Kamu sih Belum Nikah!!!


Sejak awal meninggalkan bangku kuliah, saya sudah sadar bahwa hidup adalah rangkaian pertanyaan yang tidak akan ada akhirnya. Akan selalu ada pertanyaan (atau mungkin lebih tepatnya tuntutan) yang dipertanyakan oleh lingkungan kepada kita. Sewaktu lulus SD, pertanyaannya adalah “Daftar SMP di mana? Diterima di mana?”. Sewaktu lulus SMP dan SMA, pertanyaannya masih mirip, tentang di mana kita mendaftar dan diterima bersekolah pada tahap selanjutnya. Nah, mulai di bangku kuliah, khususnya pada semester akhir pertanyaannya mulai berubah menjadi “Kapan lulus?”. Begitu lulus kuliah, pertanyaannya akan menjadi “Kerja di mana?”. Setelah bekerja, pertanyaannya pastilah “Kapan nikah?”. Yak, seperti itu dan pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan berhenti akan terus ada selama kita hidup. Pertanyaan baru akan muncul pada setiap tahap hidup kita. Tapi, saya akan menghentikannya di sini dulu karena postingan saya kali ini menyangkut pertanyaan yang di tahap kehidupan saya sekarang sangat sering dipertanyakan oleh orang, “Kapan nikah?”.
 
Saya tidak tahu sudah berapa kali orang bertanya kepada saya tentang hal ini; pernikahan. Pastinya sudah banyak kali, sudah banyak orang. Yah ketika saya sedang selow, saya hanya akan tersenyum dan menjawab, “Doakan saja secepatnya”. Tapi kadang, kalo masalah sedang banyak, pekerjaan sedang banyak-banyaknya, apalagi sedang PMS (alasan klasik perempuan :p), biasanya saya tidak menjawab, hanya memilih membuat boneka voodoo lalu memasang foto orang-orang yang bertanya itu dan menusuk-nusuk boneka itu dengan jarum super besar. Hehehe.. Becanda. Tidak seperti itu. Saya ini orangnya super sabar kok, kecuali ketika tidak sabar. Biasanya saya hanya akan mengatakan, “Doakan saja”. Itu sudah cukup membuat mereka diam.
 
Ya, saya masih bisa cukup bersabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Tapi, ada hal lain yang masih berkenaan dengan status lajang saya yang sebenarnya agak lebih menyebalkan daripada pertanyaan tadi. Berulang kali pada beberapa keputusan yang saya ambil, ada saja orang-orang yang mengaitkan dengan status saya ini. Misalnya saja ketika saya berdebat dengan seorang teman tentang jam kerja. Dulu jam masuk di tempat kerja saya adalah pukul delapan, namun kemudian ada keputusan baru dari pusat bahwa jam kerja diubah menjadi pukul setengah delapan. Bagi saya, perubahan jam kerja yang maju setengah jam itu tidak terlalu bermasalah apalagi mengingat jam pulang juga maju setengah jam, artinya saya akan punya lebih banyak waktu luang di sore hari, ada lebih banyak waktu untuk mengurusi diri saya. Tapi bagi teman saya, itu adalah masalah besar dengan alasan dirinya sudah menikah dan punya anak kecil. Dan perdebatan kami diakhiri oleh satu kalimat darinya, “Na sih belum nikah, jadi masih enak. Pagi-pagi nggak perlu mengurusi anak sama suami!”. Sore itu saya akhirnya memilih diam walaupun sebenarnya saya masih ingin mengemukakan beberapa pikiran saya. Tapi, mengingat emosi beliau sudah mencapai titik didih yang pastinya akan meledak jika saya teruskan dan pasti tidak akan ada gunanya, jadi saya memilih diam.
 
Oke, saya memang belum menikah dan tidak menjalani kehidupan mereka. Saya mungkin memang tidak tahu seperti apa repotnya pagi mereka yang harus mengurusi suami dan anak-anak. Tapi saya pernah menjalani hidup sebagai seorang anak yang masih butuh diurusi ini dan itu oleh seorang ibu yang juga wanita karir. Ya, ibu saya juga bekerja dan jam masuk kantornya justru lebih pagi daripada jam masuk kantor saya. Ibu saya sudah harus berada di tempat kerja pada pukul tujuh pagi. Seumur hidup saya sebagai anak-anak yang masih butuh diurus ini dan itu pada pagi hari, saya tidak pernah sekalipun mendapati ibu saya terlambat ke kantor. Sebagai seorang wanita yang bekerja dan sadar tidak bisa meninggalkan kodratnya sebagai seorang ibu dan istri, ibu saya tidak pernah mengeluhkan tentang betapa repot paginya atau tentang jam masuk kantornya. Pagi-pagi ibu sudah bangun, memasak untuk suami, anak-anak, dan beberapa saudara yang tinggal serumah bersama kami. Ya, ibu tidak hanya mengurusi bapak, saya, dan kedua kakak saya, tetapi juga beberapa saudara yang tinggal serumah dengan kami. Dan semua itu dilakukan tanpa bantuan asisten rumah tangga. Semenjak saya masuk TK, bapak dan ibu tidak lagi menggunakan jasa asisten rumah tangga. Hal inilah yang menjadi contoh nyata bagi saya bahwa sebenarnya bisa tidaknya kita masuk kantor tepat waktu itu tidak ditentukan dari apakah kita sudah menikah atau belum. Hal ini lebih ditentukan oleh kemauan dan usaha sendiri. Ya, jika ibu saya masih kurang memberi contoh atau justru dianggap terlalu subyektif karena saya adalah anaknya, saya masih punya satu contoh lagi seorang wanita yang sudah menikah, memiliki anak balita, tapi selalu saja bisa datang kerja tepat waktu. Namanya Ibu Chris. Beliau adalah teman satu angkatan saya di sini. Sebagai ibu muda yang memiliki anak balita dan tidak rela anaknya lebih dekat kepada pembantu daripada kepada ibunya, beliau selalu meluangkan waktu untuk anak semata wayangnya. Setiap pagi harus beliau sendiri yang memandikan dan mengurusi anak dan suami. Hebatnya, ibu cantik itu masih bisa kok datang ke kantor tepat waktu, mengajar tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan kantor dan pekerjaan tambahannya di kantor dengan baik. Kalo sudah begini, bukankah sudah jelas bahwa bisa tidaknya kita datang ke kantor tepat waktu itu lebih ditentukan oleh kemauan dan usaha individu, bukan status pernikahannya.
 
Kalimat “Kamu sih belum nikah!” juga pernah dilemparkan kepada saya ketika saya dan seorang teman berdebat tentang masalah penghasilan, tentang uang. Saya pernah mempermasalahkan sikap seorang teman yang dengan sukarela menerima uang, membelanjakannya, padahal dia tidak melakukan apa-apa, tidak menjalankan kewajiban apapun yang membuatnya berhak menerima uang tersebut. Saya katakan apa adanya langsung padanya tentang ketidaksetujuan saya terhadap sikapnya tersebut, dan lagi-lagi, kalimat penutup perdebatan kami adalah, “Na kan belum nikah, jadi kebutuhannya belum banyak! Na belum harus beli susu untuk anak, belum mikir sekolah anak. Jadi Na masih bisa bilang kayak gitu”. Yak, dan kasus kedua ini kontan membuat saya pernah berpikir ulang tentang pernikahan, sempat menyurutkan semangat saya untuk menikah, karena saya khawatir, jangan-jangan setelah menikah nanti bukannya menjadi manusia yang semakin baik, saya malah menjadi manusia seperti mereka yang semakin haus dengan uang dan material duniawi dengan alasan kebutuhan yang semakin meningkat. Tapi, obrolan dengan seorang ‘guru’ menenangkan saya. Kata beliau, hidup itu sudah diatur semuanya tapi bagaimana cara kita menjalaninya adalah tetap mutlak sebuah pilihan.
 
Pilihan. Artinya, akan menjadi lebih baik atau justru menjadi lebih buruk setelah menikah, itu mutlak pilihan kita. Jelasnya, sebagai manusia yang tidak selamanya hidup di dunia ini dan suatu hari nanti akan dimintai pertanggung jawaban atas apa saja yang saya lakukan ketika saya diberi kesempatan hidup, saya tidak mau harus menanggung beban dari pengambilan atas sesuatu yang bukan menjadi hak saya. Apalagi mewariskan beban itu kepada anak-anak saya, memberi mereka makanan, pakaian, dan memenuhi kebutuhan mereka dengan uang yang tidak jelas darimana asalnya, yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kehalalannya. Yah, saya tahu ini tidak akan mudah tapi saya tahu saya bisa ketika saya berusaha dan semoga suami saya kelak bisa memahami pola pikir saya dan mendukung saya.
 
Saya tidak tahu pilihan hidup saya yang mana lagi yang akan dikomentari dengan “Kamu sih belum nikah!”. Tapi saya tahu pasti ada. Karena saya tahu, selain rentetan pertanyaan yang tidak ada akhirnya, hidup saya adalah sebuah film yang pastinya akan dilihat dan dikomentari oleh para penonton. Jadi, apapun komentarnya, the show must go on, hidup terus berjalan. Saya hanya mau berusaha saja memainkan peran saya sebaik-baiknya dan menjadikan film saya ini sebagai film yang berakhir bahagia. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil