Kesabaran Tiga Detik






Kondisi jalan di Ternate di setiap akhir pekan selalu sama; ramai. Begitupun akhir pekan ini. Saya sebenarnya paling malas untuk keluar di malam minggu jika tidak ada tujuan yang pasti. Saya tidak begitu suka melihat sesuatu yang ramai dan semrawut, membuat kepala saya pusing. Tapi demi mengantar seorang teman yang kelaparan, malam minggu kemarin akhirnya saya keluar juga, membelah jalan-jalan sempit kota Ternate yang dipadati motor.

Sebenarnya, tidak ada yang terlalu istimewa dengan perjalanan saya malam minggu kemarin. Hanya saja saya merasa ada satu hal yang mengganggu saya. Saya merasa terganggu dengan suara klakson bernada tidak sabar yang selalu terdengar di lampu merah setiap kali lampu akan berubah menjadi hijau. Padahal lampu belum lagi berubah menjadi hijau dan penghitung waktu yang menunjukkan angka berwarna merah juga belum habis menghitung. Cuma ya memang dasar saya ini suka mencari masalah, setiap kali saya dibuat kesal oleh suara klakson itu, bukannya saya minggir, memberikan jalan pada mereka, atau segera melajukan motor meninggalkan tempat itu, saya malah bertahan. Pokoknya saya baru mulai melajukan motor ketika lampu sudah benar-benar menjadi hijau.

“Masih merah,” teriak saya seraya menunjuk ke arah lampu lalu lintas dan penghitung waktu.

“Ceeee… tiga detik saja kong!” bentak seorang bapak sambil berusaha masuk ke celah di antara saya dan trotoar.

Saya bertahan, tidak memberinya jalan sampai lampu benar-benar hijau. Saya akhirnya melajukan motor begitu lampu berubah hijau, ditemani hujatan dari bapak-bapak yang baru saja mengamuk saya. Ah, memang saya peduli?

Pilihan perilaku dan sikap saya ini bukan tanpa alasan. Saya melakukan itu karena saya tidak ingin sampai terjadi kecelakaan. Saya sudah pernah merasakan kecelakaan lalu lintas berkali-kali dan itu sangat tidak menyenangkan. Makanya saya tidak mau mengalaminya lagi dan saya juga tidak mau orang lain mengalaminya. Saya juga lebih memilih bertahan mendengarkan keras dan banyaknya suara klakson yang bersahutan daripada harus melajukan motor saya walaupun waktu tunggu hanya tinggal tiga detik karena saya tidak mau bernasib sama dengan pasien yang pernah saya tangani. Saya pernah bertugas di instalasi gawat darurat saat saya masih mahasiswa dulu yang mempertemukan saya pada kasus post kecelakaan lalu lintas. Siang itu ada mobil dengan kap terbuka datang mengangkut korban kecelakaan, seorang siswi SMA, beberapa bagian tubuhnya berdarah, salah satu siku tangannya mengalami dislokasi, dan ada fraktur di kakinya karena dia ditabrak oleh sebuah mobil. Menurut saksi mata yang mengantarnya, korban sudah melajukan motornya ketika lampu belum hijau, hanya tinggal tiga detik lalu dari arah kiri, dari arah yang masih diperbolehkan melaju, sebuah mobil melaju kencang karena mengejar lampu hijau yang waktunya sudah hampir habis. Dan hasilnya kecelakaan itu tidak terelakkan. Nah, saya tidak mau hal itu terjadi pada saya, pun pada orang lain.

Iya, saya tahu dan percaya pada nasib. Saya tahu bahwa semua hal itu pada dasarnya sudah diatur; hidup, mati, celaka, rejeki.  Tapi apa lantas kita diam saja jika tahu risiko yang mungkin terjadi? Apa kita akan diam dan menurut ketika tahu bahwa kita disuguhi makanan beracun? Pastinya tidak. Pastinya, sebagai manusia saya ingin melakukan yang terbaik bagi hidup saya. Saya tidak mau hanya pasrah dan menyerah saja. Yah, paling tidak jika pun nanti terjadi kecelakaan, saya tidak mau menjadi pihak yang dipersalahkan.

Jadi, saya minta maaf kepada siapa pun yang mungkin sudah merasa amat kesal karena saya dengan sengaja memenuhi jalan dan enggan untuk peduli berapa kali dan sekeras apa pun klakson dibunyikan untuk menyuruh saya menyingkir. Hei, tapi saya tetap menyingkir, kok. Itu tergantung dari tingkat kebutuhan dan kegawatan. Kalo yang di belakang adalah ambulan atau penumpang berisi pasien yang butuh penanganan cepat, tentunya saya akan menyingkir. Jadi, saya minta maaf, saya memohon kesabaran semua pihak, tiga detik saja. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil