Tak Bersahabat



"Kau kenapa?" tanyaku seraya mendaratkan pantat di rumput yang masih basah oleh embun.

Dia tak langsung menjawabku seperti biasanya, membuatku menoleh padanya. Meninggalkan pemandangan birunya langit yang berpadu cantik dengan kejernihan air di depan sana. Dia masih diam, hanya melirikku dengan wajah yang ditekuk-tekuk. Itu. Wajah itu yang membuatku bertanya pagi ini. Tak seperti biasanya, pagi ini dia menyambutku dengan wajah cemberut itu.

"Jangan menggangguku. Kesal aku denganmu, kalian, manusia," katanya. Akhirnya.

"Lah, memangnya aku salah apa padamu?" tanyaku bingung. Seingatku terakhir kali kami berbincang kemarin, hubungan kami baik-baik saja.

"Alam tak bersahabat," katanya pelan. Sebuah gumaman bernada kecaman. Ada nada tak terima terdengar jelas dari sana.

Aku diam, menunggu. Yah, pada dasarnya aku sedang tak mampu menemukan kata-kata. Tak tahu harus mempertanyakan bagaimana.

"Kau tau? Lagi-lagi aku yang salah," lanjutnya tanpa kuminta. "Jadi yang tidak bersahabat itu aku. Aku tak bersahabat dengan manusia. Aku!"

"Tunggu! Tunggu!" sergahku. "Ini tentang apa?"

"Ini tentang aku muak pada manusia yang tak tahu diri, tak tahu terima kasih, sombong, angkuh, menyebalkan!"

"Woooo.. tenang, tenang... Kau lupa aku ini manusia? Kalau kau bilang seperti itu, artinya aku juga?"

"Yaa.. baiklah. Tak semua manusia. Kebanyakan manusia. Puas kau?" geramnya.

Aku tertawa kecil, berusaha mendinginkan suasana yang mendadak terasa panas.

"Saudara-saudara manusiamu itu... mereka...." Dia terengah oleh emosi. "Mereka benar-benar tak tahu diri! Mereka mengeluh di mana-mana bahwa alam sedang tak bersahabat. Mereka mengeluhkan banjir, kebakaran hutan, atau kekeringan panjang dan mereka bilang itu alam yang tak bersahabat.

"Sekarang coba kau pikir, siapa yang menebangi pohon di hutan dengan sembarangan? Siapa yang suka membakar sampah tak keruan? Siapa yang suka mengisi sungai dengan sampah yang berjejalan? Siapa? Alam? Bukan. Itu manusia!!!

"Bahkan setelah semua itu, aku masih berusaha memberikan yang terbaik pada mereka. Aku tetap membiarkan tetumbuhan tumbuh dari tanah, memenuhi kebutuhan perut mereka. Aku tetap membiarkan pepohonanku menyerap karbon dioksida yang kalian hasilkan, kemudian menggantinya dengan oksigen untuk memenuhi kebutuhan tubuh kalian. Aku tetap membiarkan air keluar dari tanah untuk kalian. Dan tetap saja, aku yang tak bersahabat?

"Jika akhirnya banjir, tanah longsor, pemanasan global terjadi, itu kan salah mereka sendiri. Hasil dari perbuatan semena-mena mereka sendiri terhadapku. Harusnya aku yang mengeluh. Bukan mereka. Harusnya aku yang bilang bahwa manusia sedang tak bersahabat. Bukan kalian!"

Dia masih terengah, tapi tak lagi memuntahkan kata-kata dan amarah.

"Tenang. Tarik napasmu baik-baik." Aku berusaha menjaga agar intonasi suaraku terdengar tenang.

Dia melirikku, masih dengan tatapan penuh kekesalan.

"Kau, beritahu saudara-saudaramu itu. Bilang, aku masih berusaha bersahabat dengan mereka. Suruh mereka berubah. Kalau tidak, kalian akan lihat sendiri seperti apa tidak bersahabatnya aku!"

Dia kemudian menghilang, bahkan tanpa berpamitan.

#TakBersahabat
Ternate, 21 Agustus 2016

Gambar @aiwulfric

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil