Mama

nhne-pulse.org


Dua tahun yang lalu saya diperkenalkan dengan manusia luar biasa, manusia langka.

Di awal perkenalan kami, saya memandangnya sebagai manusia heboh yang begitu banyak melahirkan kata. Di pertemuan pertama kami, beliau banyak bercerita, banyak bertanya. Berbeda jauh dengan saya yang lebih sering diam dan menjadi pendengar ketika dihadapkan dengan orang yang baru saja saya kenal.

Tentang beliau, saya sebenarnya sudah mendengar cukup banyak. Dan dari yang saya dengar, semuanya hanya tentang kebaikannya. Saya mendengar bahwa beliau ini orang baik. Saya mendengar beliau orang paling tulus. Saya mendengar bahwa beliau ini adalah seorang pemberi. Apa pun yang bisa diberikan kepada orang lain, akan beliau berikan dengan ikhlas. Yang terakhir ini, saya baru benar-benar membuktikannya sendiri bahwa cerita itu benar.

Untuk ke sekian kalinya, di pertengahan Oktober kemarin saya mengunjungi beliau. Sama seperti setiap kali saya datang berkunjung, beliau menyambut saya dengan tangan terbuka dan heboh menanyakan saya ingin makan apa, mau dimasakkan apa, mau minum apa. Sebenarnya, tipikal seorang ibu. Tapi karena saya terbiasa dengan ibuk yang tidak terlalu banyak bertanya jika saya pulang, saya tetap menganggapnya heboh. Selama di sana, ya sebagai seorang anak, saya berusaha ikut andil mengurus rumah, ikut memasak, dan mengerjakan pekerjaan di dapur.

Pagi itu, saya menyambut beliau yang baru pulang dari pasar dengan kantong-kantong yang dipenuhi belanjaan. Saya merasa takjub dengan jumlah belanjaan yang beliau bawa. Untuk ukuran rumah yang hanya dihuni oleh tiga orang, jumlah belanjaan beliau cukup banyak. Saya lebih kaget lagi sewaktu akan memasak perkedel jagung dan mendapati jumlah tongkol jagung yang ada di kantong belanja. Semuanya ada sekitar tujuh tongkol jagung. Di pikiran saya yang telah selalu dibiasakan untuk menghemat, mengingat jumlah manusia di dalam rumah hanya tiga orang, maka yang akan saya buat perkedel jagung hanya tiga tongkol saja. Toh masih akan dicampur dengan tepung dan telur, jadi itu pun pasti sudah akan lebih dari cukup. Sisanya bisa disimpan di lemari es dan dimasak lain waktu. Tapi ternyata beliau berpikir lain. Beliau meminta saya memasak semua jagung yang ada. Sewaktu saya protes bahwa pasti akan kebanyakan nanti, dengan tenang beliau menjawab, "Ya kan nanti kita kasih ke tetangga-tetangga."

Ternyata apa yang selama ini saya dengar tentang beliau tidak salah. Beliau ini memang suka sekali memberi. Beliau benar-benar seorang pemberi yang ringan sekali ketika memberikan apa yang dimilikinya kepada orang lain. Beliau dengan entengnya menjawab seperti itu. Padahal jika dipikir-pikir lagi, kondisi beliau ini tidak berlebih. Cukup saja. Sama dengan kondisi saya selama ini.

Dulu saya pikir, manusia semacam ini sudah punah sekarang karena saya sudah lama sekali tidak bertemu manusia pemberi semacam beliau. Dengan berbagai alasan, kebanyakan manusia sekarang enggan untuk memberi. Merasa hidupnya masih belum cukup, merasa masih miskin, merasa masih akan ada waktu yang lebih tepat untuk bisa memberi nanti. Saya senang ternyata saat ini masih ada manusia seperti beliau. Saya senang saya dipilih untuk berjodoh dengan beliau, diberi kesempatan untuk mengenal beliau. Saya berharap, waktu saya untuk berjodoh dengan beliau akan sepanjang waktu hidup saya di dunia ini. Saya senang, saya telah diperbolehkan memanggil manusia luar biasa ini dengan sebutan 'mama'. :)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil