Sofifi; Ibukota Provinsi, Sebuah Kota Mati




Saya akhirnya sampai di ibu kota provinsi. Ya, setelah hampir empat tahun tinggal di Maluku Utara, saya akhirnya sampai juga di ibu kota provinsi, Sofifi.  Hari Sabtu kemarin saya dan Riyadi, seorang teman dari Ternate, menghabiskan waktu kami seharian di kota itu, bertamu pada Numi, teman SMA saya yang baru saja pindah tugas ke sana.

menyambut matahari di Bastiong

Perjalanan kami dimulai dengan menyambut matahari di pelabuhan Bastiong. Pukul enam pagi, sewaktu matahari belum muncul, saya sudah berada di pelabuhan kapal ferry dan membeli tiket. Lalu, sambil menunggu Riyadi, saya menyambut matahari yang mulai terbit. Pagi itu, di waktu masih sepagi itu, Bastiong sudah ramai. Sudah ada banyak kendaraan yang mengantri untuk bisa menyeberang ke Sofifi.

Meninggalkan Gamalama :)

Kapal yang  kami tumpangi baru benar-benar berangkat sekitar pukul setengah tujuh, sewaktu hari mulai terang.  Saya, yang memang jarang bepergian lewat laut, awalnya memilih akan duduk di ruang duduk yang ada di lantai dua kapal saja sambil menonton televisi. Karena setahu saya, tempat duduk penumpang memang hanya ada di dek tengah itu. Tapi karena Riyadi memaksa untuk naik ke dek paling atas,  saya akhirnya menurut. Awalnya,  saya malas untuk naik ke dek teratas karena  saya pikir di atas itu hanya akan ada tempat terbuka tanpa tempat duduk. Ternyata  saya salah. Di dek teratas itu ternyata terdapat tempat duduk yang justru lebih nyaman bagi  kami. Tidak ada jendela-jendela atau dinding-dinding. Hanya tempat duduk dengan peneduh.  Jadi tidak ada udara pengab yang berbau minyak gosok atau bau kamar mandi yang menyengat. Dan yang lebih baik dari itu semua adalah, tidak ada dinding yang menghalangi  kami menikmati pemandangan pulau-pulau berwarna hijau yang berpadu dengan birunya langit dan laut.

Suasana di dek atas kapal

Sekitar pukul sembilan, kapal yang  kami tumpangi mulai bersandar di pelabuhan Sofifi. Begitu turun dari kapal, kami langsung disambut oleh puluhan sopir mobil rentalan yang menawarkan untuk melanjutkan perjalanan darat ke beberapa daerah. Setelah terbebas dari mereka, kami ganti disambut oleh sopir-sopir bentor, kendaraan modifikasi yang mirip becak, hanya saja penggeraknya adalah sepeda motor. Sesuai instruksi dari teman yang akan kami kunjungi, saya dan Riyadi akhirnya memilih salah satu bentor, menyebutkan alamat yang diberikan kepada kami, lalu menyerahkan hidup kami selanjutnya pada bapak-bapak berkumis yang mengantar kami keluar dari pelabuhan.

Lengang. Jalan besar yang membentang di depan
kompleks perkantoran pemerintah di Sofifi

Jangan membayangkan bahwa ibu kota provinsi adalah kota besar dengan infrastruktur yang lengkap. Sofifi jauh dari semua itu. Sofifi bahkan tidak ramai sama sekali. Sepi. Sofifi hanya sebuah kota kecil dengan pusat keramaiannya sepertinya hanya pasar yang sempat kami lewati sewaktu keluar dari pelabuhan. Setelah itu hanya deretan rumah seperti di pedesaan dan kebun-kebun kosong. Kami sempat bertemu dengan perempatan besar dengan jalan yang sangat lebar, tapi hanya satu sisi, yang berbelok ke kiri, yang sudah jadi. Jika berbelok ke kanan, jalan luas itu masih belum beraspal.

Perjalanan kami menuju tempat tinggal Numi kami tempuh dalam waktu sekitar sepuluh menit saja. Itu pun agak lama karena si Bapak sopir bentor ragu-ragu dengan alamat yang saya berikan lalu memilih menghentikan bentornya di dekat tanah lapang dan meminta saya menelpon teman saya saja, menanyakan nama pemilik rumah. Kenapa lama? Karena siang itu ketika mencoba menelpon, saya tidak berhasil. Ketika nomor ponsel saya tidak mendapatkan jaringan. Ya, entah kebetulan atau tidak, siang itu ketiga nomor ponsel saya sama sekali tidak dapat digunakan untuk menelpon atau menerima panggilan. Setelah beberapa menit ngeyel sama si Bapak Sopir Bentor, akhirnya beliau bersedia mengikuti permintaan kami untuk nekat saja masuk ke dalam gang yang saya tunjuk hingga akhirnya sampailah kami di tempat tinggal Numi.

Setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan hari ini. Numi mengundang saya dan Riyadi untuk menikmati ikan bakar yang sedang dipersiapkan di kantornya. Kami berangkat dari kos Numi sekitar pukul sebelas. Sudah hampir tengah hari. Saat di mana matahari sedang hampir mencapai puncak panasnya. Tapi sepertinya kemarin itu, semangat kami jauh lebih membara dari pada matahari hingga kami memutuskan untuk menempuh perjalanan ke kantor Numi dengan berjalan kaki, mengabaikan keluhan teman saya itu betapa akan sangat panasnya perjalanan kami.

Numi tidak salah. Jalan menuju kantornya yang sebenarnya tidak terlalu jauh itu memang benar-benar membara. Panas. Tapi tetap saja, bagi saya yang memang selalu menikmati berjalan kaki, perjalanan siang itu benar-benar menyenangkan. Kami jadi sempat melihat-lihat kota dalam jarak dekat, dapat mengambil foto sepuasnya tentang apa saja yang ingin kami foto. Termasuk, betapa menyedihkannya kondisi kota itu.

Sebagai kota yang dipilih untuk menjadi ibu kota provinsi, Sofifi bukanlah kota yang siap. Bukan hanya dalam hal infrastruktur yang belum memadai, tetapi juga dalam hal sumber daya manusianya. Siang itu, untuk dapat mencapai kantor Numi, kami berjalan kaki melewati jalan beraspal super luas yang membentang di hadapan gedung-gedung perkantoran. Awalnya saya pikir karena hari itu hari Sabtu yang memang bukan jam kantor, makanya ruas jalan itu sepi.

Kantor Pengadilan Negeri; Kosong.


Gedung-gedung perkantoran milik pemerintah itu sepi. Tapi ternyata, katanya memang hampir setiap hari kondisinya seperti ini. Lebih dari itu, ternyata beberapa gedung yang sepertinya umurnya masih sangat muda itu, dibiarkan kosong tidak berpenghuni. Misalnya gedung kantor pengadilan.

Deretan rumah dinas yang dibiarkan kosong


Bangunan besar itu ternyata adalah bangunan kosong, tidak berpenghuni. Sama juga dengan rumah-rumah dinas di seberang jalannya yang entah milik siapa. Rumah-rumah dinas yang berukuran besar itu dibiarkan terbengkalai dan kosong. Jujur, sebenarnya saya agak kecewa melihat semua itu. Mengingat, bangunan-bangunan besar itu pastilah dibangun dengan dana yang tidak sedikit dan karena ini adalah milik pemerintah, pastinya gedung-gedung mangkrak itu dibangun dengan menggunakan uang negara.


Kantor Pengadilan Tinggi (jika saya tidak salah ingat) yang katanya,
bangunan ini sudah dihancurkan lagi bahkan sebelum digunakan.


Kekecewaan saya siang itu sedikit terabaikan ketika kami sudah mulai membakar ikan dan makan. Tapi lantas kembali lagi ketika sore harinya kami berkendara menuju kantor Gubernur yang letaknya lumayan jauh dari pusat perkantoran tadi. Untuk dapat sampai di sana, kami harus naik motor selama kurang lebih lima belas menit. Kekecewaan saya kembali mengganggu sewaktu Numi menunjukkan beberapa gedung yang sudah jadi namun nasibnya sama sekali tak berbeda dengan gedung pengadilan. Katanya, bangunan yang sekitarnya ditumbuhi semak belukar itu seharusnya menjadi rumah sakit. Tapi entah mengapa sampai saat ini malah tidak dilanjutkan lagi pembangunannya dan dibiarkan mangkrak. Sama halnya dengan satu kompleks SLB yang ada di seberang jalan rumah sakit itu. Gedung-gedung itu dibiarkan kosong dan tidak terurus.

Kantor Gubernur


Kantor Gubernur sepertinya adalah satu-satunya gedung pemerintahan yang benar-benar terurus dan megah. Saya sudah cukup takjub dengan melihat betapa besarnya kompleks perkantoran itu dari luar walaupun tidak benar-benar menjelajahinya. Berbeda sekali dengan kompleks perkantoran yang saya datangi sebelumnya.




si Adik yang nemenin saya ke Sofifi.



Tur kami hari itu ditutup dengan memburu matahari. Sebenarnya sih saya yang ingin memburu matahari, teman-teman saya tidak. Mereka hanya cukup berbaik hati menghentikan motor ketika saya minta untuk berhenti, hanya untuk sekedar berfoto dan menemani matahari pulang.



Bersiap meninggalkan Sofifi

Secara keseluruhan, saya cukup senang dengan hasil tur kami karena saya bisa mendatangi tempat yang baru lagi yang belum pernah saya datangi. Dan untuk segala kekecewaan saya tentang kota yang sebenarnya cantik ini, saya hanya bisa berharap semoga ke depannya akan semakin bagus. Semoga pemerintah segera tahu apa yang perlu untuk dibenahi dalam waktu dekat agar para pegawainya mau dengan suka rela dan tanpa paksaan tinggal atau paling tidak berada di Sofifi dan ikut serta membangun ibu kota provinsi itu. Kalo saya sih setuju dengan usaha MenPan yang baru saja berkunjung bahwa yang saat ini diperlukan adalah kemudahan transportasi, adanya penambahan jumlah armada kapal ferry yang bisa mengangkut para pegawainya keluar masuk Sofifi dengan lebih sering. Di samping itu, sepertinya pembangunan jaringan telekomunikasi juga perlu digagas. Yah, saya sih berharap yang terbaik lah untuk Sofifi ke depannya karena sebenarnya kota ini memang memiliki potensi untuk menjadi Ibu Kota Provinsi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil