Perbincangan di Sebuah Kedai Kopi

Wajahnya nampak sudah bosan. Kedua tangannya bersedekap di dada. Kedua matanya yang merah nampak berusaha mencari pusat perhatian yang mungkin bisa menghapus rasa bosannya.

“Apa nggak apa-apa, Mas Han. Nanti kalo istri Mas Han tahu bagaimana?” tanya si Perempuan, nampak ragu-ragu duduk di sisi si Laki-Laki.

“Nggak apa-apa, Dik. Dia nggak akan tahu. Kita kan berada ribuan kilo dari dia. Mas sengaja mengatur pertemuan dengan klien di kota ini supaya kita bisa berduaan lebih lama dan lebih bebas,” jawab si Laki-Laki. Sebelah tangannya menarik tangan si Perempuan, memintanya agar mendekat.

Pemilik sepasang mata merah yang semenjak tadi berdiri di pojokan kamar hotel itu mendesah pelan, berusaha mengeluarkan kebosanan dari dalam tubuh dan pikirannya. Dia sudah tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

“Aku pergi sajalah,” gumamnya sebelum kemudian menghilang.

***

“Mencari seseorang?” tanya seorang perempuan sewaktu si Mata Merah muncul di sebuah kedai kopi.

Si Mata Merah lumayan terkejut juga ketika ditanya. Biasanya dimanapun dia berada, tidak pernah ada yang memperhatikannya. Yah, dia pernah dengar juga sih tentang manusia yang bisa merasakannya atau bahkan melihat dirinya, tapi dia belum pernah bertemu dengan salah satunya.

“Mencari seseorang?” tanya perempuan itu lagi dari tempatnya duduk.

“Kamu bicara padaku?” tanya Si Mata Merah, berusaha meyakinkan dirinya bahwa perempuan itu benar-benar berbicara padanya.

“Ya.” Perempuan itu menjawab dengan mantap. “Kamu yang berdiri di situ.”

“Kamu bisa melihatku?” tanya si Mata Merah seraya berdiri dan melangkah mendatangi perempuan itu, perempuan yang kemudian tertawa kecil.

“Berharap saja. Aku bahkan tidak bisa melihat diriku sendiri,” jawab perempuan itu, masih dengan diselingi tawa kecilnya.

Si Mata Merah melangkah mendekati perempuan yang duduk di dalam keremangan di meja pojokan kedai kopi itu lalu duduk di kursi kosong di hadapan perempuan yang ternyata kedua matanya seputih susu itu.

“Untung kamu tidak bisa melihatku. Kamu pasti akan lari ketakutan kalo saja bisa melihatku,” kata si Mata Merah tanpa melepaskan pandangan pada perempuan itu.

“Ya, untung,” jawab si Perempuan. “Menunggu seseorang untuk ditakut-takuti?” candanya kemudian.

“Haha. Lucu sekali,” jawab si Mata Merah.

Perempuan itu tertawa lagi. “Panggil aku Candra,” katanya.

“Pentingkah memanggilmu dengan nama?” tanya si Mata Merah.

Candra tersenyum. Dia menyeruput kopi di cangkirnya yang mulai dingin. “Yah, supaya sampai kapanpun kamu terkenang padaku,” katanya saat menurunkan cangkir kembali ke meja. “Kamu terdengar bosan sekali.”

“Sok tahu.” Si Mata Merah mengayunkan telapak tangan kananya ke atas meja dan tiba-tiba secangkir kopi sudah ada di hadapannya.

“Kamu tahu, Tuhan itu Maha Adil. Dia tidak memberiku mata tapi dia memberiku sesuatu yang lain sebagai gantinya yang membuat aku tidak memerlukan mata.”

“Ya ya ya... Tuhan memang Maha Adil.” Si Mata Merah menjawab dengan asal-asalan sebelum kemudian menyeruput kopinya. “Buat kalian, para manusia,” lanjutnya.

“Kenapa hanya buat manusia?” tanya Candra bingung.

Suara desahan napas terdengar jelas sebelum kata-kata meluncur dari mulut si Mata Merah.

“Kalian itu enak. Kalian itu makhluk yang diciptakan paling akhir tapi paling sempurna. Kalopun ada kekurangan di sana sini, tapi toh Tuhan tetap memberikan ganti entah itu kemampuan atau keahlian yang lainnya.” Si Mata Merah diam sesaat. “Seperti kamu, misalnya.” Dia diam lagi, menghela napas sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. “Padahal kalian diciptakan terakhir, tapi kami yang diciptakan terlebih dahulu, yang selama ini selalu setia melayani-Nya, diminta tunduk pada kalian, diminta menghormati kalian. Memangnya kalian itu siapa? Kalian cuma makhluk yang tercipta dari tanah. Kotor! Egois! Kufur!”

Ada suara tawa kecil dari Candra. “Itukah pandanganmu terhadap manusia? Tidak semua manusia seperti itu.”

“Belum. Tinggal kita tunggu saja.”

“Itu kan juga karena bisikan bangsa kalian,” kata Candra. Dia kembali menyeruput kopinya.

Candra mendengar suara bergemelutuk, seperti gigi-gigi yang beradu dan sendi-sendi yang digerakkan sekuat tenaga.

“Itulah manusia. Tidak mau disalahkan. Kalo sampai berbuat salah, berbuat dosa, pasti kalian akan bersembunyi di balik kata-kata terhasut setan lah, tidak tahan dengan godaan setan lah. Lucu sekali.” Si Mata Merah tertawa sinis.

“Bukannya memang tugas kalian untuk menggoda manusia?” tanya Candra.

“Tugas? Bukan. Itu janji leluhur kami. Leluhur kami bersumpah akan selalu menggoda kalian, membuat kalian melakukan dosa dan dibenci oleh Tuhan. Dan kami termakan sumpah kami sendiri.”

Dahi Candra berkerut, kedua alisnya bertaut, tidak paham dengan apa yang baru saja diucapkan teman barunya itu.

“Sekarang kami selalu dijadikan kambing hitam. Kalian para manusia tanpa kami goda, tanpa kami bisiki pun sudah banyak yang melakukan dan bahkan menikmati dosa. Aku contohnya, sudah lama sekali sejak aku terakhir kali membisiki manusia untuk melakukan dosa. Akhir-akhir ini setiap kali aku datang, tanpa aku minta, mereka sudah melakukan dosa dengan sendirinya. Tapi toh tetap saja kalo ketahuan manusia lain, aku yang disalahkan. Padahal aku tidak melakukan apa-apa.”

Candra tidak mampu berkata-kata. Sebuah senyum yang tidak dapat dimengerti maksudnya oleh si Mata Merah nampak tersungging di wajahnya.

“Baru saja kemarin aku mengikuti seorang laki-laki yang berselingkuh, yang pamit pada keluarganya untuk tugas keluar kota tapi ternyata di sana dia berzinah, berhubungan badan dengan perempuan lain yang bukan mukhrimnya. Aku bahkan tidak perlu melakukan apa-apa untuk membuatnya melakukan dosa. Aku cukup diam, membiarkan dia mengikuti hawa nafsunya, sisi kesetanannya. Dan abrakadabra, satu dosa tercipta lagi.”

Lagi, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Candra. Kata-kata teman barunya itu memenuhi kepalanya. Haruskah dia percaya padanya? Bukankah setan itu hanya bisa membawa pengaruh buruk?

“Yah, terserah kamu mau percaya atau tidak padaku,” kata si Mata Merah. Suara-suara yang ada di kepala Candra ternyata bisa sampai di telinganya. “Yang perlu kamu tahu adalah bahwa Tuhan menciptakan manusia begitu sempurna, begitu lengkap, dengan perpaduan antara malaikat yang patuh dan kami yang selama ini dianggap pembangkang penuh hawa nafsu. Sebenarnya, bukan bisikan dan godaan kami lagi yang membuat kalian, para manusia, berbuat dosa. Kalian itu punya sisi setan kalian sendiri, punya hawa nafsu sendiri yang kalian harus tahu bagaimana cara menahannya.”

Kepala Candra terangguk-angguk, mulai memahami apa yang ada di dalam kepala teman barunya itu.

“Besok, kalo kamu punya anak, jangan tanamkan apa yang selama ini ditanamkan oleh manusia-manusia sebelum kamu ke dalam kepala kamu,” kata si Mata Merah sambil melambaikan telapak tangan kanannya ke atas cangkir kopinya dan membuatnya menghilang.

“Maksud kamu?” tanya Candra kembali tak memahami maksud ucapan teman barunya.

“Hih, kamu ini,” kata si Mata Merah gemas, membuat Candra terkikik.

“Maaf, tapi aku benar-benar tidak paham maksud kamu,” kata Candra sambil terkikik.

“Ubahlah kata-kata yang selama ini kalian pakai, jangan menyuruh anak cucu kalian untuk menghindari godaan setan, tapi suruhlah mereka menahan hawa nafsunya. Aku sudah bosan dijadikan kambing hitam dari dosa-dosa kalian. Lagipula mungkin dengan begitu anak cucu kalian akan belajar untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan, tidak hanya terus-terusan menyalahkan kami.”

Telpon genggam Candra berbunyi tepat ketika teman barunya itu mengakhiri ucapannya.

“Maaf,” kata Candra seraya menunjukkan telpon genggamnya.

“Yah, silakan. Aku juga sudah selesai.” Si Mata Merah berdiri. “Senang bisa mengobrol denganmu. Aku pasti akan ingat kamu, Candra. Semoga harimu menyenangkan.” Si Mata Merah lantas menghilang, meninggalkan Candra.

Candra tersenyum dan mengangguk sebelum kemudian mengangkat telpon.

“Iya, Mas Han. Aku mengerti.” Candra diam sesaat, mendengarkan orang yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya memberikan penjelasan. “Sudah, Mas Han. Aku tidak apa-apa. Justru Mas yang harus belajar untuk bertanggung jawab dengan nafsu Mas sendiri, jangan selalu menyalahkan setan,” katanya lagi sebelum kemudian memutuskan telpon, berdiri, meluruskan tongkatnya lalu mulai melangkah dan tersenyum saat melewati si Mata Merah yang membalas senyumnya sambil berdiri bersandar di dinding di dekat pintu kedai kopi.

Tamat (Ternate, 20 Maret 2011)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil