Iri



Tuhan, boleh tidak aku iri? Aku benar-benar iri, Tuhan.

Pada bapak, aku iri akan kepiawaiannya membangun relasi.
Aku iri pada banyaknya saudara yang bapak temukan yang bahkan setelah beliau pergi masih saja mau bertahan.

Pada ibuk, aku iri akan keikhlasan luar biasanya untuk membantu orang lain.
Aku iri ibuk selalu saja bersedia hadir untuk orang-orang terdekatnya kapan pun dibutuhkan.
Aku iri ibuk selalu rela memberikan jam tidurnya untuk membantu orang lain.

Pada kedua kakakku, aku iri akan kreativitas mereka yang seolah tak pernah mati.
Aku iri dengan jutaan ide di kepala mereka.
Aku juga iri pada keberanian mereka mengambil langkah yang seringnya berbeda dengan orang kebanyakan.

Pada kakak iparku, aku iri akan kemampuannya berkomunikasi.
Aku iri dengan bagaimana dia bisa selalu bisa menemukan bahan pembicaraan, selalu tahu bagaimana cara berbicara dengan siapa pun yang ditemuinya.
Aku iri dengan keibuannya, dengan kebesaran hatinya menghadapi setiap masalahnya.

Pada sepupu dan sahabatku, aku iri akan keceriaan yang selalu dibawanya.
Aku iri pada kemampuannya menyembunyikan masalahnya serta menutupinya dengan senyuman dan tawa.
Aku iri pada kemampuannya menularkan keceriaan yang dibawanya kepada setiap orang yang ada di sekitarnya.

Pada seorang sahabat, aku iri akan betapa dekatnya dia pada-Mu.
Aku iri pada banyaknya hafalan surat yang ada di dalam kepalanya.
Aku iri pada banyaknya ilmu agama yang ada di dirinya.
Aku juga iri pada senyuman yang tidak pernah hilang dari wajahnya, sebesar apa pun masalah yang sedang dihadapinya. Seolah dia selalu merasa nyaman, seolah merasa selalu aman karena ada  Engkau.

Aku benar-benar iri, Tuhan. Boleh kan aku iri?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil