Kehilangan, Berduka, dan Segala Hal







Kata orang, guru yang paling bagus itu adalah pengalaman. Itu benar.

Dua kali semester genap yang lalu saya mendapatkan amanah untuk mengajar tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan kehilangan dan berduka. Secara teori, saya sudah tahu tentang kehilangan dan berduka. Saya sudah hafal apa penyebabnya, apa hubungan keduanya, fase-fasenya, dan apa efeknya bagi pasien yang mengalami hal tersebut. Saya sendiri sebenarnya juga sudah berulang kali mengalami sendiri apa itu kehilangan dan berduka. Tapi yang saya pelajari dari pengalaman saya sebelumnya hanya bahwa setiap kehilangan akan menyebabkan proses berduka serta tahapan berduka akan selalu dimulai dengan pengingkaran dan diakhiri dengan penerimaan.

Pengalaman kehilangan saya yang terakhir memberi pelajaran nyata lain kepada saya, pelajaran yang sebelumnya sebenarnya ada tapi tidak terlalu saya perhatikan; respon sosial kepada klien yang mengalami kehilangan dan berduka yang awalnya hanya saya baca teorinya di buku referensi bahan ajar saya. Di dalam buku itu disebutkan bahwa ada bermacam respon yang diberikan oleh sosial kepada individu yang mengalami kehilangan dan berduka seperti simpati, empati, humor, sinis, menyalahkan, dan bahkan memberikan penilaian negatif. Yap, semua respon itu benar ada dan saya mengalaminya.


Empati

“Bang, aku kecurian,” keluhku pada abang pagi itu, begitu saya tahu bahwa kamar saya kemasukan pencuri dan beberapa barang saya diangkutnya pergi.

Abang yang baru saja dibangunkan paksa oleh ketukan saya di pintu dengan wajah tenangnya bertanya, “Kamu nggak apa-apa?”. Saya mengangguk, mengiyakan sambil menelan kekhawatiran saya. “Ya udah. Yang penting kamu nggak apa-apa.”

Abang kemudian berusaha membantu saya melacak ke mana perginya pencuri yang menurut kami belum terlalu jauh pergi. Walaupun tidak menghasilkan apa-apa, paling tidak pagi itu abang sudah memberikan simpatinya, memberi saya ketenangan, dan itu sudah sangat lebih dari cukup.


Simpati

“Ya ampun, terus kamu gimana? Kamu nggak papa, kan? Aduh.. semuanya jadi hilang.. terus gimana?” tanya seorang teman dengan mata berkaca-kaca.

Saya hanya tersenyum, mencoba menenangkannya. Aneh, padahal saya yang kehilangan, tapi justru dia yang menangis dan khawatir setengah mati. Tapi tak apa. Mungkin itu karena rasa pedulinya pada saya begitu besar.


Sinis

“Kamu kemalingan?” tanya ibu pemilik toko langganan saya.

“Iya, Bu. Udah lumayan lama, kok.”

“Apa saja yang ilang?”

“Tas kerja sama isinya.”

“Kok bisa?”

“Hehe.. saya lupa nutup jendela kamar,” jawab saya sambil cengengesan, berusaha menyembunyikan rasa bosan saya karena untuk kesekian kalinya harus membahas dan menceritakan hal yang sama lagi.

“Ya pantas lah dimasuki pencuri,” katanya kemudian dengan sinis.


Humor

“Kamu beneran kemalingan?” Pesan singkat itu mampir di salah satu mesenjer saya. Pesan singkat dari sahabat yang sudah lama sekali saya kenal.

“Iyaaa,” jawab saya sebelum kemudian mengirimkan gambar emoticon yang tersenyum lebar memamerkan deretan giginya.

“Esumpah? Tapi kamu nggak pa-pa, kan? Nggak diapa-apain sama malingnya?”

“Alhamdulillah nggak.”

“Sukur, deh. Lagian malingnya juga nggak mungkin ngapa-ngapain kamu juga. Paling liat bentukmu pas tidur aja dia udah muntah-muntah. Hahahahaa…”

“Ah, setan!”


Penilaian negatif

“Nah, apa kubilang. Kamu pasti nggak nutup jendela kan?” kata seorang teman waktu mendengar kabar saya kemalingan.

“Hehe.. Iya.”

“Nah, itu. Kamu sih teledor. Jendela itu dikunci kalo mau tidur.”

“Hehe… iya.”


Mendapatkan berbagai macam respon seperti itu, sebenarnya ada rasa kecewa yang merambati saya karena dari semua jenis respon yang saya temui, respon terbanyak yang saya dapatkan adalah penilaian negatif. Ternyata sebagian besar orang ketika dihadapkan pada individu yang mengalami kehilangan, mereka menunjukkan simpatinya dengan cara memberikan penilaian negatif. Yang lebih membuat saya sedih lagi adalah bahwa sebagian besar itu, yang secara langsung saya temui itu, adalah orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan, yang sebenarnya sudah mendapatkan ilmu tentang bagaimana seharusnya berkomunikasi terapeutik.

Hal ini mengusik saya, membuat saya bertanya. Lantas bagaimana nasib pasien-pasien yang dirawat jika orang-orang yang merawatnya, yang sebenarnya sudah mendapatkan ilmu tentang komunikasi terapeutik, tapi ternyata tidak bisa mengaplikasikan ilmunya? Entah tidak bisa atau tidak mau. Yang jelas tetap saja itu mengganggu saya. Saya jadi membayangkan, jangan-jangan keluhan masyarakat tentang buruknya pelayanan perawatan itu sebenarnya hanya bersumber pada tidak diaplikasikannya komunikasi terapeutik. Jangan-jangan ketika ada pasien yang datang dengan hipertensi atau diabetes mellitus karena faktor obesitas, petugas kesehatannya hanya berkomentar, “Bapak sih.. pasti tidak pernah olah raga. Pasti bapak pola makannya tidak diatur. Pasti suka makan makanan berlemak. Iya, kan?” Begitu? Jangan-jangan selama ini pasien hanya dituduh-tuduh dan disalahkan ini dan itu, ya? Haduuuh… 

Ah, sudahlah. Malah jadi kemana-mana. Kebiasaan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan