Durhaka


 
 
"Uang, uang terus!” bentak bapak, laki-laki yang dua puluh tahun lalu mengucapkan sumpah pernikahan untuk ibu. ”Awal bulan kan aku sudah kasih uang belanja. Masak baru tanggal segini sudah habis?! Pasti kamu selewengkan!”
 
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut ibu. Wanita berparas ayu itu hanya diam sambil menundukkan kepala, tidak berani menatap wajah kepala keluarganya.

”Kamu pasti belanja hal-hal yang tidak penting, ya?” Bapak menggenggam lengan ibu dengan erat, membuat ibu meringis kesakitan. Ibu menggeleng pelan. ”Kalau tidak, lantas kemana uang yang aku berikan awal bulan ini, hah?”

”Harga sembako naik lagi, Mas,” kata ibu pelan.

”Mana mungkin! Baru sore ini aku lihat di televisi kalo harga-harga turun!”

”Di televisi?” tanya ibu bingung.

”Iya, di televisi! Tadi menteri perekonomian sendiri yang bilang sewaktu diwawacara saat inspeksi pasar.” Bapak melepaskan genggaman tangannya. ”Masak menteri mau menipu? Kamu jangan coba-coba menipu ya?!”

”Demi Allah, Mas. Buat apa aku menipu mas?” tanya ibu nampak menahan sesak di dadanya karena kesal.

Plak! Tangan bapak mendarat di pipi ibu. Pasti sakit sekali.

”Sudah diam! Kamu itu memang nggak becus ngurusi duit!” Bapak duduk di kursi ruang tamu dengan sebatang rokok di tangan dan wajah penuh kekesalan.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya diam menatap kedua mata ibu yang menitikkan air mata.

***

Aku tidak berani mengatakan apa-apa sewaktu menemukan ibu menatap pantulan dirinya di sebuah cermin besar. Di dalam cermin yang berhias ukiran kayu itu nampak seorang wanita dengan wajah yang tidak tertutup make up, rambut yang diikat asal-asalan dengan karet gelang, dan kedua mata yang bengkak akibat tangis.

Hah, aku benci seperti ini. Kenapa setiap kali bapak menyiksanya, ibu hanya bisa menangis? Kenapa ibu tidak melawan? Ibu kan tidak bersalah. Kenapa seolah-olah ibu menganggap dirinya pantas dihukum degan segala macam kata-kata pedas dan menyakitkan itu? Ayolah, Bu. Berhentilah menangis dan tegakkan kepala ibu!

Aku ingin sekali mengucapkan semua itu padanya. Aku ingin bisa berdiri di sana membela ibu. Tapi, aku tidak bisa. Aku hanya bisa menatapnya selalu disiksa bapak. Selalu begitu.

Ibu masih menatap bayangan dirinya di cermin itu dengan air mata membasahi pipinya.

***

Bapak tengah membuka tudung saji ketika ibu keluar dari kamar mandi.

”Dik, kok telurnya cuma satu?” tanya bapak.

”Maaf, Mas. Tadi aku makan duluan, habis lapar banget, jadi aku nggak nunggu Mas bangun. Mas mau makan sekarang?”

Ya ampun, Bu! Kenapa ibu harus berbohong? Ibu seharian ini kan belum makan? Ibu itu kan manusia biasa yang butuh makan. Ibu tidak perlu mengalah untuk itu. Kalau ibu mengalah terus seperti ini, lama-lama ibu bisa sakit. Aku nggak mau ibu sakit.

Ibu buru-buru melangkah ke meja makan dan mempersiapkan sarapan di piring. Tapi, bapak hanya meminum sedikit teh hangat yang sudah disiapkan ibu dan sama sekali tidak menyentuh masakan buatan ibu.

”Aku buru-buru. Ada rapat pagi!” kata bapak sambil berlalu.

Bapak, apa-apan itu? Sama sekali tidak ada penghargaan untuk ibu? Padahal ibu sudah bangun pagi-pagi untuk memasakkan sarapan dan bahkan rela mengalah supaya bapak bisa makan makanan yang bergizi. Tapi, bapak bahkan tidak menyentuh masakan ibu sama sekali?

”Bapak ndak sarapan lagi,” keluh ibu pelan. Tapi, tetap saja ibu mengejar langkah bapak dan mencium tangannya dengan penuh hormat.

”Aku nanti pulang telat. Ada urusan kantor.”

”Iya, Mas,” jawab ibu. ”Hati-hati di jalan.”

”He em,” jawab bapak sekenanya.

Huh! Lama-lama aku kesal dengan ibu. Kenapa harus sebegitu hormatnya dengan orang yang tidak menghormati dirinya.

***

Air mata membasahi pipi ibu. Ibu tidak berhasil mencegah air mata itu jatuh lagi sewaktu mendengar suara yangti di telpon.

”Ya sudah, Nduk. Kamu yang sabar ya? Tuhan kan bersama orang-orang yang sabar,” kata yangti begitu ibu selesai menceritakan perlakuan bapak padanya. ”Kamu harus bisa jadi istri yang baik, yang nurut sama suami.”

Tidaaaaaaaaak!!! Jangan dengarkan nasehat itu, Bu. Jangan! Ibu sudah lama mengalah. Sudah terlalu lama, malah. Sekarang saatnya ibu mempertahankan harga diri ibu. Kalo ibu hanya sabar, menerima, diam saja, dan selalu menurut apa saja katanya, Bapak akan semakin menginjak-injakmu. Menjadi istri yang baik itu bukan berarti harus selalu menuruti semua perintah dan perkataan suaminya.

”Apa kamu mau jadi istri durhaka dan masuk neraka?” tanya yangti lagi.

”Ndak, bu,” jawab ibu lirih sambil menghapus air matanya.

”Ya sudah. Kamu baik-baik ya di sana? Kamu harus nurut sama suamimu.”

”Iya, Bu.”

Gagang telpon itu diletakkan ibu kembali ke tempatnya. Tapi, isakannya tak kunjung reda.

Aduh, Bu. Apa gunanya ibu menangis seperti ini? Yah, aku tahu kalau ibu pasti berharap air mata yang keluar akan ikut membuang rasa sedih di hati ibu. Tapi kalau ibu tidak berusaha melakukan apa-apa dan hanya menangis, lantas bagaimana keadaan ini akan berubah? Ayolah, Bu. Lakukan sesuatu!

***

Hari ini, teman-teman kantor bapak berkunjung ke rumah. Kata bapak, mereka mau pergi memancing bersama, mumpung ada libur yang agak panjang.

”Dik, bikinin minum buat temen-temen!! Tiga, ya?” teriak bapak dari ruang tamu.

Tanpa menunggu diperintah dua kali, ibu langsung berdiri, meninggalkan baju kerja bapak yang baru diseterika bagian punggungnya. Tangan-tangannya yang ramping mengambil empat buah gelas dan segera mengisinya dengan es teh manis kesukaan bapak.

”Wah, ini istrimu, Ton?” tanya salah teman sekantor bapak, sewaktu ibu keluar menyuguhkan minuman.

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh bapak.

”Silakan diminum” kata ibu setelah selesai meletakkan empat buah gelas ke atas meja ruang tamu. Ibu kemudian menyalami tamunya satu persatu.

”Ayo ikut mengobrol di sini!” Seorang teman bapak yang lain, menggeser duduknya, memberi tempat pada ibu untuk duduk.

”Ah, ndak usah. Dilanjut aja. Saya mau ke belakang. Saya kan cuma kanca wingking­-nya bapak saja,” kata ibu sebelum kemudian.

Ibuuu, hentikan mengucapkan kata-kata itu! Mana harga diri ibu? Kalau ibu bahkan tidak menghargai diri ibu sendiri, bagaimana mungkin orang lain akan menghargai ibu? Kanca wingking, kanca wingking.... Ah, kenapa sih ibu harus mengucapkan kata-kata itu? Seolah-olah ibu itu hanya berfungsi sebagai robot yang bertugas di dapur, yang tidak patut dipamerkan di depan teman-temannya, dan tidak penting bagi bapak. Menyebalkan sekali!

”Iya. Nggak usah. Kerjaan kamu masih banyak kan di belakang. Sudah sana!” Bapak mengucapkan kata-kata itu tanpa memandang ibu sedikitpun.

Kedua tanganku menggenggam kuat. Ada amarah yang merambatiku. Tapi, lagi-lagi aku tidak bisa apa-apa.

***

Hari ini ibu nampak lelah sekali. Sesekali sebelah tangan ibu memijit pelipisnya. Biasanya ibu melakukan hal itu kalo kepalanya nyeri. Napas ibu nampak hampir habis. Padahal kegiatan ibu hari ini tidak berbeda dari biasanya; memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, membersihkan rumah, menyeterika pakaian.

”Dik, aku lagi pengen,” kata bapak sambil menyalakan sebatang rokok.

Ibu yang sedang memberesi piring bekas makan malam, menghentikan langkahnya buat sesaat. Ibu menghela napas.

”Maaf, Mas...”

”Ya kalo kamu nggak mau juga nggak apa-apa.” Bapak menghisap rokoknya lalu menghembuskan asap berwarna putih. ”Kalo kamu mau jadi istri durhaka kan aku nggak bisa mencegah.”

Dasar! Sudah cukup, Bu. Jangan dengarkan bapak lagi. Bapak selalu menggunakan senjata itu setiap kali ibu berusaha menolak permintaannya; durhaka. Tidak, Bu. Ibu sedang sakit. Aku tahu ibu sedang sakit. Jadi, ibu tidak akan menjadi istri yang durhaka kalo menolak permintaan bapak malam ini.

”Mas..” Ibu meletakkan piring kotor di bak cuci piring. Menghela napas sejenak lantas berbalik. ”Maaf, Mas. Tapi aku...”

Bapak dengan cepat berdiri dan melangkah ke arah ibu.

Plak! Sebuah tamparan mendarat lagi di pipi Ibu. Pasti sakit sekali rasanya. Tangan bapak lantas menarik sebelah tangan ibu, memaksa ibu masuk ke dalam kamar.

Aku mendengarkan suara ibu dengan air mata yang menetes. Itu bukan erangan pebuh kebahagiaan yang seharusnya ibu dapatkan dari bapak. Itu erangan penuh rasa sakit.

Ya ampun, Bu!! Ini pemerkosaan namanya! Aku benar-benar sudah tidak tahan.

***

Aku mendekati ibu yang tengah berbaring di ranjang dengan mata terpejam. Bapak sudah berangkat kerja sekitar dua jam yang lalu setelah seperti biasa melewatkan sarapan buatan ibu.

”Bu,” panggilku seraya bersimpuh di lantai dekat tempat tidur.

Air mata menetes dari kedua mata ibu yang terpejam.

”Ibu,” panggilku sekali lagi.

Sebelah tanganku membelai rambutnya, sebelah lagi menggenggam tangannya.

”Adik sayang banget sama ibu.” Aku merasakan ibu menggenggam erat tanganku. ”Adik nggak rela ibu diam saja diperlakukan bapak seperti itu.”

”Ibu nggak mau durhaka sama bapakmu, Sayang,” ucap ibu lirih.

”Tidak. Ibu tidak durhaka.” Aku menatap mata ibu yang terpejam tapi terus meneteskan air mata. “Ibu harus melawan bapak, Bu”

Kepala ibu tergeleng pelan. Air matanya masih menetes dan semakin deras.

“Kalo ibu melawan bapak, kalo bapakmu pergi, ibu hidup sama siapa, Sayang? Ibu cuma punya kamu dan bapakmu. Kamu sudah pergi jauh, kalo bapakmu pergi….”

Aku merasakan air mata membasahi pipiku. Pandanganku mulai kabur. Kepalaku mulai berdenyut-denyut lagi. Setiap kali mengingat hari itu, waktu aku pulang sekolah dan menemukan bapak untuk kesekian kalinya memukul dan memaki ibu, bagian belakang kepalaku selalu berdenyut-denyut. Aku masih ingat betul bagaimana rasanya sewaktu amarahku naik seleher, membuatku berlari dengan cepat lalu menubruk tubuh kerempeng bapak yang saat itu siap mengayunkan pukulan ke wajah ibu. Aku masih ingat bagaimana hangatnya air mata ibu yang membasahi bajuku sewaktu aku memeluknya. Aku juga masih ingat bagaimana sakitnya cengkeraman tangan bapak di lenganku dan hempasannya yang kuat sewaktu memisahkan pelukanku di tubuh ibu.

Aku menghela napas.

“Ibu harus berani, Bu. Tuhan tidak menciptakan manusia untuk diinjak-injak manusia lain. Ibu harus mencintai diri ibu sendiri, harus mempertahankan harga diri ibu sebagai manusia. Ayolah, Bu.”

Sebuah senyuman nampak di wajah ibu. Tak lama ibu membuka mata. Air matanya tak lagi tumpah. Ibu menatapku, tidak, ibu menatap menembusku, ke arah fotoku yang ada di dinding di hadapannya.

“Terimakasih, Sayang,” bisiknya.

Aku mengangguk.

***

”Kamu itu bodoh atau apa ha? Bukannya aku sudah bilang kalo aku suka sayur asem yang pakai tomat, bukan belimbing wuluh seperti ini! Cepat ganti dengan yang baru! Cepat buatkan!” kata bapak, setengah membentak.

”Tap...”

”Tapi apa?” bentak bapak semakin keras. ”Kamu mau melawan? Kamu mau jadi istri durhaka?”

”Bukan begitu, Mas.”

Belum sempat ibu mengungkapkan alasannya, tangan bapak menarik mangkok sayur dari atas meja, menyiramkan sayur itu lalu melemparkan mangkuk berbahan gelas itu ke arah ibu. Kali ini pelipis ibu yang jadi sasaran. Mangkok itu pecah saat menyentuh lantai dan menyebarkan potongan-potongan kecilnya ke kaki ibu. Darah lantas mengalir melewati kulitnya yang terbuka. Senyuman mengembang di wajah Bapak waktu melihat tubuh ibu basah kuyub.

”Cukup! Aku sudah tidak tahan lagi.” Ibu menarik napas. Kedua tangannya berusaha membersihkan wajah dari sayur asem yang masih lumayan panas.

”Kamu nggak usah macam-macam! Sana! Cepat buatkan! Dasar istri nggak berguna!” bentak bapak lagi.

Ibu menatap laki-laki itu penuh kebencian. Belum pernah aku mlihat tatapan ibu sebenci itu pada seseorang.

”Apa kamu liat-liat?!” Bapak melotot ke arah ibu.

Dengan cepat ibu menunduk, menarik pecahan besar mangkok sayur dari lantai, lalu melemparkan benda itu ke arah bapak.

”Berani-beraninya kamu?!! Aku ini suamimu!” bentak bapak.

Bapak melangkah cepat ke arah ibu, mengangkat tangannya, siap menampar ibu seperti yang biasa dia lakukan. Tapi ibu dengan cepat menendang simbol kelaki-lakiannya dengan keras, membuat bapak jatuh berguling kesakitan di lantai ruang makan.

”Maafkan aku, Mas. Aku tidak mau jadi istri yang durhaka. Tapi aku juga manusia yang punya kedudukan yang sama dengan mas. Aku berhak diperlakukan sama dengan manusia lain, tidak diinjak-injak,” kata ibu sambil berdiri menatap bapak. ”Maaf aku harus melakukan ini, Mas. Aku tidak mau kematian Wani saat membelaku sia-sia.” Ibu menghela napas. ”Mas masih ingat kan? Wani, anak semata wayang kita yang harus mati saat membelaku, melawan kesemena-menaanmu?”

Bagus sekali, Bu. Ibu bahkan mampu mengucapkan namaku tanpa meneteskan air mata lagi. Aku sayang ibu. Sayang sekali. Ibu harus menjadi wanita yang berani, sama seperti nama yang ibu berikan padaku dulu.
”Maaf, Mas. Aku meninggalkanmu.” Ibu melangkah pelan meninggalkan bapak yang masih berguling-guling di lantai menahan sakit.

Durhaka – Tamat (17 Agustus 2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil