Bukan Anak Bapak, Bukan Anak Ibu


 
Perkenalkan, nama saya Fina. Itu nama yang orang tua saya berikan kepada saya. Tapi kemudian banyak nama yang orang gunakan untuk memanggil saya. Nama-nama khusus yang mereka buat untuk memanggil saya. Nina, Pipin, Pintoy, Pinot, Fini, Fani, entah apa lagi. Saya sudah lupa. Bukannya saya bermaksud sombong, tapi memang pada kenyataannya banyak orang yang dekat dengan saya dan saking dekatnya, mereka membuat nama kesayangan untuk saya. Saya tidak pernah bermasalah dengan itu. Saya tahu mereka menyayangi saya dan itu adalah salah satu cara mereka menunjukkan rasa sayang mereka kepada saya. Tapi, di luar itu, ada juga beberapa nama yang beberapa orang gunakan untuk menyebut saya yang tidak saya sukai.
 
Seingat saya sewaktu saya kecil sampai SMA, saya adalah orang yang begitu menikmati hidup. Saya benar-benar melakukan apa yang saya suka dan menyukai hal-hal yang saya lakukan. Saya tidak pernah merasakan dipaksa untuk ikut les ini dan itu, tidak pernah dituntut untuk selalu menjadi juara kelas, tidak pernah dituntut untuk menjadi yang terbaik. Makanya saya bisa dengan tenangnya menjalani hidup yang seolah tanpa beban dan selalu bisa menjadi diri saya sendiri. Tapi begitu menginjak bangku kuliah, hidup saya mulai berubah. Apalagi semenjak memasuki mata kuliah praktik klinik dan harus praktik di rumah sakit. Saya mulai merasa terbebani oleh sesuatu yang selama ini tidak pernah membebani saya; nama. Yah, memang orang tetap memanggil saya ‘Fina’, tapi di belakang itu selalu diikuti dengan “Anaknya Bapak” atau “Anaknya Ibu” atau “Adiknya Mas”. Beban ini adalah beban yang tidak pernah saya kira akan saya terima ketika saya memilih untuk melanjutkan sekolah di bidang yang sama yang digeluti oleh kedua orang tua saya dan kakak tertua saya. Ketika dulu akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada jurusan Keperawatan, yang ada di kepala saya adalah bahwa bidang ini adalah bidang sudah sangat saya kenal dan saya sukai, yang saya sudah bisa membayangkan akan ke mana jalannya. Waktu itu saya tidak memikirkan yang lain lagi dan begitu mantap memilih jurusan ini. Bukan, saya bukannya menyesal. Saya senang kok pada akhirnya saya bisa menyelesaikan pendidikan saya dan bekerja di bidang yang saya sukai. Masalahnya, bahkan sampai ketika saya bekerja-pun, saya masih memikul beban ‘nama’ itu. Beban yang saya tidak sukai.
 
Saya tidak ingin menjadi anak durhaka. Tapi, saya benar-benar tidak suka ketika nama saya dikait-kaitkan dengan bapak, ibu, dan kakak saya. Terutama karena beliau bertiga adalah manusia luar biasa. Bapak saya dulu seorang guru perawat yang punya banyak siswa yang sangat mengagumi dan mengidolakan beliau. Ibu saya seorang perawat yang di tempat kerjanya cukup dikenal. Hampir semua perawat senior mengenal beliau dan dekat dengan beliau. Kakak saya adalah seorang dosen perawat yang pernah mendapat beasiswa pendidikan S2 di luar negeri. Di sinilah masalahnya. Saya tidak seperti bapak, ibu, maupun kakak saya. Jika bapak saya seorang yang begitu disiplin dengan masalah waktu, saya adalah orang yang sebenarnya begitu menikmati waktu. Jika ibu saya adalah seorang perawat yang kemampuan komunikasinya begitu bagus, saya adalah orang yang lebih sering memilih diam dan jarang bisa memulai komunikasi dengan orang asing. Jika kakak saya adalah seorang yang penuh dengan ide hebat, pengalaman, dan namanya dikenal banyak orang, saya adalah orang yang lebih senang hidup di dalam dunia saya sendiri. Jika bapak, ibu, dan kakak saya adalah orang-orang pekerja keras yang rela menghabiskan banyak waktu untuk mengabdikan diri pada pekerjaannya, saya adalah orang yang tidak rela ketika waktu saya terbuang untuk mengerjakan pekerjaan yang bukan pekerjaan saya. Saya orang yang lebih suka menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman-teman saya daripada dengan pekerjaan. Ya, saya bukan mereka. Sayangnya tidak semua orang peduli dengan itu. Banyak orang yang beranggapan bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
 
Saya tidak suka dipanggil dengan ‘Anak Bapak’, ‘Anak Ibu’, atau ‘Adik Mas’ karena saya merasa akan selalu diperbandingkan. Ketika saya tidak memenuhi kriteria, tidak seperti bapak, ibu, atau kakak saya, orang akan bilang, “Masak anaknya bapak begitu?” atau “Masak anaknya ibu kok nggak seperti ibunya?” atau “Masak Masnya begini kok adiknya begitu?”. Itu yang selama ini berusaha saya jaga. Saya tidak mau orang sampai mengatakan hal itu. Makanya, setiap kali berada di lingkungan rumah sakit, saya mati-matian berusaha menuntut diri saya untuk paling tidak menjaga nama bapak, ibu, dan kakak saya. Bagi saya, nama mereka adalah benda berharga yang harus saya jaga. Awalnya memang menyebalkan karena saya seolah tidak menjadi diri saya sendiri. Tapi lama kelamaan, saya bersyukur karena dengan berusaha menjaga nama mereka, saya bisa menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih menghargai waktu, kerja keras, dan rasa kekeluargaan.
 
Dari bapak saya belajar bahwa menikmati waktu itu boleh, tapi ada aturannya. Waktu itu tidak bisa diburu-buru pun diulur-ulur. Waktu tidak pernah menunggu. Jadi sebagai manusia yang membutuhkan waktu, sudah seharusnyalah saya mengatur waktu saya dan berdisiplin dengannya. Saya belajar bahwa saya akan kehilangan begitu banyak hal, begitu banyak kesempatan ketika saya tidak mengatur waktu saya dengan baik.
 
Dari ibu saya belajar bahwa hidup di dalam dunia saya sendiri itu tidak apa-apa, tapi saya harus ingat bahwa dunia ini bukan hanya dihuni oleh saya sendiri. Suatu hari nanti, mau tidak mau, saya pasti  akan membutuhkan orang lain untuk bisa bertahan hidup. Dan suatu hari nanti, mau tidak mau, saya pasti akan butuh untuk merasa dibutuhkan yang membuat saya menjadi manusia. Jadi tidak ada salahnya menjalin pertemanan dengan sebanyak-banyaknya orang, siapapun itu.
 
Dari kakak saya belajar bahwa hidup itu seperti menaiki sepeda, untuk tetap bisa berjalan seimbang, saya harus terus menggerakkannya. Manusia butuh ide-ide baru untuk tetap melangkah maju. Manusia harus terus bekerja, berusaha, jika tidak ingin kehilangan keseimbangan dan jatuh. Dan manusia butuh untuk berprestasi agar bisa diakui keberadaannya.
 
Saya bersyukur dikaruniai keluarga yang luar biasa. Tapi, saya tetap saja tidak suka dipanggil dan dikait-kaitkan dengan nama mereka. Saya adalah saya, bukan mereka. Saya mungkin melakukan hal-hal yang sama dengan apa yang mereka lakukan, tapi saya juga punya hal-hal pribadi yang hanya saya yang memiliki. Hal-hal yang saya mau juga dihargai sebagai identitas saya. Saya benci sekali ketika saya bisa melakukan sesuatu yang bernilai dan dikomentari dengan, “Ya pasti lah. Kan anaknya bapak” atau “Ah, biasalah kalo dia bisa begitu, kan anaknya ibu” atau “Saya nggak heran dia bisa seperti itu, kan dia adiknya Mas”. Saya ini ya  saya, hasil apapun yang saya dapatkan adalah hasil usaha saya, bukan karena pengaruh nama bapak, ibu, atau Mas. Mereka membantu itu pasti. Tapi pastinya bukan nama mereka yang membantu, tangan-tangan dan doa mereka.
 
Jadi jika suatu hari nanti ketemu saya, saya mohon panggil nama saya. Nama saya Fina, tidak perlu embel-embel ‘anak Bapak’, ‘anak Ibu’, atau ‘adik Mas’. J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil