Untungnya Kamu....
“Kamu tadi nangis, nggak?”
10 Oktober 2014. Saya tengah berusaha menikmati makan siang saya ketika
Rifa, sahabat saya melemparkan pertanyaan yang tidak saya duga sebelumnya itu.
Perempuan kurus itu bertanya dengan kedua mata yang menatap lurus ke saya masih
dengan tatapan iba, tatapan yang sama yang dia dan beberapa orang yang saya
temui seharian itu yang mendengar kabar bahwa kamar kos saya dimasuki pencuri.
Siang itu saya tertawa kecil dan menggeleng karena sewaktu pagi harinya saya
terbangun lantas menemukan pintu kamar dan lemari saya terbuka serta tas kerja
dan segala isinya bersama kedua telpon genggam dan isi dompet saya telah
berpindah tangan tanpa saya ketahui kepada siapa, saya memang tidak menangis.
“Kok bisa, sih? Duh, kalo aku
yang kemalingan dan kehilangan semua barangku, aku udah pasti nangis. Kamu tahu
kan aku kayak apa orangnya?” katanya lagi dan lagi-lagi saya tertawa kecil,
tapi kali berikutnya itu kepala saya terangguk. Tiga tahun hidup bersamanya
sudah membuat saya cukup tahu betapa ekspresif dan hebohnya perempuan berdarah
Banjar itu.
Pagi itu saya memang tidak menangis. Tapi penyesalan pasti ada. Rasa
kesal pasti ada. Terutama pada diri saya sendiri yang dengan bodohnya telah
membiasakan diri saya untuk merasa selalu aman sehingga malam itu saya
membiarkan jendela kamar saya terbuka. Tapi ya sudahlah. Pagi itu ketika saya
bangun dan mendapati kedua telpon genggam, laptop, isi dompet, dan tas kerja
yang berisi honor milik teman yang dititipkan kepada saya sudah tidak lagi ada
di tempatnya, saya hanya bisa berlari keluar, berharap masih bisa menemukan
sedikit jejak orang yang mencurinya. Lalu, ketika tidak lagi bisa menemukan
jejak apa pun, saya akhirnya menyerah lalu mengetuk pintu kamar sebelah saya,
abang saya, keluarga yang dipertemukan dengan saya di Ternate, yang telah
selalu ada untuk melindungi saya selama tiga tahun saya tinggal di rumah kos
itu. Ini sebenarnya yang membuat saya tidak menangis. Untungnya, pagi itu orang
yang pertama kali saya temui adalah abang yang bisa selalu terlihat tenang jadi
saya juga ikut tenang dan tidak jadi menangis. Untungnya, pagi itu abang
langsung dengan suka rela menyerahkan salah satu telpon genggamnya untuk saya
pakai menghubungi keluarga saya. Untungnya seperti itu.
“Kok bisa sih kamu nggak kebangun, Na? Padahal pasti ribut juga kalo
ada orang masuk, orang buka pintu,” tanyanya lagi.
Awalnya, sepagian saya mempertanyakan pertanyaan yang sama. Saya heran
mengapa saya pagi itu, ketika ada orang memasuki kamar, saya sama sekali tidak
terbangun. Padahal biasanya suara kecil saja bisa membuat saya terbangun. Kalau
saja pagi itu saya bangun, pastinya saya bisa menghentikan pencurian itu,
pastinya barang-barang saya masih ada bersama saya sampai sekarang. Tapi,
untungnya pagi itu, di kantor, sebuah panggilan dari mama menyadarkan saya.
“Untung kamu nggak kebangun. Coba kalo kamu kebangun terus pencurinya
ngapa-ngapain kamu… Aduh mama nggak bisa ngebayangin,” kata mama dengan penuh
kekhawatiran dan kehebohan seperti biasanya.
Iya. Mama benar, untung. Untung sewaktu pencuri itu memasuki kamar,
saya tidak terbangun. Karena ketika siang harinya saya melapor ke kantor
polisi, saya mendapatkan cerita bahwa sekitar satu minggu sebelumnya, terjadi
pencurian juga di kampung sebelah. Karena pemilik rumah terbangun, maka pencuri
yang bersenjatakan golok itu akhirnya menyabetkan goloknya dan mengakhiri nyawa
pemilik rumah. Ya, untung pagi itu saya tidak terbangun.
Jika sekarang saya pikir lagi, benar memang kata guru saya di pelatihan
prajabatan dulu, “Untung dan Sial itu tergantung dari cara kita memandangnya”.
Sebagian orang yang saya temui dan tahu tentang pencurian itu mengatakan pada
saya betapa kasihannya mereka pada saya karena bagi mereka saya mengalami
kesialan. Bagi mereka, saya sial karena harus kehilangan barang-barang yang
bagi mereka cukup berharga. Saya sial karena semua data pekerjaan saya yang ada
di dalam laptop secara otomatis ikut hilang sehingga saya harus memulai
semuanya dari awal lagi. Yah, saya memang mengalami kesialan jika dilihat dari
sudut pandang itu. Tapi sebenarnya saya masih sangat beruntung karena waktu itu
hanya laptop dan telpon genggam yang hilang. Untungnya nyawa saya tidak.
Untungnya walaupun isi dompet dikuras habis, dompet dan segala kartu saya yang
ada di sana ditinggalkan tergeletak di bawah jendela kamar saya. Untungnya saya
masih memiliki beberapa simpanan berkas pekerjaan yang sudah saya sebar di
beberapa teman jadi saya tidak harus benar-benar memulai semuanya dari nol.
Untungnya saya masih punya rumah untuk ditinggali, masih bisa membeli makanan
untuk mengganjal perut, masih diberi kesehatan.
Masih ada banyak keuntungan yang baru benar-benar saya rasakan hari
itu. Sejak kejadian itu, saya merasa beruntung karena saya dikelilingi oleh
keluarga, saudara, dan sahabat yang sangat menyayangi saya. Saya beruntung
karena saya tinggal dalam satu bangunan dengan abang yang selalu siap membantu
saya. Saya beruntung karena memiliki sahabat seperti Rifa yang cukup saya
hubungi sekali dan dia langsung bersedia meluangkan waktunya untuk menemani
saya siang itu. Saya beruntung karena teman-teman sekantor saya tanpa saya
minta rela mengantar saya mengurus surat kehilangan di kantor polisi dan bahkan
seorang teman mengikhlaskan honornya yang ikut terangkut pencuri, menolak usaha
saya untuk mengembalikan uangnya. Saya beruntung karena sahabat-sahabat lama
saya yang terpisah jarak ribuan kilo meter dan bentangan laut begitu peduli
pada saya. Dan di atas semua itu, saya beruntung memiliki keluarga yang begitu
menyayangi saya, yang selalu tahu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi
saya, dan selalu ada untuk saya.
“Kamu kok kayaknya ikhlas banget sih kehilangan barang sebanyak itu?
Kayaknya looooss gitu. Kok bisa?”
Pertanyaan itu kembali membuat saya tersenyum. Mengapa harus menangisi
hal yang sudah diambil dari kita? Bukannya semuanya itu titipan? Bukannya tugas
kita adalah menjaga titipan itu sampai pada saatnya dia diambil? Menangis
sekuat apa pun atau berusaha mempertahankan sekeras apa pun, jika memang sudah
bukan lagi hak kita, bukannya tidak akan ada gunanya? Bukannya lebih baik
berfokus pada apa yang masih kita miliki saja, berusaha lebih baik menjaganya
dan tidak mengulangi kesalahan yang sama? Iya kan? Lagipula kan memang semuanya
itu terjadi karena kesalahan saya juga. Saya yang lalai menutup jendela kamar.
Saya yang lalai menjaga keamanan. Dan yang terpenting, saya sudah lalai
menyerahkan hak harta orang-orang yang dititipkan ke saya. Setahun kemarin saya
benar-benar tidak menyisihkan uang selain untuk kebutuhan pribadi saya. Jadi saya
pikir, wajar ketika pada akhirnya saya harus membayarnya dengan kejadian ini.
“Ya udah. Diikhlasin aja, ya? In shaa Allah nanti dapat ganti yang
lebih baik,” katanya menutup makan siang kami.
Komentar