Cuti Bersama

http://brcouncil.com/jobs/



"Sibuk kamu?" tanya seorang perempuan.

"Nggak terlalu. Tinggal ngeprin ini aja. Kenapa?" jawab laki-laki yang duduk di belakang meja, yang baru saja didatangi. Dia  memandangi kursi kosong yang ada di depan mejanya, yang ada di sisi perempuan itu, memberinya tanda untuk duduk.

"Kesel. Permohonan cutiku ditolak," keluh perempuan itu seperti biasa.

"Duduk dulu."

Perempuan itu menurut lalu menjatuhkan diri di kursi kosong yang ditunjukkan padanya.

"Cuti apa?"

"Kan aku ngajuin cuti tahunan. Kan cutiku belum kuambil sama sekali dua tahun ini. Mumpung ini di rumah ada acara juga, jadi aku mau cuti, mau pulang pas lebaran ini. Tapi ditolak. Ngeselin."

"Kenapa emangnya?"

"Soalnya katanya habis lebaran itu ada cuti bersama jadi nggak boleh ngambil cuti. Aneh-aneh aja. Emang ada gitu aturannya di PP 53?"

Laki-laki itu tersenyum, sesaat membuka laci meja lalu mengeluarkan buku kecil dari sana. Bukan buku juga sebenarnya, hanya hasil cetakannya sendiri yang dia jilid seadanya.

"Pertama. Aturan cuti itu nggak ada di PP 53. Aturan cuti ada di PP nomor 24 tahun 1976." Laki-laki itu tersenyum lagi seraya mendorong jilidan itu ke arah perempuan yang duduk di hadapannya. Tangannya lantas merogoh laci meja lagi dan mengeluarkan sebuah jilidan yang lain. "Tapi, aturan yang kamu butuhkan itu ada di sini. Permenpan nomor 87 tahun 2005."

Perempuan itu menarik ragu kedua jilidan yang disodorkan kepadanya.

"Cuti tahunan itu hak pegawai. Benar. Tapi atasan berhak kok menolak jika memang ada pekerjaan yang mendesak. Eh, bukan ditolak deng. Tapi ditangguhkan. Ada di sini, di pasal tujuh." Laki-laki itu menunjuk jilidan pertama yang di halaman depannya tercetak tebal tulisan PP24/1976.

Jilidan pertama itu dibuka. Perempuan itu langsung membuka pasal tujuh. Temannya benar. "Cuti tahunan dapat ditangguhkan pelaksanaannya oleh pejabat yang berwenang memberikan cuti untuk paling lama satu tahun, apabila kepentingan dinas mendesak," gumamnya seraya membaca baris kalimat itu.

"Nah kalo kasusmu itu, kamu perlu baca ini." Laki-laki itu membukakan jilidan kedua kepada temannya. Di halaman depan jilidan itu tercetak tebal tulisan Menteri Pendayagunan Aparatur Negara Republik Indonesia, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor Per/87/M.PAN/2015 Tentang Pedoman Peningkatan Pelaksanaan Efisiensi, Penghematan dan Disiplin Kerja Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. "Kamu aparatur negara kan? Coba lihat pada bagian cuti. Ada di bagian belakang."

Perempuan itu menurut lagi. "Cuti bersama dalam rangka hari libur keagamaan diatur tersendiri dengan keputusan bersama menteri PAN, Menteri Agama, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Cuti Bersama PNS merupakan bagian dari cuti tahunan PNS sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1976. Sebelum atau sesudah pelaksanaan cuti bersama, PNS tidak diperkenankan mengambil cuti tahunan, kecuali alasan lain di luar cuti tahunan." Dia membaca poin ke enam.

"Jadi betul permohonanmu ditolak. Kan jelas aturannya. Cuti tahunan nggak boleh diambil sebelum atau setelah cuti bersama."

"Hish. Aneh-aneh aja sih aturannya."

"Kok aturannya yang aneh? Lah kan aturan ini udah ada sebelum kamu jadi pegawe. Harusnya kamu dong yang menyiapkan diri buat menjalankan aturan yang udah ada. Jangan sembarangan. Jangan sesukanya. Hak tetep hak, cuman kan ada aturannya."

"Nggak usah sok nasehatin deeeh. Nyebelin."

Laki-laki itu tergelak. "Engga nasehatin," katanya. "Ngomong kenyataan aja. Kan gitu harusnya. Kalo mau melakukan suatu kesepakatan itu kan baca term and condition-nya dulu baik-baik, nggak asal klik 'I agree' aja."

Perempuan itu memutar bola matanya.

"Loh, iya kan? Sekarang udah kadung masuk, masak terus protes aturan yang udah duluan ada. Lucu dong."

"Iya iyaaaa... Nyebelin kamu."

"Tapi kamu paham nggak aturan yang barusan itu? Yang nggak bisa diambil sebelum atau sesudah cuti bersama itu cuman cuti tahunan. Kamu kan masih punya hak cuti yang lain. Bisa kok diambil."

"Iya ya?"

"Iya. Tapi dicek lagi di PP 24. Alasan permohonan cutimu itu memenuhi syarat nggak. Jangan ngawur terus habis itu ngotot lagi. Terus kesel lagi."

"Kamu nih malah ngeledekin. Nyebelin. Udah ah." Perempuan itu berdiri. Tapi dia lantas dengan cepat menyahut kedua jilidan itu dari atas meja. "Pinjem. Buat belajar term and condition!" katanya sebelum melangkah pergi.

Laki-laki itu tergelak lagi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil