Maaf

Telpon genggam berwarna hitam itu hampir tidak pernah lepas dari genggaman tangan Afit sejak dia selesai sholat Subuh. Ini adalah puasa hari terakhir. Bagi Afit, dia harus menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat idul fitri dan memohon maaf. Dia tidak mau didahului orang lain. Makanya, sejak pagi tadi dia sudah memulai ritual pengiriman SMS idul fitrinya.

Taqabalallahu minna wa minkum, Minal aidin wal faidzin
Mohon maaf lahir dan batin.


Deretan huruf itu nampak di layar telpon genggam Afit. Lumayan lama kemudian, dia beranjak dari tempatnya duduk dan mengambil buku mungil yang ada di dekat komputernya.

”Abi, Abu, Adi, Anggi, Anto, Anzi, .....” Afit mulai membaca daftar nama yang ada di dalam buku kecil itu sambil membandingkannya dengan daftar laporan pengiriman pesan di telpon genggamnya. “Sepertinya sudah semua,” katanya.

Jari Afit lantas membuka halaman yang berisi deretan nama berawalan B.

”Badai, Bara, Beni, Bety, Bima, ....” gumam Afit seraya membaca deretan nama yang ada di hadapannya.

”Sibuk amat, Mas!” kata Fita. Adik tunggal Afit itu menjatuhkan diri di sofa, di hadapan kakaknya. ”Liatin daftar apaan, sih?”

”Ini, daftar temen Mas yang sudah Mas kirim SMS lebaran,” jawab Afit sambil masih membaca daftar nama yang ada di genggaman tangannya. Dia sekarang mulai bergerak ke daftar nama yang berawalan huruf D.

Fita memasukkan satu suapan mie instan ke dalam mulutnya.

”Perasaan, sudah Mas kirimin semua deh, Dek,” kata Afit sambil masih terus menjelajahi daftar nama di hadapannya.

”Terus? Ngapain Mas menjelajahi daftar nama itu lagi?” tanya Fita dengan mulut yang penuh mie instan.

”Perasaan ada yang kelupaan.” Afit masih membandingkan daftar di buku dengan laporan di telpon genggamnya.

”Maksudnya?” tanya Fita tak mengerti. Dia menatap ke arah Afit, tidak lagi fokus pada mie instan rebusnya.

”Iya, perasaan ada yang kelupaan. Tapi, Mas nggak tau siapa.”

”Ya udah lah, Mas. Kayak dunia bakalan kiamat aja kalo Mas nggak kirim SMS lebaran ke satu orang.”

Afit tidak begitu memperhatikan ucapan adiknya. Dia masih sibuk menjelajahi daftar nama yang ada di depannya.

”Emang siapa sih, Mas?” tanya Fita kemudian seraya meletakkan mangkuk kosongnya ke atas meja.

”Belum tahu. Aduh, siapa ya?” Afit masih penasaran. Kedua matanya masih menjelajahi buku telponnya.

”Penting?”

”Kayaknya sih penting banget. Kayaknya Mas punya banyak salah sama dia. Tapi Mas lupa siapa.” Afit masih belum menyerah. Tangannya membalik halaman buku ke daftar nama berawalan huruf J. ”Sebenernya tahun kemarin Mas sudah merasa kayak gini. Tapi nggak Mas cari. Tahun ini kok kayak gini lagi, ya? Perasaan bersalah Mas bahkan lebih parah dari tahun kemarin.”

Hampir setengah jam kemudian, Afit menutup bukunya. Dia lantas menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Kedua matanya menatap langit-langit kamar, mungkin jawaban yang dia cari ada di sana.

”Emang Mas salah apa sama dia?” tanya Fita yang tadi sempat menghilang dan sekarang tiba-tiba masuk ke dalam kamar Afit.

”Sebenernya Mas nggak gitu ngerti salah apa. Tapi rasanya Mas udah semena-mena. Rasanya Mas udah berbuat egois. Rasanya Mas udah terlalu banyak menuntut tapi Mas melalaikan beberapa kewajiban.” Afit menghela napas. ”Mas juga merasa kalo sebenarnya Mas sudah diberi banyak, tapi Mas nggak pernah berterimakasih.”

Fita mengangguk-angguk, mencoba memahami kebingungan kakaknya. ”Ya udahlah, Mas. Dipikirin besok lagi aja. Udah malem. Besok harus bangun pagi loh. Biar nggak telat sholat ied,” katanya sambil berdiri dan melangkah pergi.

”Astaghfirullahaladzim....” Afit langsung terbangun dan menepuk dahinya.

”Kenapa, Mas?” tanya Fita. Dia menghentikan langkah di pintu kamar.

”Mas ingat sekarang.”

”Siapa, Mas?” tanya Fita penasaran.

”Allah.”

Maaf – Tamat (16 Juli 2010)

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1431 H, MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN ^.^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil