Cinta



www.wowamazing.com



Hujan baru saja reda. Tanah dan rumpun mawar putihku masih basah. Aku dengan cepat mendatangi rumpun mawar dan memetik dua tangkai yang masih agak kuncup lantas setengah berlari menyeberangi jalan di depan rumahku.

Sedikit tersengal waktu aku menghentikan langkah di depan panti asuhan yang ada di ujung jalan, di luar komplek perumahan.

Nggak seperti biasanya, rumah itu sepi. Padahal biasanya kalo libur anak-anak pada main di ruang tamu atau nonton TV. Tapi ini ....

Aku kemudian melangkah pelan ke arah kamar-kamar yang ada di dekat ruang tamu. Aku menghentikan langkah di depan sebuah kamar yang dari dalamya mengalun suara petikan gitar. Kamar Ipang, cowok yang sudah lima tahun ini memiliki hatiku.

SURPRISE!!” teriak anak-anak begitu aku membuka pintu. Ternyata semua anak ada di dalam kamar Ipang yang otomatis menjadi amat sangat sumpek itu.

Lagu “Happy Birthday” lantas mengalun ditemani suara gitar. Tak lama, Tius, adik angkatku, datang dengan kue ulang tahun dengan hiasan lilin di atasnya.

“Tiup lilinnya ... tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga ...” nyanyi mereka bersama. Aku meniup lilin lantas tepuk tangan dan ucapan selamat mengalir.

Lumayan banyak waktu yang aku dan anak-anak panti habiskan bersama kemudian. Ada tawa dan nyanyian. Tapi yang paling aku suka, ada kebahagiaan di tempat ini, sesuatu yang nggak aku temukan di rumah besar milik papaku.

“Keluar, yuk!” ajak Ipang begitu pesta usai.

“Yuk!” kataku.

Kami lantas melangkah pelan meninggalkan panti asuhan ke taman yang ada di dekat komplek perumahan tempat aku tinggal. Aku dan Ipang lantas duduk di salah satu kursi taman yang sebenarnya masih basah oleh sisa air hujan. Who cares?

“Pang, semalem gue mimpi jelek banget,” kataku begitu kami duduk di kursi taman.

“Udahlah. Nggak usah dipikirin. Mimpi kan bunganya tidur.”

“Dengerin dulu dong, Pang,” pintaku.

“Oke. Emang elo mimpi apa semalem?” tanya Ipang.

Aku menjatuhkan kepalaku ke bahunya.

“Gue ngelihat elo di taman yang penuh mawar putih. Tapi waktu gue mau mendatangi elo, cuaca yang bagus tiba-tiba berubah jelek banget. Terus elo bukannya bantuin gue malah melangkah pergi ninggalin gue. Elo bahkan nggak denger waktu gue panggil,” ceritaku.

“Udah deh, Ta. Nggak usah mikirin yang begituan. Lagian gue nggak bakal ninggalin elo,” kata Ipang. Tangannya lantas mengacak rambutku. Yah, moga-moga aja, kataku dalam hati.

***

Malamnya papa mengadakan pesta ulang tahun buatku. Sama kayak tahun-tahun sebelumnya.

Gaun panjang berwarna hitam sudah membalut tubuhku. Aku lantas segera turun dan berharap segera bertemu Ipang. Tapi sampai acara dimulai, Ipang nggak juga dateng.

“Elo malam ini cantik banget, Ta,” bisik Paul, sepupuku.

Thanks,” kataku.

Lilin sudah ditiup dan beberapa potongan kue sudah kuserahkan saat kedua mataku akhirnya menemukan sosok Ipang di antara para tamu. Aku lantas menghampirinya.

Happy birthday, Honey,” katanya. Dia menyerahkan setangkai mawar putih padaku.

Thanks,” kataku senang.

Aku tengah memeluk tubuh Ipang ketika papa tiba-tiba mengambil mikrofon dan mengumumkan sesuatu yang membuat Ipang melepaskan pelukan di tubuhku.

“Selamat malam semuanya. Malam ini saya ingin memberitahukan sesuatu yang sangat membahagiakan. Malam ini saya akan meresmikan pertunangan anak semata wayang saya, Cinta, dengan keponakan saya, Paul. Yah, walaupun sekarang dia baru berusia tujuh belas, tapi bagi saya dia sudah cukup dewasa ...............” kata papa. Dia nampak amat bahagia.

Pertunangan? Tanyaku dalam hati. Kenapa papa nggak memberitahu aku sebelumnya?

“Gue pergi ya, Ta. Nggak ada gunanya gue di sini,” kata Ipang yang tanpa persetujuanku lantas melangkah meninggalkan halaman belakang rumahku yang malam ini penuh oleh tamu.

Sebenarnya aku sangat ingin mengejar langkah Ipang. Aku sudah berusaha mengejarnya, tapi para tamu yang kebanyakan klien papa itu menghalangi jalanku. Mereka berebutan memberi selamat padaku.

Amarah lantas meluap-luap di dalam tubuhku. Aku marah karena papa selalu mengambil keputusan tanpa minta persetujuanku. Papa tidak pernah peduli padaku. Walaupun dia selalu bersembunyi di belakang kata-kata “semuanya buat kebaikanku”.

Aku berlari ke dalam kamar dan mengunci pintu rapat. Nggak peduli pada tamu dan pesta yang masih berlangsung.

***

Sudah sebulan sejak pesta ulang tahunku. Dan Ipang nggak mau menemuiku. Setiap kali kutelpon, dia nggak mau mengangkatnya. Setiap kali aku ke panti asuhan, dia nggak pernah ada. Ya sudah. Aku akhirnya menyerah. Aku akhirnya menuruti kata-kata papa untuk melanjutkan sekolah ke Melbourne. Kupikir nggak ada gunanya juga aku ada di sini. Aku sendirian. Papa nggak peduli padaku sejak mama meninggal waktu aku masih kecil. Ipang, satu-satunya orang yang peduli padaku sekarang sudah meninggalkan aku. Bukannya akan lebih baik kalo aku nggak di sini lagi? Bukannya lebih baik kalo aku pergi?

***

Melbourne hari ini lumayan cerah. Nggak terasa sudah sebulan aku ada di sini. Lumayan lama aku bisa melupakan Ipang dan permasalahan di rumah. Yah, jujur aja, sebenernya aku nggak bisa melupakan Ipang dan nggak akan mungkin melupakannya. Tiap kali sendirian, aku ingat sama dia. Tiap kali liat mawar putih aku ingat sama dia. There’re so many things remain me of him!

HEY, CINTA!”

Teriakan itu membuyarkan lamunanku. August, cowok apartement sebelah melambai-lambaikan tangannya dari bawah jendelaku, memintaku turun. Aku menurut. Aku mendatanginya.

What’s up?” tanyaku.

Look. Your rose!” katanya sambil menunjuk setangkai mawar putih yang mekar di kebun kecil di depan apartement tempat kami tinggal.

It’s not mine. It’s yours,” kataku tanpa menatap mawar putih yang dulu memang sangat kusukai. Tapi sekarang nggak lagi. Karena mawar putih mengingatkan aku pada Ipang.

Well, I have given it to you,” kata August. Dia tersenyum.

Thanks,” kataku. Aku lantas duduk di salah satu anak tangga di depan pintu masuk apartement.

Anything wrong?” tanya August yang lantas duduk di sisiku. Aku cuma diam menatapnya. “Hello?” katanya lagi sambil menggerak-gerakkan tangannya di depan wajahku. “I’m talking to you.”

Nothing,” jawabku. Aku lantas berdiri, bersiap meninggalkannya.

“Mmm, Cinta,” panggil August.

Ya?” Aku menatapnya.

August merogoh saku bajunya dan mengeluarkan selembar kartu pos lantas menyerahkannya padaku. Ragu-ragu aku mengambilnya dari tangan August.

“Ipang?” tanyaku tak percaya saat membaca pengirimnya. Senyuman langsung merekah di wajahku.

Who’s Ipang?” tanya August yang masih duduk di tangga.

My lover,” jawabku sambil berjalan cepat meninggalkannya, masuk ke dalam apartementku. “HEY AUGUST! THANKS!” teriakku dari jendela begitu sampai di apartement. Cowok itu menengadah dan mengangguk.

Hai, Cinta. Pa kabar? Sori waktu itu gue marah ke elo. Sekarang, begitu elo pergi, gue baru sadar kalo ternyata gue nggak bisa hidup tanpa elo. Gue sayang banget sama elo, Ta. Gue kangen banget sama elo. Moga-moga elo di Melbourne nggak lupa sama gue. Gue sayang elo.
Te amo ~ Ipang.

Aku langsung menarik satu kartu pos yang aku beli beberapa hari lalu dan menulis balasan buat Ipang.

***

Satu tahun kemudian berlalu amat sangat cepat dengan kehadiran kartu pos dan surat-surat dari Ipang. Pernah sekali aku menelponnya, tapi dia sedang keluar dan setelah itu dia melarangku menelpon. Katanya aku disuruh hemat. Surat aja cukup, katanya. Ah, dasar Ipang!

Hari pertama musim panas. Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamarku begitu jendela kubuka. Aku menatap ke bawah dan menemukan seseorang berdiri di bawah jendelaku. Seseorang yang amat kukenal. Seseorang yang tak berhenti tersenyum padaku dengan setangkai mawar putih di tangan.

Dengan cepat, tanpa cuci muka, tanpa ganti baju, aku langsung berlari menuruni tangga dan keluar apartement. Aku kemudian langsung menghambur ke dalam pelukan Ipang.

“Gue kangen banget sama elo, Pang,” kataku. Nggak terasa, ada air mata yang meleleh.

“Gue juga kangen banget sama elo, Ta. Kangen banget,” katanya sambil memelukku erat.

Lumayan lama kami berpelukan di depan apartement. Aku nggak peduli walaupun aku masih memakai baju tidur dan orang-orang yang lewat menatap kami. Aku nggak peduli.

“Aduh, kenapa nangis, sih?” tanya Ipang waktu aku akhirnya melepaskan pelukan dan dia melihat air mataku. “Jangan nangis dong, Ta. Kan sekarang gue ada di sini,” kata Ipang lagi sambil menghapus air mataku. Aku tersenyum. “Nih, buat elo.”

Setangkai mawar putih dia serahkan padaku.

“Masuk, yuk!” ajakku.

Ipang mengambil tas pakaiannya lalu melangkah bersamaku. Kami bertemu August di tangga. Aku mengenalkannya pada Ipang.

Where are you going?” tanyaku begitu acara perkenalan selesai.

Got an appointment with my dentist,” jawabnya. Dia kemudian melangkah cepat menuruni tangga dan menghilang di pintu masuk.

Hari ini benar-benar menyenangkan. Kami memang nggak kemana-mana. Cuma menghabiskan hari di dalam apartement sampai akhirnya bulan menggantikan matahari di langit.

Esoknya aku dan Ipang jalan-jalan ditemani August. What a wonderful day! August dan Ipang nampak sangat cocok. Syukurlah. Padahal dulu aku takut punya sahabat cowok. Takut Ipang-ku yang amat sangat overprotected itu cemburu. Tapi nyatanya dia tidak cemburu pada August walaupun cowok itu sering memelukku di hadapannya.

“Elo mau yang mana?” tanya Ipang saat kami memasuki sebuah toko jam kuno yang sebelumnya aku bahkan nggak tahu kalo toko itu ada. Ipang dan aku berdiri di depan beberapa kotak musik kuno yang dipajang. August, nggak tahu menghilang kemana makhluk itu.

“Itu!” kataku sambil menunjuk sebuah kotak musik kecil.

Pelayan toko mengambilkan kotak musik yang aku tunjuk. Aku membukanya dan seketika terdengar suara musik yang aku belum pernah dengar sebelumnya. Tapi entah kenapa aku sangat menyukainya. Padahal aku bukan tipe orang yang gampang menyukai sesuatu.

Seminggu kemudian aku mengantar Ipang ke bandara. Huh, kenapa sih waktu cepet banget berlalu?! Kenapa tahu-tahu udah seminggu? Kenapa Ipang udah harus pulang ke Indonesia?

“Oh iya. Gue punya hadiah buat elo,” kata Ipang. Dia meletakkan tasnya lantas merogoh saku dan mengeluarkan dua buah kalung.

Liontin kalung itu lumayan aneh. Keduanya berbentuk setengah bola dengan ukiran di bagian datarnya. Ipang memakaikan kalung dengan liontin berukiran timbul padaku sedang dia sendiri memakai kalung berliontin dengan ukiran dalam.

“Liontin ini melambangkan kita. Biarpun mungkin sekarang kita pisah, tapi tetep aja suatu hari nanti bersatu. Kayak lontin ini, bisa tepat bersatu,” katanya. “Eh, pesawat gue dateng. Gue berangkat ya, Ta,” kata Ipang sebelum kemudian mengecup keningku dan turun ke bibirku.

Lagi-lagi aku nggak bisa membendung tangis. Aku serta-merta memeluk tubuh Ipang erat.

“Aduh, Ta. Jangan nangis, dong! Kan tahun depan kita bisa ketemu lagi,” katanya. “Gue bakal selalu nunggu elo pulang, Ta,” katanya lagi. “Selamat tinggal.”

“Jangan selamat tinggal!” kataku. “Sampai jumpa!” Tapi Ipang hanya tersenyum lantas melangkah meninggalkanku.

Aku menuju tempat parkir begitu pesawat yang ditumpangi Ipang take off. August sudah menunggu di dekat mobil.

You’ll meet him soon,” katanya. Aku cuma tersenyum.

***

Akhirnya studiku selesai. Minggu depan aku akan pulang. Aku akan ketemu Ipang lagi. Ah, betapa menyenangkan!

Will you remember me?” tanya August yang tiba-tiba sudah ada di belakangku waktu aku mengepak barang untuk dibawa pulang.

What are you talking about?” kataku. “I will never ever forget my very best friend.”

Promise?” tanyanya lagi meyakinkan. Aku tersenyum dan mengangguk.

Aku nggak melanjutkan mengepak barang. August menjatuhkan diri ke atas tempat tidurku. Aku ikut menjatuhkan diri di sisinya. Kami lantas berbagi cerita tentang kehidupan yang sudah kami lalui bersama.

Lumayan lama kemudian kami saling menatap, mata kami beradu. Tangan August tiba-tiba membelai kepalaku dan kami akhirnya berciuman.

Aku langsung mendorong tubuh August dan segera duduk begitu sadar bahwa aku membalas ciumannya. Ya Tuhan! Apa yang sudah aku lakukan?

I’m sorry,” bisik August kemudian. Dia duduk di sisiku. “I’m so sorry,” katanya lagi.

***

Kota ini nggak berubah. Papa juga nggak berubah. Masih nggak peduli padaku. Aku yakin papa tahu aku pulang dan tetap saja dia lebih mementingkan kerja daripada aku, anak tunggalnya. Bukannya aku manja, tapi aku sangat merindukannya.

“Apa kabar, Bi?” tanyaku pada Bi Niti, pembantu yang sudah lama ikut di keluargaku. Dia nampak sangat senang aku pulang.

“Baik, Non,” jawabnya.

Dengan cepat aku mandi, berganti pakaian lantas dengan beberapa bungkus oleh-oleh aku melangkah cepat menuju panti asuhan. Aku sudah merindukan anak-anak di sana, terutama adik angkat kesayanganku, Tius. Bohong. Aku sebenarnya merindukan Ipang.

“Kak Cinta!” sambut Andrea salah satu gadis kecil di panti asuhan.

“Halo, Sayang!” kataku.

Anak-anak yang lain kemudian keluar ke ruang tamu. Tius bertambah tinggi. Wajahnya nggak lagi dipenuhi jerawat seperti saat aku meninggalkan kota ini lima tahun lalu.

“Halo, Adikku Sayang,” kataku sambil memeluk Tius. “Oh iya. Ini oleh-oleh buat kalian. Pilih aja sendiri,” kataku sambil meletak tas-tas plastik yang kubawa tadi ke lantai.

Dua puluh anak lantas mengambil oleh-oleh yang aku bawa.

“Oh iya. Ipang mana?” tanyaku pada Tius. Tapi dia diam saja, nggak menjawab. “Tius? Kenapa? Mana Ipang?” tanyaku lagi.

“Kak Ipang ..... dia sudah meninggal,” jawab Tius akhirnya dengan pelan. Amat sangat pelan.

“A..... apa?” tanyaku tak percaya.

Dengan cepat aku berlari ke kamar Ipang. Kamar itu kosong. Hanya benda-benda milik Ipang yang masih dirawat saja yang mengisinya. Aku kemudian duduk di tempat tidur yang tertata rapi.

“Sekarang aku yang memakai kamar ini,” kata Tius.

“Kapan Ipang meninggal?” tanyaku tanpa mempedulikan kata-kata Tius. Cowok itu duduk di kursi belajar di hadapanku.

“Lima tahun lalu. Tepat sebulan setelah Kak Cinta pergi,” katanya. Aku masih bisa melihat kesedihan di kedua matanya.

“Bohong,” kataku cepat. “Setahun yang lalu dia menyusulku ke Melbourne. Jadi nggak mungkin kan dia meninggal lima tahun lalu. Lagipula, kartu pos dan surat-suratku selama ini, siapa yang membalasnya kalo bukan Ipang?!”

Tius tidak berkata apa-apa. Dia membuka salah satu laci di meja belajarnya dan mengeluarkan tumpukan kartu pos dan surat-surat yang sama sekali belum dibuka. Semua suratku buat Ipang. Tius meletakkan tumpukan itu di atas meja di hadapanku.

“Aku memang menerima surat-surat dari Kak Cinta. Tapi nggak pernah sekalipun aku membacanya. Bahkan kartu pos-kartu pos itu, aku juga nggak membacanya. Aku langsung memasukkannya ke dalam laci begitu surat-surat itu datang,” kata Tius panjang lebar.

“Tapi .....,” kataku menggantung.

Aku benar-benar nggak mengerti dengan semua ini. Kalo benar Ipang meninggal lima tahun lalu, lantas siapa yang menyusulku ke Melbourne? Siapa yang menulis surat dan kartu pos padaku?

“Antar aku ke makam Ipang,” kataku.

Aku berdiri. Tius ikut berdiri lantas mengantarku ke pemakaman umum, nggak jauh dari panti asuhan.

Ivan Pradana
8 September 1978 – 31 Agustus 1996

Berkali-kali aku membaca tulisan yang diukir di atas nisan itu. Benar, Ipang sudah pergi, sudah lima tahun lalu.

“Malam waktu pesta ulang tahun Kak Cinta, Kak Ipang kecelakaan. Dia koma selama sebulan sebelum akhirnya meninggal,” cerita Tius tanpa kutanya setelah kami selesai berdoa.

Nggak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Dengan cepat aku berdiri dan melangkah meninggalkan Tius, meninggalkan tempat pemakaman itu. Aku melangkah pulang.

***

Semua barang sudah aku bongkar dari dalam kopor-kopor yang aku bawa dari Melbourne. Tapi surat-surat dan kartu pos yang dikirim Ipang, yang yakin aku bawa, tiba-tiba lenyap begitu saja. Foto-foto yang aku ambil waktu Ipang menyusulku ke Melbourne memang masih ada. Tapi sama sekali tidak ada gambar Ipang di dalamnya.

Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya terjadi. Lantas siapa yang datang ke apartementku waktu itu? Siapa yang menghabiskan waktu bersamaku di dalam apartement selama berjam-jam waktu itu?

Dengan marah aku melempar tasku ke lantai. Sesuatu terjatuh. Sesaat kemudian terdengar alunan musik yang sangat aku kenal. Aku bergegas meraih kotak musik kuno yang tergeletak di lantai itu. Benda itu nyata. Aku lantas meraba leherku. Kalung yang diberikan oleh Ipang setahun lalu di bandara tergantung di sana. Kalung itu benar-benar ada. Benda-benda pemberian Ipang masih ada. Jadi, aku nggak bermimpi. Ipang benar-benar menyusulku ke Melbourne tahun lalu. Tapi apa mungkin? He passed away five years ago!

***

Wangi mawar menyapa hidungku. Aku membuka mata dan menemukan diriku berbaring di padang rumput yang dikelilingi rumpun mawar putih. Langit biru cerah membentang di depan mataku.

“Udah bangun, Ta?”

Aku menoleh dan menemukan Ipang berbaring di sisiku. Dia tersenyum lantas membelai kepalaku lembut.

“Ipang?” tanyaku nggak percaya. Aku lantas memeluk tubuhnya erat. “Syukurlah. Gue pikir gue bener-bener kehilangan elo, Pang. Gue pikir elo bener-bener udah ninggalin gue,” kataku. Aku mulai terisak.

“Gue kan udah  janji nggak bakal ninggalin elo, Ta. Dan gue emang nggak bakal ninggalin elo. Gue bakal selalu ada di hati elo,” kata Ipang. “Udah. Jangan nangis.”

Aku membuka mata. Hah, cuma mimpi. Ipang benar-benar sudah pergi. Aku menangis lagi. Nggak tahu kenapa, air mata ini rasanya nggak mau berhenti keluar.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Bi Niti masuk.

“Ada apa, Bi?” tanyaku sambil berusaha menyembunyikan tangis.

“Ada tamu, Non. Katanya mau ketemu Non Cinta. Penting.”

“Ya udah. Suruh nunggu sebentar. Aku mau mandi dulu.”

Selesai mandi aku langsung menemui tamuku. Paul menantiku di ruang tamu dengan seorang cewek yang belum pernah kukenal sebelumnya. Dia tersenyum lantas mengulurkan tangan padaku.

“Gue Vero, pacar Paul,” kata cewek itu saat menjabat tanganku.

Great! Apa lagi sekarang? Paul punya cewek? Pernikahan sudah pasti nggak akan terlaksana.

“Ta, gue mau minta maaf sama elo. Gue mencintai Vero. Gue nggak bisa menikahi elo,” kata Paul tanpa banyak basa-basi.

Lagi, nggak ada kata-kata yang sanggup aku keluarkan selain oke. Aku mengangguk tanda mengerti.

“Oke,” kataku.

***

Papa membanting sendok yang dia pegang saat aku mengatakan tentang pembatalan pernikahanku dengan Paul di meja makan ketika makan malam. Papa nampak tidak menyukai apa yang baru saja aku katakan.

“Pokoknya bagaimanapun juga kamu harus menikah dengan Paul. Harus!” katanya.

“Tapi aku nggak mencintai Paul, Pa!” kataku.

“Nggak penting apakah kamu mencintai dia atau nggak. Yang penting kamu harus menikah dengannya!” kata papa bersikukuh.

Aku berdiri. Menatap tajam ke arah papa.

“Pa! Kenapa sih papa nggak pernah mau dengerin aku? Apa selama ini aku masih kurang nurut sama papa?!” kataku dengan marah. Aku lantas melangkah cepat meninggalkan papa di ruang makan, masuk ke dalam kamar dan menjatuhkan diri ke atas tempat tidur.

Rasa marah dan kesal masih membuncah di dalam dadaku saat pintu tiba-tiba terbuka. Papa masuk ke dalam kamarku lantas duduk di atas tempat tidur di hadapanku.

“Maafin papa ya, Sayang,” katanya.

Aku cuma diam menatapnya. Tapi entah bagaimana rasa benciku pada papa yang selama ini selalu memenuhi hatiku tiba-tiba menguap hilang saat kata maaf terucap. Aku lantas memeluknya erat.

***

Pelan aku melangkah meninggalkan gereja tempat Paul dan Vero menikah. Aku langsung pulang. Malas mengikuti resepsi pernikahan yang mereka adakan di sebuah hotel mewah, nggak jauh dari gereja.

Pintu depan terbuka saat aku sampai di rumah. Ada tamu rupanya.

“Cinta!”

Aku langsung mematung di pintu waktu tahu siapa tamuku. August berjalan cepat ke arahku lantas memelukku erat. Kami hampir berciuman, tapi aku buru-buru mendorongnya.

Sorry,” bisiknya cepat. “I miss you so much,” katanya lagi.

Kami menghabiskan banyak waktu mengobrol. Aku, nggak tahu kenapa, merasa sangat senang bertemu dengannya. Jujur, aku juga merindukannya.

Kedua mataku tiba-tiba menangkap sesuatu yang tergantung di leher August, yang aku yakin aku sangat mengenalnya.

It’s beautiful, isn’t it?” kata August waktu aku tiba-tiba menyentuh kalung yang dia pakai.

Dengan cepat aku menarik tanganku lantas meraba leherku dan melepas kalung yang aku pakai.

May I see yours?” tanyaku.

Sure,” kata August sambil melepas kalungnya dan menyerahkan kalung itu padaku.

Aku menyatukan kedua liontin kalung itu dan mereka menyatu dengan sempurna. Berarti benar, kalung yang dipakai August adalah kalung Ipang.

How did you get it?” tanyaku.

A guy gave it to me right after I brought you to the airport.”

Is he Ipang?”

“Ipang? Who’s Ipang?”

You know. My boyfriend. You’ve met him in Melbourne last year,” jawabku penuh semangat. Tapi August dengan cepat menggeleng.

Last year? We were on vacation last year. Just you and me.”

Liburan berdua? Tahun lalu? Aku bahkan nggak ingat kalo tahun lalu aku dan August pernah berlibur bersama. Yang aku ingat, tahun lalu Ipang menyusulku ke Melbourne lalu kami bertiga pergi berlibur bersama. Bertiga, bukan berdua.

Gosh! Apa mungkin aku sudah gila? Apa iya itu semua cuma hayalan? Kalo memang aku berhayal, lantas darimana aku mendapatkan kalung ini? Darimana aku mendapat kotak musik?

Are you okay?” tanya August, menyadarkanku dari lamunan.

“Mmm, yeah. I’m fine,” kataku berbohong. I’m not fine at all!!

***

“Kak Cinta masih mikirin Kak Ipang, ya?” tanya Tius waktu aku main ke panti asuhan esok harinya.

Aku nggak menjawab pertanyaan Tius. Aku cuma diam menatap air hujan yang jatuh lewat jendela. Buat sesaat nggak ada yang bicara.

“Kak, relain Kak Ipang pergi. Dia pasti sedih banget kalo liat Kak Cinta kayak gini,” kata Tius lagi.

“Aku pulang dulu,” kataku kemudian setelah menghela napas. Hujan sudah reda di luar. Tius mengangguk pelan.

Dengan malas aku melangkahkan kaki meninggalkan panti asuhan. Jalan masih basah bekas hujan yang baru saja reda. Aku berbelok ke sebuah gang kecil setelah membeli beberapa mawar putih di sebuah toko bunga di dekat perumahan. Melangkah pelan ke makam Ipang kemudian.

“Gue nggak gila kan, Pang? Gue nggak menghayal kan?” tanyaku dengan air mata yang nggak mau berhenti menetes begitu aku selesai memanjatkan doa.

Udara semakin dingin kemudian. Tapi aku nggak peduli. Aku tetap duduk di sini, di sisi makam Ipang dan menangis.

“Elo kan udah janji nggak bakal ninggalin gue, Pang? Kenapa elo ingkar janji? Kenapa elo ninggalin gue?”

Hujan mulai turun lagi. Cuma gerimis sesaat lantas mulai deras.

“Elo kan tau kalo gue sendirian. Gue cuma punya elo, Pang. Tapi kenapa elo ninggalin gue?”

“Cinta!” panggil seseorang yang sesaat kemudian meneduhkan aku di bawah payung yang dibawanya. “What do you think you’re doing?” tanya August. Dia kemudian memaksaku berdiri dan meninggalkan makam Ipang.

Let me stay! I wanna stay!” kataku sambil berusaha melepaskan genggaman tangan August di lenganku.

August melepaskan genggaman tangannya. Tapi tiba-tiba kepalaku terasa berat. Aku nggak mampu lagi berdiri.

***

“Maafin gue ya, Ta. Harusnya emang waktu itu gue nggak nyusul elo ke Melbourne. Jadi gue nggak bakal nyakitin elo kayak gini,” kata Ipang sambil membelai rambutku lembut. Aku bisa melihat kesedihan di kedua matanya. “Tapi gue terlalu sayang ama elo, Ta. Gue nggak bisa nahan keinginan gue buat bisa ketemu sama elo.”

“Pang,” panggilku.

“Gue emang bodoh. Harusnya gue tahu kalo gue cuma bisa bikin elo sedih dengan menemui elo. Maafin gue ya, Ta,” kata Ipang lagi.

Ada air mata yang jatuh dari kedua matanya dan kedua mataku.

“Jangan nangis, Ta,” katanya lagi sambil menghapus air mataku. “Gue harus pergi.”

Ipang berdiri dari sisiku.

“Jangan pergi, Pang. Jangan tinggalin gue. Gue sendirian di sini,” pintaku. Ipang tersenyum. Dia menggeleng.

“Nggak. Elo nggak sendirian. Ada seseorang yang bener-bener sayang sama elo. Dia nunggu elo, Ta. Dia bakal selalu nemenin elo.”

“Pang ....”

I’ll always guard you from a far,” bisik Ipang sebelum kemudian dia menghilang dalam hujan cahaya.

Aku membuka mata. August tertidur di kursi di sisi tempat tidurku. Dia keliatan capek banget. Aku dengan cepat menghapus air mata yang membasahi pipiku lantas membelai kepala August.

“Cinta?!” katanya begitu tahu aku bangun. Dia keliatan seneng banget. “Thank God!” katanya lagi. Dia lantas memanggil dokter.

“Kamu beruntung punya cowok setia. Dia sayang banget sama kamu. Dia bahkan nggak mau ninggalin kamar ini sebelum kamu sadar,” kata dokter yang memeriksaku. “Jangan bikin dia kawatir lagi, ya?” katanya lagi sebelum kemudian meninggalkan kamar tempat aku diopname.

I thought I’ve already lost you,” kata August begitu sampai di sisiku. Dia duduk di tepi tempat tidurku.

Kami saling diam menatap buat beberapa saat. August mendekatkan wajahnya, mencium bibirku sekali lagi dan aku membalasnya. Sama sekali nggak mendorong tubuhnya seperti yang sudah-sudah. Karena aku mulai sadar, aku menyayanginya.

***

Gaun pengatin ini akhirnya membalut tubuhku.

“Udah siap?” tanya papa yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.

Aku berbalik, memamerkan gaunku padanya.

“Cantik sekali!” pujinya sambil tersenyum. “Cepat! Jangan membuat August menunggu lagi.”

Ringan kedua kakiku melangkah di sisi papa. Mobil pengantin sudah menantiku di depan rumah. Buru-buru aku dan papa masuk ke dalam mobil yang akan membawa kami ke gereja.

“Ini dari siapa, Pa?” tanyaku waktu menemukan rangkaian mawar putih di dalam mobil.

“Apa?” tanya papa tak mengerti.

“Ini. Rangkaian mawar ini,” jawabku. Papa angkat bahu.

Penuh rasa penasaran aku membuka amplop kecil yang terselip di antara tangkai-tangkai mawar putih itu.

I'm happy for you.
I’lll  always guard you from a far.

With love, Ipang

Nggak ada lagi air mata yang menetes. Yang ada cuma senyuman bahagia. Dari jendela mobil aku menatap langit biru yang cerah.

Thanks, Pang,” bisikku. Tamat (31 Desember 2001)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil