mengatakan apa-apa lagi selain kata-kata tadi. Jadi saya akhirnya juga hanya mengangguk-anggukan kepala dan dia akhirnya mendaftarkan nama saya dan menyerahkan boarding pass.
 
Lama kemudian setelah satu piring mie goreng, segelas air mineral, sebungkus permes coklat, dan beberapa kali sambungan telpon, ada petugas yang memanggil penumpang pengguna jasa maskapai penerbangan yang saya gunakan. Pukul 15.30 saya berjalan dengan bersemangat menuju lantai bawah bandara, tempat pintu keberangkatan. Saya pikir pesawat sudah datang dan saya sudah akan berangkat. Tapi ternyata, kami hanya dipanggil untuk mengambil makanan karena pesawat masih belum datang. Saya kecewa, jelas. Dan bukan hanya saya yang kecewa. Puluhan orang yang tadinya begitu bersemangat meninggalkan ruang tunggu di lantai atas-pun sama kecewanya dengan saya.
 
“Delay lagi, Mbak?” tanya saya sewaktu mengambil makanan.
 
“Iya,” jawab petugas itu tanpa menatap saya.
 
“Sampai jam berapa?”
 
“Setengah lima mungkin.” Dia masih saja tidak menatap saya dan nada suaranya masih saja seketus sebelumnya.
 
Yah, saya sebenarnya paham bagaimana lelahnya para petugas ini. Saya juga paham mereka bukan orang-orang yang akan bisa memberikan solusi untuk masalah keterlambatan ini. Tapi paling tidak, sebagai costumer service, saya mengharapkan mereka tahu bagaimana cara berbicara, berkomunikasi, dan bersikap kepada costumer. Saya berharap paling tidak walaupun tidak bisa memberi solusi, mereka-mereka yang ada di garis depan dalam menghadapi costumer ini bisa bersikap dan berbicara dengan cara yang menentramkan costumer. Dengan tersenyum dan merendahkan nada suara misalnya. Ya tapi lagi-lagi saya juga tidak bisa langsung menyalahkan mereka. Karena saya tidak tahu apakah mereka diberi pelatihan untuk menjadi costumer service dulu sebelumnya atau tidak. Atau, apakah ada evaluasi atau pengawasan dari atasan tentang pelayanan yang mereka berikan. Kalau tidak ya memang bukan salah mereka juga.
 
Anehnya, dari puluhan orang yang saya yakin sore itu sudah mulai lelah dan kesal karena harus menunggu sampai waktu yang belum pasti, tidak ada satu orang-pun yang mengamuk, termasuk saya. Bukannya saya ini suka mengamuk, tapi biasanya saya akan banyak protes dan terus bertanya tentang kepastian keberangkatan. Tapi entahlah, sore itu saya tidak terlalu bernafsu untuk bertanya. Lebih anehnya lagi, untuk pertama kalinya, hari itu saya mengobrol dengan orang asing. Biasanya, jika harus menunggu seperti itu, saya lebih memilih menyumpal telinga saya dengan musik dan membaca buku. Sore itu, tidak seperti biasanya, saya berkenalan dengan dua orang laki-laki dan mengobrol dengan mereka. Sore itu kami berbagi cerita, berbagi pengalaman, menertawakan waktu kami yang hilang begitu saja di kursi ruang tunggu bandara.
 
“Mas, harusnya kita ini sudah dapat ganti rugi, loh!” kata saya dalam salah satu obrolan kami.
 
“Ganti rugi apa, Mbak?” tanya salah satu teman baru saya itu, yang katanya adalah orang asli Klaten, masih satu karesidenan dengan saya.
 
Saya kaget juga mendengar pertanyaannya. Ternyata memang masih banyak orang yang belum tahu tentang peraturan yang mengatur sistem ganti rugi karena keterlambatan pesawat. Bodohnya saya adalah, saya sebenarnya sudah tahu tentang aturan ini, tapi saya terlalu malas untuk benar-benar membaca dan memahami bunyi peraturan yang sebenarnya. Jadi ketika teman baru saya itu bertanya, saya tidak bisa memberikan jawaban apa-apa. Kebetulan lagi, sore itu ketika saya sedang ingin mengunduh aturan itu, koneksi internet di ruang itu jelek sekali. Yah, hasilnya kami akhirnya mengubah topik pembicaraan karena toh kami sama-sama belum punya bekal ilmu yang cukup untuk bisa menuntut ganti rugi.
 
Keanehan hari itu masih berlanjut. Ketika akhirnya pesawat datang dan kami semua naik, saya kembali mendapatkan teman baru; dua orang laki-laki yang duduk di sebelah saya. Jika biasanya saya langsung tidur atau membaca buku begitu pesawat tinggal landas, malam itu saya lebih banyak mengobrol dengan teman-teman baru saya. Kami mengomentari artikel di majalah pesawat, buruknya bahasa inggris yang digunakan oleh pramugari ketika memberikan penjelasan lewat pengeras suara, sampai pada kopi yang mereka minum malam itu. Tapi obrolan yang paling menempel di kepala saya adalah tentang keanehan hari itu yang memang sebelumnya sudah menjadi bahan pikiran saya.
 
“Hari ini luar biasa aneh,” kata laki-laki yang duduk tepat di sebelah kanan saya.
 
“Kenapa, Mas?” tanya saya.
 
Dia tertawa kecil lalu bercerita. “Tadi sewaktu di ruang tunggu, untuk pertama kalinya saya tidak menemukan satupun penumpang yang marah atau protes disuruh menunggu sebegitu lama. Padahal kan mbak tau sendiri seperti apa orang di sini.”
 
“Iya, Mas. Saya dari tadi juga ngebatin itu. Aneh.”
 
“Iya, kan? Tadi sampai ada ibu-ibu yang bilang ke saya kalo hari ini, yang naik pesawat ini malaikat semua.”
 
Saya tersenyum mendengar ucapannya. Lucu, tapi bisa jadi ada benarnya. Karena memang sore itu ruang tunggu begitu tenang. Sama sekali tidak ada yang marah. Ya saya tidak tahu apa yang ada di dalam hati para penumpang tadi. Pastinya ada juga yang kesal, lelah, marah. Tapi paling tidak, sampai pesawat akhirnya berangkat, tidak ada satupun penumpang yang mengamuk.
 
“Untung ya kita masih bisa berangkat,” katanya lagi.
 
Lagi-lagi saya tersenyum karena dia lagi-lagi betul. Kami ini masih terhitung  beruntung karena walaupun menunggu lama, kami akhirnya berangkat hari itu juga. Sore itu, ada salah satu maskapai penerbangan yang sama-sama terlambat berangkat dan pada akhirnya penerbangan ditunda di hari berikutnya. Untung keberangkatan kami tidak harus tertunda di hari berikutnya. Untungnya terbang bersama para malaikat. J
 
Kesabaran, silaturahmi, keikhlasan. Hari itu masih ada satu lagi ilmu yang saya dapatkan selain tiga hal ini; menertawakan kematian. Perjalanan dari Ternate menuju Makassar malam itu cukup lancar dan cuaca cukup bagus. Tapi ketika mulai terbang meninggalkan Makassar, cuaca mulai memburuk. Beberapa kali pesawat seperti melewati jalan tidak beraspal dan berbatu-batu. Wajah beberapa penumpang nampak begitu tegang. Sepertinya sayapun seperti itu. Beberapa kali saya berpegang begitu erat pada pegangan kursi ketika merasakan goyangan yang cukup keras. Tapi ketegangan ini berangsur menghilang ketika dari kursi di bagian belakang pesawat terdengar suara tawa yang begitu menyenangkan. Seorang anak kecil tertawa keras sekali, dia begitu senang ketika pesawat mengalami goyangan. Bahkan ketika pesawat tidak lagi bergoyang, dia berteriak, “Lagi! Lagi!”
 
Tawa dari beberapa penumpang ikut pecah mendengar anak kecil itu. Saya juga tertawa, menertawakan diri saya, merasa malu dengan diri saya sendiri. Saya jadi ingat begitu banyaknya dosa yang sudah saya lakukan sampai-sampai saya begitu takut pesawat akan jatuh dan saya akan mati. Saya iri dengan anak kecil itu. Dia satu-satunya orang di dalam pesawat yang bisa menertawakan kematian. Saya juga ingin bisa menertawakan kematian seperti dia. Saya ingin bisa nanti, ketika saat saya untuk pulang, kapanpun itu, saya bisa pulang dengan penuh senyuman, bukan dengan ketakutan. Semoga nanti seperti itu. Semoga ini memang pengingat yang Alloh kirim buat saya bahwa cara saya menyambut hari kepulangan itu tergantung dari apa yang saya persiapkan sekarang. Artinya, saya harus mulai mempersiapkan diri mulai dari sekarang. Bismillah. J
 
Hari itu alhamdulillah saya mendarat dengan selamat di Jakarta dan sampai di Bogor pukul 01.30 WIB dini hari. Perjalanan panjang yang begitu melelahkan tapi begitu menyenangkan karena saya dipertemukan dengan begitu banyak guru dan mendapatkan begitu banyak ilmu. Saya jadi penasaran, ilmu apa lagi ya yang akan saya dapatkan di perjalanan berikutnya? J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil