Aditya


 

Hal yang paling aku sukai adalah meneriakkan namaku dari atas tebing, mendengar suaraku digemakan oleh dinding-dinding tebing. Yah, sebenarnya aku tidak pernah tahu kenikmatan mendengarkan namaku digemakan sebelum aku mengenal sahabatku. Namanya Aditya Putri. Dia adalah orang pertama yang aku kenal sejak aku menjejakkan kaki di kampus. Dia juga orang pertama yang meninggalkanku. Tapi aku menyayanginya, sama halnya dengan teman-teman yang lain.

***

“DITYAAAA!!!” Aditya meneriakkan namanya keras-keras.

Jujur, aku tidak tahu apa maksudnya. Seperti anak kecil saja.

“Dengar-dengar!” Aditya menarik-narik lengan bajuku.

“Apaan, sih?”

“Dengar tidak? Alam memanggil namaku.”

“Yaelah! Itu kan gema, Dit!”

Aditya duduk di sisiku, tapi tidak mengatakan apapun. Dia hanya sesekali menatapku. Entah kenapa.

“Kamu tahu tidak kalo semua ciptaan Tuhan punya ingatan?” tanya Aditya tiba-tiba setelah diamnya yang cukup lama.

Aku menggeleng. “Bukannya yang punya ingatan cuma kita sama binatang?”
Sekarang giliran dia yang menggeleng. “Bukan, bukan hanya kita sama binatang. Tapi, semua ciptaan-Nya. Tumbuhan, sungai, laut, tanah, dan bahkan tebing-tiebing yang terlihat mati.”

“Lantas?” tanyaku.

Aditya menatapku. “Lantas?” Dia mengulangi ucapanku.

“Iya. Lantas kenapa kalo mereka punya ingatan?”

“Kalo mereka punya ingatan, artinya mereka bisa jadi saksi.”

“Maksud kamu?”

Aditya tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia diam sesaat.

“Di alam ini ada yang namanya Hukum Gema, Nin. Kamu pernah dengar kalimat ‘tanyalah pada rumput yang bergoyang’, kan?” Aku mengangguk. “Itu bukan hanya kiasan, Nin. Mereka bisa memberikan kesaksian atas apa yang mereka lihat dan dengar.”

“Terus, apa hubungannya sama Hukum Gema?”

“Karena semua hal itu punya ingatan, makanya dalam hidup kita harus hati-hati. Perbuatan kita, perkataan kita, semuanya digemakan oleh alam, dikembalikan pada kita. Entah itu baik atau buruk.” Aditya diam sebentar. “Masih suka ngaji?” tanyanya. Aku mengangguk ragu. “Di Qur’an ada, kan? Az Zalzalah ayat 7 sama 8? Semua perbuatan kita bakal ada balasannya.”

“Oh, jadi itu sebabnya kamu tidak pernah nyontek, tidak pernah marah setiap kali ada yang menghina kamu, tidak pernah berhenti tersenyum, tidak pernah berhenti membantu orang?”

Aditya hanya tersenyum.

“Kenapa sih kamu tidak jadi ketua BEM aja? Kan dengan begitu kamu lebih bisa menjangkau orang banyak, lebih bisa menularkan falsafah hidup kamu tadi. Kamu bisa jadi orang hebat.”

Lagi-lagi Aditya tersenyum. “Tidak usah menjadi ketua BEM, Lurah, Camat, Walikota, Gurbernur, atau Presiden, Nin. Menjadi diri sendiri itu saja. Orang hebat kan tidak selalu orang yang punya kedudukan. Lagipula, aku tidak punya banyak waktu.”

“Alah! Sok sibuk banget sih?” Aku memukul sebelah lengannya.
Senyuman nampak di wajahnya. Dia lantas menghela napas. “Aku teriakkan namaku soalnya aku ingin mereka mengingat namaku; tebing-tebing ini, sungai di sana itu, pohon-pohon, rumput. Siapa tahu …..” Aditya menggantung ucapannya.

“Siapa tahu apa?” tanyaku.

Tidak ada jawaban dari Aditya. Dia hanya tersenyum lalu berdiri, membersihkan celananya dari pasir yang menempel, dan mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambut uluran tangannya.

“Sekarang, teriakkan namamu.” Aditya melepaskan genggaman tangannya di tanganku.

“Kamu apa-apaan, sih? Nggak penting, tahu?”

“Ayo, Nin. Cepat!” Aditya menarik-narik tanganku.

“Iya, iya.” Aku menggelengkan kepalaku pelan melihat tingkah Aditya yang seperti anak kecil. “NINAAAAAA!!!” teriakku.

Aditya tersenyum waktu akhirnya aku meneriakkan namaku.

“Puas?” tanyaku. Aditya hanya tersenyum. “Pulang, yuk!” ajakku waktu melihat langit di barat yang sudah mulai merah.

Esoknya aku menyiapkan pesta kejutan ulang tahun untuknya, biarpun aku tahu dia akan marah. Dia tidak pernah merayakan ulang tahunnya. Kue ulang tahun yang aku siapkan, tidak berguna lagi. Aku tidak menemukan Aditya di kampus dan tidak akan pernah menemukannya tersenyum lagi. Dia ditemukan meninggal di dalam kamarnya pagi ini, tepat di hari ulang tahunnya. Orang tuanya bilang, akhir-akhir ini keadaan jantung Aditya memburuk. Jantung yang memang sudah tidak normal sejak dia dilahirkan. Tapi, buat aku jantung Aditya adalah yang terhebat. Karena berkat jantung itu, Aditya pernah ada di sisiku.

***

Hal yang paling aku sukai adalah meneriakkan namaku dari atas tebing, mendengar suaraku digemakan oleh dinding-dinding tebing. Yah, sebenarnya aku tidak pernah tahu kenikmatan mendengarkan namaku digemakan sebelum aku mengenal sahabatku. Namanya Aditya Putri. Dia adalah orang pertama yang mengajarkan padaku bahwa semua yang di alam ini punya ingatan. Dia adalah orang yang mengajarkan padaku tentang Hukum Gema; semua perbuatan dan perkataan kita akan digemakan oleh alam, dikembalikan pada kita, entah itu baik atau buruk. Dia mengajarkan padaku bahwa orang yang hebat tidak harus mempunyai kedudukan, tidak harus menjadi ketua BEM, Lurah, Camat, Walikota, Gubernur, atau Presiden, orang hebat adalah orang yang bisa menjadi dirinya sendiri.

Tamat (Sukoharjo, 25 Mei 2006)



nOtE: Nah, kalo yang ini pernah dapet juara I lomba penulisan cerpen di pekan olahraga dan seni Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 2006.

Komentar

Anonim mengatakan…
trima kasih, kak. atas ceritanya

inspiratif

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil