Semalam Suntuk

Malam sudah mulai larut saat Egi membanting pintu kamarnya dengan keras. Raut wajahnya mengatakan bahwa hatinya sedang tidak bahagia. Dia nampak bersungut-sungut. Cowok itu lantas menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur lumayan keras.

“Menyebalkan!” katanya pelan. Lebih seperti menggumam.

Kepala Egi lantas dipenuhi oleh rencana pembunuhan yang mungkin sebentar lagi akan dia lakukan. Rencana untuk membunuh musuh bebuyutannya di sekolah itu. Cowok menyebalkan yang tidak pernah bisa membuat satu hari saja menjadi hari yang menyenangkan untuknya.

Egi bangun dari tempat tidur lantas duduk menghadap meja belajarnya lantas menyiapkan alat tulis dan siap menulis rencananya.

Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh menit, hampir tengah malam saat Egi mulai menulis.

“Bagaimana kalo aku membunuhnya dengan pisau?” gumam cowok itu sambil tersenyum. Dia lantas menulis:

- Mengasah pisau sampai menjadi sangat tajam.
- Mengendap-endap ke rumahnya.
- Masuk ke dalam kamarnya.
- Menghujaninya dengan tikaman pisau di perutnya saat dia tidur. Atau biar lebih cepat, langsung di jantungnya.

Egi berhenti menulis. Pikirannya melayang. Dia mulai membayangkan bagaimana puasnya dia melihat darah membasahi tubuh musuhnya itu.

“Tunggu dulu,” gumamnya. “Kalo aku membunuhnya dengan pisau, dia akan merasa kesakitan dan aku pasti tidak akan tahan melihatnya kesakitan. Aku memang membencinya, tapi aku tidak mau menyiksanya.”

Tangan Egi dengan cepat merobek kertas yang sudah dia tulisi dari buku, meremasnya lantas melemparkannya ke tempat sampah. Dia kembali berpikir setelah kertas itu berhasil masuk ke dalam tempat sampah, nggak jauh dari tempatnya duduk.

“Bagaimana kalo menggantungnya? Bukan ide yang buruk.”

Dengan cepat, Egi kembali menulis:

Menyiapkan tali tambang, menjerat lehernya dan menggantungnya di batang pohon besar yang ada di halaman rumah makhluk menyebalkan itu.

“Sebentar,” gumam Egi. “Kalo aku menggantungnya, dia akan sesak napas lantas wajahnya membiru. Dia akan tersiksa. Aku tidak tega menyiksanya.”

“Huh,” gerutu Egi sambil kembali merobek kertas yang dia tulisi, meremasnya dan kembali melemparkannya ke tempat sampah. Lantas berpikir.

Jarum pendek pada jam di dinding sudah menunjuk ke angka dua. Sudah cukup lama dia berpikir tentang bagaimana membunuh manusia menyebalkan itu tanpa membuatnya tersiksa.

Racun. Kata itu tiba-tiba melintas di kepala Egi hampir dua jam kemudian. Dengan racun, orang itu tidak akan merasa sakit karena luka, tidak sesak napas karena lehernya terjerat.

Lagi, Egi menggoreskan ballpoint-nya di kertas yang ada di hadapannya.

Membeli racun yang tidak menyebabkan sesak napas, Mengendap-endap ke rumahnya dan mencampurkan racun ke dalam makanannya, Dia pasti tidak menderita dan tidak tersiksa.

“Tidak menderita dan tidak tersiksa? Kemana pikiranku?” tanya Egi pada dirinya sendiri. “Dia tetap saja akan tersiksa dan menderita. Bukannya racun itu akan membuat perutnya sakit? Bukannya racun itu akan membuatnya pusing? Dia justru akan lebih tersiksa daripada ditikam pisau dan digantung karena akan memakan lebih banyak waktu untuk mati. Dasar bodoh! Bagaimana bisa aku tidak berpikir sampai ke sana?”

Dan sekali lagi, Egi merobek kertas yang ada di hadapannya, meremasnya dan melemparkan kertas itu ke tempat sampah.

Egi berdiri dari kursi yang tanpa dia sadari sudah dia duduki lebih dari tiga jam. Karena saat dia berpaling pada jam yang ada di dinding, jarum pendek jam itu sudah hampir menunjuk angka empat. Tinggal dua jam lagi sebelum matahari terbit, sebelum dia harus ke sekolah dan bertemu makhluk menyebalkan itu. Dan dia tidak mau hal itu terjadi. Dia tidak mau melihat makhluk itu dalam keadaan hidup lagi. Dia sudah bosan selalu menjalani hari yang menyebalkan.

Sebuah ide akhirnya muncul di kepala Egi ketika cowok itu masih berdiri di dekat meja belajarnya. Dia tetap berdiri di tempat itu, tidak beranjak sedikitpun. Kedua matanya menatap buku yang terbuka dan ballpoint yang ada di atas meja, yang seolah melambaikan tangan, memanggilnya. Tapi Egi masih saja tidak berpindah. Dia hanya menatap kedua benda itu dengan tersenyum.

“Aku tidak perlu menuliskan yang satu ini,” katanya lirih.

Egi melangkahkahkan kaki menjauhi meja belajarnya, menuju tempat tidur lantas pelan menjatuhkan tubuhnya pelan. Masih ada cukup waktu untuk tidur sebelum matahari terbit dan dia harus ke sekolah. Masih ada cukup waktu setelah semalam suntuk dia habiskan untuk rencananya.

***

Dengan riang, Egi melangkahkah meninggalkan rumahnya. Matahari baru saja terbit. Masih pagi. Egi dengan seragam sekolah lengkap dan tas sekolah di punggungnya, menghentikan langkah di depan sebuah rumah tak jauh dari rumahnya.

“Egi?” tanya seorang cowok begitu pintu rumah itu terbuka setelah diketuk pelan oleh tangan Egi.

“Hai, Ry,” sapa Egi. “Mmmm, aku ..... mmm ......” Egi diam sebentar. Ditatapnya wajah cowok yang berdiri di hadapannya itu. “Jadilah temanku,” kata Egi kemudian.
Ery, cowok yang berdiri di depan Egi itu hanya diam mematung menatap Egi. Nampak tidak mengerti dengan maksud ucapan Egi.

“Aku kira kamu membenciku,” kata Ery.

“Memang. Tapi hanya sampai dua jam yang lalu. Aku tidak mau memiliki musuh, Ry. Aku lebih suka punya teman,” ucap Egi.

Ada senyuman tersungging di wajah Ery, cowok yang selama ini juga menganggap Egi sebagai musuhnya. Tapi hanya sampai beberapa detik lalu, saat tawaran persahabatan keluar dari mulut Egi.

“Jadi, kita berteman?” tanya Egi sambil mengulurkan tangan.
Ery menatapnya sesaat sebelum kemudian dia menyambut uluran tangan Egi dan menarik tubuh cowok itu ke dalam pelukannya.

“Iya. Kita teman,” ucapnya. Tamat (7 Agustus 2004)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil