Penista Agama

www.asialifemagazine.com


"Kasus penistaan agama itu gimana kabarnya sekarang?" tanya seorang laki-laki berambut ikal sesaat sebelum dia menyesap kopi dari gelasnya.

"Udah ketutup berita lainnya kayaknya sekarang." Seorang laki-laki berkaca mata menjawab dengan tak acuh. Kedua matanya disibukkan oleh layar ponsel.

"Manusia macam itu.. Seharusnya memang dihukum saja. Beraninya menista agama. Neraka tempatnya."

"Menistakan itu artinya menghina kan ya?"

"Iya. Agama kok dihina. Manusia kurang ajar."

Laki-laki berkacamata itu menganguk-anggukkan kepalanya. "Hmmm.."

"Oiya. Cuaca akhir-akhir ini serem."

"Iya?"

"Hujan angin terus. Apalagi hari Jumat kemarin itu, waktu aku pulang dari Bali. Cuaca tak bagus. Hujan angin parah."

"Oya? Tapi bisa mendarat dengan sukses kan?"

"Iya. Tapi kau tahu? Waktu mau mendarat itu... goyangannya parah. Penumpang sudah pada panik. Di suasana seperti itu, penumpang di belakangku teriak-teriak ketakutan.. 'Bapa kami yang di surga...'. Orang mau mati kok malah manggilin bapaknya. Hahahaha..."

Si laki-laki berkacamata memandang heran teman sekantornya, laki-laki berambut ikal yang duduk di hadapannya.

"Santi, adikkmu itu apa kabar?" tanya laki-laki berambut ikal. Sekali lagi, kemudian dia mengangkat gelas dan menyesap isinya.

"Baik."

"Aku tiba-tiba ingat namanya."

"Kenapa?"

"Waktu di Bali kemarin namanya disebut-sebut terus."

"Siapa yang menyebut?"

"Ya orang-orang di sana.. Setiap kali ada yang presentasi di sana kan mereka sebutkan nama adikmu.. 'om... Santi.. Santi.." Nama om mereka sama. Santi. Hahaha.."

"Menurutmu penista agama itu harus dihukum?" Laki-laki itu membetulkan letak kaca matanya yang melorot.

"Tentu. Agama kok dihina!!"

"Menurutmu yang dikategorikan menistakan itu seperti apa?"

"Ya seperti yang dilakukannya itu."

"Kalo menjadikan Tuhan suatu agama sebagai olok-olokan, menurutmu itu menistakan?"

"Iya. Jangankan Tuhan, mengolok-olok cara beribadah atau kitab saja kan sudah menistakan."

"Dan itu harus dihukum?"

"Tentu."

"Artinya kau juga harus dihukum?"

"Aku?"

"Bukannya kau baru saja bercerita padaku dan menertawakan cara seorang penumpang berdoa pada tuhannya? Lalu kau juga menghina cara orang-orang di Bali memberikan salam. Kau menertawakannya, menjadikannya lelucon. Padahal mereka mendoakan kebaikan buatmu. Memohonkan kedamaian untukmu. Itu menistakan agama kan namanya? Dan penista itu harus dihukum kan? Neraka kan tempatnya?"

"Eh...."

"Agamamu adalah agama yang paling baik? Iya benar. Menurutku, agamaku memang agama yang paling baik juga. Agama paling sempurna. Aku yakin itu. Saking sempurnanya, semua hal sudah ada di sana, semua hal adalah penting untuk diberikan tuntunan bagaimana cara melakukannya. Termasuk bagaimana cara bersikap dan bertoleransi pada manusia lain yang berbeda. Dan karena sempurnanya, yang diajarkan di agama yang sempurna ini adalah kebaikan. Agama ini tak mengajarkan untuk menghina dan menyakiti manusia lain. Tidak ada tuntunan untuk menista agama lain. Bahkan tidak ada tuntunan untuk balas menghina ketika dihina."

Laki-laki berambut ikal itu memainkan ujung telunjuk kanannya di bibir gelas kopi yang hanya berisi ampas. Kedua matanya dipenuhi emosi yang siap meledak.

"Kau ustadz? Sok paham agama," katanya kemudian seraya berdiri lalu bergegas berlalu.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil