60 Km/Jam


 
 
Seiring dengan pertambahan usia, ada beberapa kebiasaan saya yang disengaja maupun tidak memang harus berubah. Salah satunya adalah kebiasaan saya melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Dulu, sewaktu saya masih agak muda (iya, sekarang sudah merasa tua), saya suka sekali melajukan motor dengan kecepatan tinggi. Sebenarnya bukan suka, tapi merasa harus karena untuk bisa mencapai sekolah atau kampus, saya harus melewati jalan raya antar kota yang banyak berisi bus atau truk yang tentunya kecepatannya tidak bisa dikatakan pelan. Ditambah lagi, waktu itu saya masih muda, masih belum banyak pertimbangan. Lama-kelamaan, hal ini menjadi kebiasaan dan saya mulai menyukainya.
 
Dulu, batas minimal rata-rata kecepatan saya adalah 60 km/jam. Dulu, saya menyukai bagaimana rasanya melaju dengan kecepatan itu, menyukai sensasi tiupan anginnya, menyukai sensasi ketika berhasil melewati beberapa kendaraan lain dan meninggalkan mereka jauh di belakang. Ya, saya tahu bahwa kebiasaan ini bukan tanpa risiko. Gara-gara kebiasaan ini, saya pernah hampir bertemu dengan maut. Bukan hanya sekali saya mengalami kecelakaan lalu lintas. Beberapa kali.
 
Kecelakaan saya yang pertama adalah ketika saya kelas tiga SMA. Waktu itu sewaktu pulang dari rumah teman, setang motor saya bersinggungan dengan bus kota. Walhasil, saya oleng dan jatuh di aspal. Tidak ada luka yang serius karena saya jatuh ke jalur lambat yang sore itu sedang sepi. Kenang-kenangan dari kejadian pertama ini hanya sebuah luka lecet pada siku kanan yang baru saya ketahui begitu sampai di rumah karena jaket yang melindungi lengan saya sama sekali tidak terkoyak. Kecelakaan lalu lintas ke dua terjadi ketika saya berada pada semester awal kuliah. Waktu itu sepulang dari mengantar ibuk bekerja, saya melaju dengan cepat dan tidak bisa menghindar ketika sebuah motor tiba-tiba menyeberang. Alhasil, kami bertabrakan. Di kejadian ke dua ini, saya tidak mengalami terluka sedikitpun, tapi saya mengalami cedera kepala yang mengharuskan saya diopname selama tiga hari. Di sini, sebenarnya saya mulai berpikir untuk tidak lagi ngebut. Apalagi mengingat bagaimana takutnya saya ketika saya tidak mampu mengelak dari kecelakaan itu dan bagaimana Ibu dan Kakak saya menangis ketika mendapati ada yang tidak normal dalam hasil CT scan kepala saya. Tapi, beberapa hari setelah keluar dari rumah sakit, sewaktu saya sudah mulai mengendarai motor sendiri lagi, tetap saja saya melajukannya dengan batas kecepatan lama. Entahlah, saya belum juga jera.
 
Saya baru benar-benar menurunkan batas kecepatan saya setelah mengalami kecelakaan yang ke tiga. Siang itu sepulang jaga di Puskemas, saya dan beberapa teman berencana mampir ke kampus sebentar untuk mengumpulkan tugas. Dalam perjalanan ke kampus itulah, dengan kecepatan di atas 60 km/jam, saya benar-benar tidak mampu mengelak ketika saya berusaha mendahului sebuah mobil dan ternyata dari arah yang berlawanan ada mobil lain yang melaju sama kencangnya ke arah saya. Motor saya menghantam bagian depan mobil tersebut dengan keras dan saya melayang sebelum kemudian mendarat dengan keras di aspal dengan kepala terlebih dahulu. Waktu itu saya berpikir saya akan mati. Di momen saya terlempar itu, semua hal membayang di kepala saya, semua hal yang belum saya selesaikan. Saya berpikir bahwa saya tidak lagi punya waktu untuk menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan. Saya tidak akan sempat membahagiakan ibu saya. Saya bahkan teringat betapa selama hidup, saya lebih banyak mengecewakan dan menyakiti ibu saya daripada membahagiakan beliau. Tapi, untungnya Alloh masih memberi saya waktu. Walaupun mendarat dengan bagian kepala terlebih dahulu sampai mika depan helm saya hancur, saya tidak apa-apa. Saya hanya mengalami lecet yang yah lumayan luas juga di pipi kanan dan kaki kanan saya. Di luar itu, saya benar-benar tidak apa-apa. Untungnya lagi, pengendara mobil yang bertabrakan dengan saya tidak menuntut apa-apa dan ada banyak warga yang menolong saya. Saya diantar ke Puskesmas terdekat oleh salah satu pengendara yang kebetulan lewat. Saya ingat sekali, malam harinya ketika mengobrol dengan kakak saya, dia mengatakan seperti ini, “Untung tadi aku nengok kamu dulu sebelum nengok motormu. Aku nggak tau apa aku masih akan sanggup berdiri kalo aku nengok motormu duluan”. Sepertinya kondisi motor saya benar-benar mengenaskan. Entahlah. Saya juga tidak sempat melihat kondisinya pasca kecelakaan siang itu. Yang saya tahu, beberapa minggu kemudian motor saya sudah baik seperti semula. Yang saya tahu, saya masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Alloh dan saya tidak ingin menyia-nyiakan itu lagi.
 
Beberapa kali mengalami kecelakaan, terutama ketika saya pikir saya hampir mati itu, benar-benar mengubah saya. 60 km/jam masih sering saya lakukan, tetapi bukan lagi sebagai batas minimal. 60 km/jam sekarang adalah batas maksimal rata-rata kecepatan saya melajukan kendaraan saya. Saya tidak mau lagi menantang maut. Hutang saya masih sangat banyak. Masih banyak hal yang harus saya siapkan untuk benar-benar pulang nanti. Selain kebiasaan tentang kecepatan ini, kecelakaan itu juga sedikit banyak mengubah pola pikir dan sikap saya. Saya yang sebelumnya lebih suka memendam perasaan, menelan semua rasa, sekarang saya lebih ekspresif. Toh, hidup ini tidak ada yang tahu mau sampai kapan. Rugi sekali ketika kita dipertemukan dengan orang-orang yang begitu menyenangkan dan kita tidak menyempatkan diri untuk mengatakan betapa berartinya mereka untuk kita. Rugi sekali ketika sebenarnya kita bisa menyampaikan perasaan tidak menyenangkan yang kita rasakan kepada seseorang yang sebenarnya bisa menjadi kritik membangun untuk mereka tapi kita melewatkan waktu begitu saja dalam diam. Untuk yang baru mengenal saya, mungkin akan menganggap saya ini aneh. Tapi, untuk orang-orang yang memang sudah mengenal saya, saya rasa mereka paham dengan sikap saya yang seperti ini. Makanya, jangan terkejut jika tiba-tiba saya mengirim pesan yang mengatakan bahwa saya kangen atau bahagia sudah menghabiskan waktu dengan Anda atau saya tiba-tiba mengirim pesan bahwa saya kesal kepada Anda. Yah itu tadi. Saya hanya tidak ingin melewatkan waktu dalam diam yang mungkin nanti akan saya sesali. Itu saja.
 
Oiya, karena hari ini adalah hari terakhir di 2013, saya sekalian mau mengucapkan Selamat Tahun Baru 2014 untuk semua yang merayakan. Semoga tahun yang baru bisa membawa kita menjadi manusia yang lebih baik. Aamiin. J

Komentar

liiaa mengatakan…
Hahahaa.. sama, sudah lama aku putuskan pensiun dr ngebut stlh beberapa kali celaka. Setidaknya ada 3 kejadian besar yg klo dlm keadaan normal mungkin sdh sangat dekat dg maut, tp untungnya Tuhan msh memperbolehkan aku hidup. Dr situ aku janji sm diri sendiri utk bersyukur dg tdk ngebut lg. Pdhl, ngebut itu enak ya, anginnya, adrenalinnya.. apalagi klo pas emosi, pelampiasan ke ngebut itu asik bgt hahaha.. Untungnya, stlh kejadian itu dan makin ke sini makin nyadar, mendingan alon-alon waton kelakon.. kesusu nganti yak-yak nang ndalan yo nggo opo, wong raurungo podo-podo tekan panggone :)

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil