Kangen





Matahari sudah mulai tinggi ketika aku selesai menjelajahi taman laut dengan snorkle-ku. Tapi, aku masih merasa enggan untuk meninggalkan dinginnya air laut yang hari ini begitu tenang. Jadi aku melemparkan perlengkapan snorkling-ku ke dekat tumpukan barang di atas pasir putih lalu meraih salah satu ban besar yang disewakan ibu pemilik salah satu warung di pantai ini. Aku kembali menceburkan diri ke dalam air, menyangga tubuhku dengan ban berwarna hitam, membiarkannya dan daya dorong ke atas air laut untuk membuatku terlentang di permukaan air.

Matahari. Siang ini dia tidak bersinar terlalu garang. Sinarnya menembus daun-daun pohon ketapang yang menjadi pelindung tepi pantai, menerpa wajahku, membagi kehangatannya. Dia mengingatkanku padamu. Ya, kamu. Lelaki yang telah kubiarkan menyusup masuk ke dalam hatiku. Kamu yang begitu penuh kehangatan dan selalu bisa menenangkan hatiku tapi selalu tak bisa aku sentuh.

“Aku kangen sama dia, Ri.” Aku memejamkan mata dan menggerakkan kakiku, mendorong tubuhku keluar dari bayang-bayang pohon ketapang, ingin lebih bisa merasakan kehangatan sinar matahari di wajahku.

“Kangen sama dia kok bilangnya ke aku!”

Aku tertawa mendengar cibiran Matahari. Dia memang selalu seperti itu, apa adanya.

“Ya mau bagaimana? Kamu kan tahu aku nggak bisa ngomong langsung ke dia, Ri.” Aku masih memejamkan mataku, membayangkan bisa menatap langsung si Supernova itu, bisa menatapi senyumannya.

“Kenapa nggak bisa? Memang kamu nggak punya mulut?”

Sial! umpatku dalam hati. Dia ini sebenarnya tahu keadaanku, tapi dia selalu saja mencibir apa yang aku lakukan. Kadang aku sebal sekali padanya, tapi aku selalu saja datang, selalu saja berusaha dekat dengannya karena seringnya, walaupun menyakitkan, dia selalu saja menjadi pihak yang benar.

“Kangen itu kudu diungkapin, biar nggak jadi penyakit!” katanya lagi.

“Tapi….” Aku menggantung ucapanku. Haruskah aku mengingatkannya bahwa aku ini perempuan? Dia pikir, untuk seorang perempuan, mengungkapkan rasa itu semudah bernapas?

Ya, harusnya dia itu tanpa kuberitahukan alasanku sudah paham bahwa aku tidak akan bisa mengatakan langsung padamu betapa kengennya aku padamu. Harusnya dia tahu bahwa tidak ada apapun di antara kita yang memberiku ruang untuk bisa mengatakan berapa kangennya aku padamu. Harusnya dia tahu bahwa selama ini yang bisa aku lakukan hanya mengobrol denganmu tentang entah, tentang apa saja, tentang semua hal, apa saja asal aku bisa mengobrol denganmu. Ya, aku memang bodoh. Aku bodoh telah membuka hati yang selama ini aku tutup rapat jadi kamu bisa leluasa menjelajahinya. Aku memang bodoh karena telah membiarkanmu menempati ruang di dalam hatiku yang telah lama sengaja aku biarkan kosong. Aku bodoh karena aku bahkan tidak menemukan satupun alasan yang membuatku melakukan semua itu. Satu saja alasan logis yang membuatku begitu lengah.

“Nggak. Kamu itu nggak bodoh,” komentar Matahari. Seperti biasa, dia bisa membaca isi kepalaku. “Bodoh itu urusan otak. Rasa itu urusan hati. Dan nggak ada yang namanya hati itu bodoh.”

Aku membuka mataku sewaktu tiba-tiba tidak lagi merasakan kehangatan matahari di wajahku. Arus telah mendorongku kembali ke bawah bayang-bayang pohon ketapang.

“Kata siapa?” sanggahku. “Kamu tidak tahu saja kalo dia pernah melakukan ini. Dulu. Memberikan ruang pada dia yang kemudian dengan semena-mena menjatuhkan pilihannya pada perempuan lain setelah memberiku begitu banyak harapan. Akhirnya, dia hanya mendapatkan sakit. Itu bodoh namanya.” Aku memandangi langit yang siang ini begitu biru.

“Dia nggak bodoh!” Matahari berkeras. “Pada kenyataannya, waktu itu kamu juga merasakan bahagia, kan? Jika bukan karena hatimu, apa kamu akan pernah merasakan itu? Otakmu itu yang bodoh, hanya mengingat sakit hatinya saja. Coba sekali-kali kasih tahu otakmu itu, suruh dia berpikir dengan cara sebaliknya. Suruh dia ingat juga kalo dia juga telah pernah membawakanmu kebahagiaan.”

“Tapi…” Aku lagi-lagi menggantung ucapanku, mencoba mencari pembenaran atas ketidakmampuanku mengungkapkan kangenku padamu.

“Ah, kamu itu terlalu banyak alasan!” Dia membentakku, sepertinya mulai kesal dengan keluhan panjangku dan seluruh alasan-alasanku.

Aku tidak lagi menjawabnya. Aku hanya diam, memicingkan mata, mengintipnya melalui sela dedaunan pohon ketapang yang meneduhiku. Dia memang benar, seperti biasanya. Harusnya memang aku bilang saja padamu. Toh aku memang sudah mengijinkanmu memasuki hatiku. Kenapa tidak sekalian saja aku buang rasa maluku?

Jadi akhirnya aku menyudahi waktuku bersama laut, melangkah cepat menuju tumpukan barangku yang ada di atas pasir putih, dan menjatuhkan diri di sana. Untuk sesaat aku diam memandangi luasnya lautan di hadapanku, mencoba mengumpulkan kekuatan, sebelum kemudian mengeringkan tangan dan meraih telpon genggam dari dalam tas.

Namamu, aku tidak perlu repot mencarinya. Dia ada di hampir semua aplikasi mesenjerku, ada di deretan paling atas. Aku hanya perlu memilih salah satunya dan aku melakukannya. Aku membuka percakapan terakhir kita semalam. Tapi tiba-tiba aku membeku, hanya diam memandangi fotomu yang ada di sana. Keberanian yang sudah aku kumpulkan barusan, seketika menguap. Aku menghela napas, kembali meletakkan telpon genggamku.

“Tuhan, aku kangen padanya,” bisikku, kembali mengeluh. Hanya saja, kali ini aku tak lagi mengeluh pada Matahari, tapi pada-Nya. Karena aku tahu Dia tak akan bosan mendengar keluhanku.

Dan di atas sana, aku tahu, Matahari menghela napas dan mencibirku.

Tamat (Ternate, 04 November 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil