Teman







"Kupikir kita teman! Teman macam apa kau ini? Kau bilang kau sayang padaku? Sayang macam apa ini?"

Suara keras penuh kemarahan itu sontak membuatku mengangkat wajah. Aku mengerutkan dahi, memandang heran pada wanita yang baru saja menggebrak meja kerjaku.

"Kau pikir, kau tak punya dosa? Kau pikir kau ini manusia sempurna tanpa cela? Terbaik dari seluruh manusia?"

Aku diam.

"Nggak usah sok polos!" serangnya lagi. "Aku tahu kok siapa yang kau maksud dalam status-statusmu di facebook itu! Aku, kan?" katanya. "Dasar sok suci! Dasar munafik!"

Aku masih bertahan untuk diam. Kupikir, api tak akan surut jika kusulut dengan api lagi. Jadi, kupikir diam akan jauh lebih baik, menunggu api itu mengecil dan menjadi lebih mudah dipadamkan.

"Munafik," ulangnya. "Di depanku kau tak bilang apa-apa. Tapi di belakangku kau menulis seperti itu. Munafik!" Dia membentak lagi. "Kau pikir kau tak punya dosa hingga berhak mencercaku seperti itu di media sosial?" tanyanya. "Beraninya kok lewat media sosial."

Aku masih saja diam. Lama. Lama kemudian, setelah napasnya tak lagi memburu dan kata-katanya tak lagi terlontar seperti peluru, aku menarik napas panjangku.

"Kau marah padaku karena statusku? Yang bahkan tak menyebut namamu? Atau tempatmu bekerja? Atau tempatmu tinggal? Atau apa pun yang menunjukkan bahwa itu dirimu?" tanyaku.

Sekarang ganti keningnya yang berkerut.

"Kau merasa itu dirimu yang kumaksud?" tanyaku lagi. "Artinya kau mengakui kau melakukan itu?"

Ganti dia yang bisu.

"Artinya, sebenarnya kau tahu kan itu salah?"

Dia masih bisu.

"Kau bilang aku tak mengatakan apa-apa di depanmu? Kau yakin aku tak mengatakan? Atau kau hanya tak mendengarkan? Jika itu kukatakan lagi langsung padamu, maukah kau mendengarku? Masihkah bekerja logikamu ketika kecintaanmu pada meterial dunia sudah membutakan matamu, mematikan hatimu, dan membanjiri pikiranmu?"

Tak ada kata yang keluar darinya.

"Kau meragukan kataku bahwa aku menyayangimu?" tanyaku lagi. "Jika kau menjadi aku dan kau menyayangiku, akan diamkah kau ketika melihatku berjalan menuju jurang? Akan diamkah kau melihatku tanpa sadar melompat ke dalamnya?"

Masih, dia tak ada kata.

"Akankah kau diam melihatku melangkah menuju api? Atau kau akan berteriak memperingatkanku untuk berhenti?"

Sepertinya semua katanya tertelan bungkam.

"Tapi ya baiklah. Jika memang kau ingin aku diam, aku akan diam. Aku akan pura-pura tak tahu ke mana kau melangkah. Aku akan membiarkanmu melakukan apa pun yang kau mau; mengorupsi waktu, memalsukan data, ikut berlomba mengejar materi, mengejar dunia, membengkokkan aturan, melanggar aturan. Jika itu memang maumu, aku akan diam. Sama dengan teman-teman palsumu itu, yang selalu menepuk bahumu, membuatmu bangga dengan setiap hal yang kau lakukan, entah salah maupun benar."

Kata-katanya tak keluar lagi. Serupa mati.

"Tak apa. Jika kau memang ingin melompat ke dalam jurang, aku akan bisa apa?" Aku berdiri, mengembangkan senyum terbaikku. "Begitu, ya? Aku tak akan memperingatkan lagi. Aku akan diam dan kita bisa mulai berjalan sendiri-sendiri."

Aku tersenyum lagi sebelum kemudian melangkah pergi.

#Teman
Ternate, 19 Maret 2015 05:37

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil