Hai, Matahari

pixabay


Hai, Matahari. Apa kabar? Sebenarnya aku ingin menyapamu sedari tadi. Tapi, maaf pekerjaanku banyak hari ini.

Jadi, bagaimana kabarmu? Lama aku tak melihatmu bersinar seterang hari ini. Rindu aku sebenarnya pada kehangatanmu. Beberapa hari ini aku tak benar-benar bisa merasakanmu. Ada hujan yang turun, atau jika tidak, ada awan mendung. Ini, aku bukan mengeluh. Untuk apa pula aku mengeluh. Kau tahu sendiri bagaimana aku mencintai hujan. Tapi, Matahari, kau juga tahu bagaimana aku membutuhkanmu. Aku jelas merindu jika tak ada dirimu.

Tapi, ngomong-ngomong, kau tahu tidak mengapa hari ini hujan tak datang? Iya, kan? Dia sama sekali tak datang hari ini? Apa kalian memang sengaja mengatur waktu, tahu bahwa aku merindukanmu? Atau mungkin karena dia di sana sudah menyampaikan salamku pada hujan? Iya, kemarin aku memang mengirimkan salam pada hujan sewaktu dia bilang di tempatnya sana hujan turun dengan deras. Aku bilang padanya untuk menyampaikan salamku, menyampaikan pada hujan agar dia tak datang dulu hari ini. Ada jemuran yang harus kukeringkan hari ini. Apa karena itu dia tak datang? Jika iya, wah, aku ini hebat sekali ya?

Eh, sudah dulu ya? Segini saja. Temanku sudah menyuruhku pulang. Masjid di luar sana sudah mengalunkan suara murotal. Magrib sudah dekat. Lagipula kau juga sudah harus pulang. Iya, kan? Jadi, segini dulu saja. Terima kasih sudah datang hari ini. Sampai ketemu besok pagi. Aku masih merindukanmu. Akan selalu merindukanmu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil