Menyalahi Kodrat




Saya bersyukur terlahir sebagai perempuan. Bukan karena saya merasa lebih unggul dari laki-laki. Bukan. Bagi saya laki-laki dan perempuan itu sama hebatnya, tidak ada yang lebih unggul satu sama lain karena pada kenyataannya tiap-tiap dari kita memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi, sungguh. Saya bersyukur terlahir sebagai perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

 

Bagi saya perempuan itu hebat karena secara langsung telah ditunjuk oleh Tuhan untuk mengemban tugas berat. Perempuan mendapat penunjukkan langsung untuk menjadi makhluk yang siap bekerja 24/7, dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu. Perempuan itu diciptakan sebagai leher yang harus siap menyangga kepala keluarga dan menghubungkannya dengan badan, dengan tangan dan kaki yang siap bekerja. Sayangnya, saat ini ada beberapa hal yang sedikit mengganggu saya sebagai seorang perempuan.

 

Saya bukan perempuan yang akan setuju ketika ada yang mengatakan bahwa kodratnya perempuan itu di dapur atau jika di Jawa, istilah kerennya adalah “kanca wingking”. Bagi saya, itu bukan kodrat. Kodrat secara bahasa berarti hukum alam yang tidak bisa ditentang atau kuasa Tuhan. Masak iya perempuan itu kodratnya hanya sebagai seseorang yang tugasnya di dapur? Bagi saya, kodratnya perempuan itu adalah sebagai seorang istri, seorang ibu, melahirkan. Hal-hal seperti itulah yang bagi saya adalah kodrat seorang perempuan, hukum yang tidak bisa ditentang. Untuk urusan pekerjaan, saya rasa tidak ada hubungannya dengan kodrat. Perempuan bisa menjadi apa saja yang dia mau, bahkan menjadi seorang pemimpin. Kenapa tidak? Saya juga tidak setuju ketika dikatakan posisi perempuan itu berada di bawah laki-laki. Tidak. Toh, Tuhan tidak menciptakan perempuan dari bagian kaki laki-laki, artinya Tuhan memang tidak menciptakan perempuan untuk berada di posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Tuhan menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki. Artinya, perempuan diciptakan untuk mendampingi laki-laki, dekat dengan lengannya untuk bisa dilindungi, dengan dengan jantungnya untuk bisa diayomi. Lebih dari itu, jika dilihat dari asalnya yang berupa tulang rusuk, artinya perempuan sebenarnya diciptakan untuk menjadi pelindung jantung laki-laki, menjaganya tetap hidup.

 

Yang kemudian kembali menjadi masalah bagi saya adalah kenyataan bahwa ternyata kebebasan, emansipasi, kesetaraan gender sekarang ini telah membawa banyak perempuan kepada keadaan “menyalahi kodrat”. Ya memang perempuan bisa menjadi apa saja, memiliki derajat yang sama dengan laki-laki, dan harus diberikan peluang yang sama dengan laki-laki di setiap segi kehidupan. Tapi, hal ini tidak lantas menjadi lampu hijau bagi perempuan untuk menginjak laki-laki, mendominasi, dan bahkan menyalahi kodratnya. Saya sangat sedih (maaf, tidak bermaksud menyindir siapapun) ketika mendengar seorang perempuan menjelek-jelekkan suaminya hanya karena merasa bahwa tingkat pendidikannya lebih tinggi, kedudukannya di kantor lebih tinggi, atau pendapatannya lebih besar daripada suaminya. Bagi saya, seperti apapun keadaannya, seorang suami adalah seseorang yang harus tetap dihormati oleh istrinya, harus tetap dibanggakan, tetap disanjung. Bagaimanapun, dia adalah seorang kepala keluarga. Bagaima kepala bisa akan tegak ketika lehernya tidak mau bekerja sama? Bagaimana bisa badan bekerja dengan benar dan harmonis ketika kepala dan lehernya tidak bisa bekerja sama?

 

Saya lebih sedih lagi ketika seorang perempuan pada akhirnya memilih untuk lebih memilih berkarir dan tidak menikah. Saya sering mendengar cerita tentang seorang perempuan yang sukses berkarir dan akhirnya lebih memilih berkarir, tidak menikah. Ini yang bagi saya menyalahi kodrat. Jika dikatakan mampu, ya memang setiap orang ketika terpaksa akan mampu hidup sendiri, tidak menikah hingga nanti. Tapi, bagaimana dengan kelangsungan manusia? Bagaiman dengan fitrah kita?

 

Saya setuju dengan ide emansipasi dan persamaan gender yang memang pada kenyataannya perlu untuk kelangsungan hidup dan pernghargaan terhadap perempuan. Tapi, saya berharap ini tidak menjadi emansipasi dan persamaan gender yang kebablasan. Saya sangat berharap, perempuan diberi tempat yang sejajar dengan pria, sesuai dengan kodratnya, sesuai dengan asalnya dari dekat jantung pada laki-laki. Saya berharap perempuan tidak melupakan kodratnya. Saya berharap setinggi apapun tingkat pendidikannya, setinggi apapun jabatannya, sebesar apapun pendapatannya, setiap perempuan tetap bisa menjadi penyangga bagi para suami, menghormati mereka, tidak menjelek-jelekkan dan menyebarkan aib mereka. Semoga. Selamat Hari Ibu. J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil