Vertigo

petricorphotography.com



Tuhan, Kau sibuk hari ini? Pastinya ya? Bodoh memang aku ini, menanyakan hal yang sudah kutahu pasti jawabannya. Tapi aku yakin, Kau ada waktu buatku. Iya, kan?

Tuhan, aku kehilangan keseimbangan di hidupku. Rasanya seperti vertigo saja. Hidupku tak lagi seimbang. Aku kehilangan motivasi. Yah, tidak dalam segala hal tentunya, tapi sayangnya pada satu hal yang agak besar nilainya: pekerjaan. Sudah hampir berbulan-bulan aku kehilangan motivasi kerjaku. Aku tak lagi menemukan asyiknya berangkat kerja pagi dan berlama-lama di kantor demi menyelesaikan pekerjaan. Aku tak lagi menemukan gairah untuk segera menyelesaikan pekerjaanku, bahkan ketika tahu besok aku harus mengerjakan yang lain lagi. Lebih parahnya, aku bahkan seolah tak lagi peduli bahwa bekerja itu ibadah. Parah, kan? Tapi separah-parahnya itu semua, ada yang paling parah. Aku merasa terputus dari-Mu. Ya, aku tahu Kau tak pernah menjauh. Aku tahu, pastinya ini aku. Aku yang membuat diriku sendiri menjauh dari-Mu. Tapi… entahlah.

Semalam aku bercerita pada temanku. Aku bilang padanya bahwa aku merasa terputus dari-Mu. Pertanyaan pertamanya setelah aku bercerita tentang rasaku adalah: “Semenjak kapan?”. Semenjak kapan. Hmm.. Awalnya aku tak tahu pasti semenjak kapan aku merasa seperti ini. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, seperti sejak awal tahun ini, sejak dilakukan site visite akreditasi, sejak aku tahu betapa busuknya pekerjaan beberapa orang. Sepertinya sejak saat itu, sejak aku mulai muak dengan semuanya, dengan orang-orang yang tak bekerja tapi ‘berhasil’ melaporkan hasil kerja. Hasil kerja dengkulan. Tapi mungkin juga sebenarnya ini adalah hasil tumpukan kekecewaanku. Aku kecewa karena orang-orang yang begitu penuh kepalsuan bisa melenggang dengan santainya dan bahkan merasa memiliki hak untuk menunjuk-nunjuk orang lain dan menyatakan mereka salah. Padahal orang-orang yang disalahkannya justru orang-orang yang begitu lurus, yang mengikuti aturan, yang memperjuangkan kebaikan semua, kebaikan tempat ini, masa depan para penerus bangsa ini. Tapi… entahlah.

Lalu semua yang sudah menumpuk itu diperparah oleh kepergiannya. Dia, guruku, sahabatku, kakakku, orang yang hampir setiap kata dan tindakannya telah selalu menjadi motivasiku. Orang yang mengajariku bagaimana menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih dekat dengan-Mu, yang mengajariku bahwa tugas seorang guru itu mendidik, tak hanya mengajar. Dia mengajarkanku bahwa tugas kami tak hanya sekedar menyampaikan materi di kelas, tak hanya menyampaikan teori dan membuat mereka hafal dengan teori-teori itu, tak juga hanya membuat mereka bisa melakukan suatu tindakan lewat pembelajaran praktika. Tapi, kami harus mendidik, memberikan contoh tindakan nyata. Kata beliau, ketika kita mengajar tentang etika, ya seharusnya kita bisa memberikan contoh bagaimana beretika yang baik. Tak hanya itu. Beliau juga yang mengajariku bahwa aturan itu dibuat bukan untuk dilanggar, tetapi untuk mengamankan diri kita sendiri. Beliau yang mengajarkan padaku untuk selalu disiplin dan mengikuti peraturan yang berlaku. Beliau yang mengajariku untuk memahami setiap peraturan yang bersangkutan dengan hidup kami. Beliau yang membuatku selalu termotivasi untuk itu semua, untuk mendidik anak-anak dengan pehamanan yang sama. Beliau yang membuatku termotivasi untuk datang kerja tepat waktu, untuk bekerja dengan benar agar tak perlu lagi kulaporkan kepalsuan, untuk memberikan contoh yang baik kepada anak-anak. Tapi… entahlah.

Aku benar-benar kehilangan keseimbangan sekarang. Kuda-kudaku goyah. Keseimbanganku hampir hilang seluruhnya. Pekerjaanku mulai berantakan. Hampir semua yang seharusnya bisa langsung kuselesaikan, kutunda hingga entah kapan. Lalu jam harianku ikut berantakan, benar-benar tak ada lagi semangat untuk menjalani hari. Aku mulai membenci semuanya, hampir semua orang. Muak aku pada mereka. Muak aku pada para manusia bermuka dua, pada para manusia yang selalu mencari muka, pada para manusia yang begitu munafik; perkataan dan perilakunya begitu bertolak belakang. Aku muak pada para pengambil keputusan, para manusia yang berwenang yang menerapkan aturan secara berbeda. Standar ganda kalau orang bilang. Padahal sebenarnya aku tak ingin membenci. Kau tahu kan? Membenci itu membebani hati. Membenci itu memperparah ketidakseimbanganku. Tapi…. entahlah.



Entahlah, Tuhan. Aku sedang tak paham dengan diriku sendiri. Mungkin benar kata temanku malam itu. Kau cemburu. Kau cemburu karena aku begitu mementingkan duniaku daripada dirimu. Kau cemburu karena aku begitu bertopang pada guruku itu, hanya dia yang kujadikan motivator hidupku. Kau cemburu karena aku melupakanMu. Jadi sekarang Kau menyuruhku pulang padaMu. Sepertinya memang seperti itu. Maafkan aku. Aku pulang sekarang. Kau masih mau memaafkanku? Menerimaku?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil