Idul Fitri Tahun Ini






“Taqabbal Allahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum kullu’aamiin wa antum bikhair.
Selamat hari raya Idul Fitri 1435 Hijriyah, mohon maaf lahir dan batin atas segala alpa dan salah.”

Solo. Di kota inilah saya menghabiskan sepuluh hari terakhir saya kemarin. Iya, saya mudik, agenda tahunan yang saya selalu berusaha jaga di setiap idul fitri. Lumayan lah, walaupun sebenarnya belum terlalu puas.

Di mudik tahun ini, agenda saya tidak terlalu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya; berlebaran di rumah simbah dan keluarga besar dari pihak bapak di hari pertama lebaran, lantas di rumah simbah dan keluarga besar dari pihak ibuk pada hari ke dua lebaran. Di luar itu, masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, waktu saya terbagi-bagi untuk acara buka bersama dan halal bi halal dengan kawan-kawan lama. Hanya saja, ada satu momen spesial yang akhirnya, setelah tertunda selama beberapa tahun,bisa terlaksana; sowan pakdhe yang tinggal di Semarang.

Di tahun ini protes yang saya dapatkan masih juga sama, “Kamu itu sebenernya pulang buat siapa? Buat ibuk apa teman-temanmu?”. Hehehe.. Ibuk memang selalu memrotes saya setiap kali saya pulang dengan segudang agenda bertemu teman-teman lama. Kalo sudah begini, sebenarnya ada rasa bersalah juga. Tapi toh setiap kali keluarga berkumpul, perhatian ibuk sudah teralihkan oleh cucu-cucunya. Jadi ya saya rasa tidak ‘terlalu’ apa-apa *pembelaan*.

Lebaran tahun ini juga tidak berubah dari tahun-tahun sebelumnya. Saya tidak sungkeman pada ibuk. Sungkeman adalah ritual yang saya tahu tidak hanya ada di budaya Jawa. Dalam ritual ini, anggota keluarga yang lebih muda melakukan sungkem (saya masih bingung mau membahasa Indonesia-kan istilah ini, jadi saya mempertahankan istilah ini saja :D), memohon maaf dan meminta doa restu kepada anggota keluarga yang lebih tua. Harusnya, orang pertama yang saya sungkem-i adalah ibuk. Tapi setiap tahun selalu sama, saya tidak pernah melakukannya karena ibuk selalu menolak dengan alasan yang sama, “Ibuk sudah memaafkan semua kesalahan adek, nggak usah minta maaf lagi.”

Ibuk. Manusia unik ini memang selalu luar biasa. Ibuk sudah selalu memaafkan setiap kesalahan anak-anaknya baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja bahkan sebelum anak-anaknya memohon maaf padanya. Dan saya yakin bukan hanya ibuk yang seperti ini, tapi hampir seluruh ibu di dunia ini. Sesakit apapun rasa yang dibawa anak-anaknya untuknya, pintu maafnya selalu terbuka. Semarah apapun beliau pada anak-anaknya, doa-doa tulus untuk kebaikan mereka tidak akan pernah putus. Bahkan, selelah apapun tubuh dan pikirannya, beliau selalu ada waktu untuk anak-anaknya. Pada manusia luar biasa semacam ini, masihkah seorang anak punya hak untuk menyakitinya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil