Tentang Tiga Hari di Awal Mei


theartmad.com


Setelah lima hari menjalani hari dengan rute lokasi praktik komunitas – kampus – lokasi praktik komunitas – pulang, pada hari Senin berikutnya dengan sukses sinusitis saya kambuh. Seharian saya menguji praktika sambil menahan sakit sampai akhirnya di hari Selasa malam saya ke dokter dan dipaksa untuk istirahat selama tiga hari. Dan pada tiga hari tersebut, saya mendapat cukup banyak pelajaran.

Mahalnya Maaf dan Terabaikannya Perlindungan Konsumen
Selesai dari dokter, saya mampir sebentar ke tempat jasa pengiriman barang, mengirimkan titipan seorang teman. Setelah dua kali antrian saya diserobot oleh orang-orang yang tidak peduli ketika saya ingatkan dan aduan saya tidak dipedulikan oleh petugas, akhirnya datang juga kesempatan saya untuk dilayani. Sayangnya saya harus kecewa lagi karena petugas tempat saya mengantri tiba-tiba meminta saya ke petugas yang ada di sebelahnya yang saat ini sedang melayani konsumen lain. Petugas tersebut bahkan meminta saya bergeser sambil menghitung uang dan tanpa menatap saya. Ketika saya menanyakan apakah masih bisa melayani satu konsumen lagi saja (saya), petugas tersebut berkeras tidak bisa dengan alasan dirinya mau makan. Akhirnya, dengan dongkol saya menunggu petugas di sebelahnya menyelesaikan proses transaksi dengan konsumen lain.

Malam itu, sebenarnya yang saya tunggu hanya satu kata: maaf. Tapi, sampai akhir pelayanan, tidak ada sekali pun permintaan maaf dari penyedia layanan. Padahal, di dinding ruang pelayanan tersebut terpampang misi perusahaan yang ditulis dengan huruf besar: “MEMBERI PENGALAMAN TERBAIK KEPADA PELANGGAN SECARA KONSISTEN”. Padahal juga, berdasarkan pasal 4 UU nomor 8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen, konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa. Artinya, penyedia jasa pengiriman barang tersebut paling tidak memiliki cara agar konsumennya dapat menunggu giliran untuk dilayani tanpa takut antriannya diserobot oleh konsumen lain. Paling tidak ada nomor antrian atau mungkin cara lain yang bisa ‘memaksa’ konsumen untuk mengantri. Malam itu ketika saya menanyakan tentang nomor antrian, petugas hanya menjawab bahwa mereka pernah membuat nomor antrian namun hilang. Dan setelah itu mereka tidak mau membuat nomor antrian lagi.  Menurut UU yang sama, konsumen juga berhak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif. Sebagai konsumen, saya berhak mendapatkan pelayanan yang memanusiakan saya sebagai manusia. Bukan pelayanan yang ketika berbicara tidak menatap kepada pelanggan, mengabaikan keluhan pelanggan, dan tidak ada permintaan maaf ketika melakukan kesalahan.

Tapi ah, sudahlah. Yang jelas malam itu saya sudah melakukan kewajiban saya sebagai konsumen, sudah menyampaikan keluhan saya dengan baik kepada petugas, dan memberi masukan kepada mereka. Mungkin, maaf itu sampai sekarang memang masih mahal.


Berharganya Keluarga
Ketika saya sakit kemarin, tidak banyak orang yang tahu. Saya memang sengaja hanya memberi tahu orang-orang dekat saya saja. Paling tidak, jika sampai nanti penyakit saya menjadi berat sampai saya harus dirawat di rumah sakit atau mungkin meninggal, mereka tidak syok.

Di hari pertama saya tidak masuk bekerja, saya hanya bisa menghabiskan hari di atas kasur. Berguling ke sana kemari karena memang kepala saya hari itu rasanya masih tidak karuan. Seharian saya tidak keluar kamar, pun membuka jendela. Awalnya, saya merasa tidak apa-apa karena hari pertama itu saya lebih banyak tidur. Saya baru mulai merasa bahwa ada yang salah adalah ketika mulai malam, sudah masuk waktu tidur, dan saya tidak bisa tidur sebagai akibat dari kombinasi nyeri, sakit kepala, dan rasa kantuk yang sudah dikuras habis dari tidur seharian. Ada yang mulai terasa salah ketika saya sadar bahwa seharian ini saya benar-benar sendirian, tidak ada yang menemani, atau menjenguk.

Malam itu saya langsung mengirimkan bbm kepada Kak Vhe, teman saya di kos lama dulu. Malam itu saya langsung curhat padanya dan bilang kalo saya kangen banget padanya. Sebenarnya, saya tidak hanya kangen padanya. Saya sebenarnya kangen pada keluarga lama saya di kos yang dulu; Kak Vhe, abang, Kak Yuli, Kak Ari, Kak Dani, orang-orang yang ketika dulu saya sakit bersedia memberikan waktunya untuk menunggui saya tidur, mencarikan makan, memaksa saya makan, atau hanya sekedar menanyakan bagaimana keadaan saya. Malam itu saya baru sadar jika selama ini apa yang dikatakan orang tua itu benar, bahwa kita sering baru menyadari betapa berharganya hal-hal yang kita miliki justru ketika hal itu sudah diambil dari kita. Ya, saya baru sadar bahwa saya dulu telah diberi keluarga yang luar biasa, yang walaupun sering marah-marahan, sering bertengkar, sering berbeda pendapat, tapi ketika dibutuhkan, mereka selalu ada. Tapi yah namanya manusia memang begitu, namanya jodoh juga begitu, ada waktunya. Waktu kami untuk berjodoh sudah habis juga. Jadi mau bagaimana? Mungkin yang terbaik, saya harus mulai belajar menyukuri dan menghargai apa yang saya miliki sekarang. Termasuk kesehatan.

Senyuman Bisa Meredakan Emosi Negatif
Dua hari setelah saya berobat yang pertama, sebenarnya gejala yang saya rasakan sudah mulai berkurang. Hanya saja muncul gejala baru yang membuat saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke dokter. Jadi, malam itu saya nekat melajukan motor saya menuju tempat praktik dokter keluarga saya. Sayangnya, perjalanan saya tidak selancar yang saya rencanakan.

Jalan yang biasa saya lewati untuk sampai ke tempat praktik dokter ditutup malam itu. Saya dipaksa untuk memutar arah, melewati “jalan belakang”, istilah yang digunakan orang untuk menyebut jalan yang melewati kampung-kampung dengan jalan naik-turun khas jalan di pegunungan. Tapi, bahkan setelah saya memutar cukup jauh, saya tidak juga berhasil mencapai jalan utama. Semua akses menuju jalan utama dijaga oleh polisi yang melarang setiap pengguna jalan memasukinya karena jalan akan digunakan oleh rombongan presiden untuk lewat.

Kolaborasi antara nyeri, udara malam yang dingin dan sedikit gerimis, dan rencana yang terhambat, biasanya akan dengan mudah membuat seseorang meledak. Untungnya, malam itu bapak-bapak polisi yang berjaga di sepanjang jalan senantiasa memasang senyuman dan dengan nada yang halus memohon maaf kepada setiap pengguna jalan yang mereka alihkan. Bapak-bapak polisi ini bahkan tetap tersenyum dan dengan sabar memberikan penjelasan ketika para pengguna jalan ada yang dengan berang mengeluh dan berteriak. Di atas itu semua, hal terhebat yang saya lihat adalah bahwa semarah apa pun para pengguna jalan, sekecewa apa pun mereka, malam itu tidak ada yang mengamuk. Malam itu, setelah mendapatkan penjelasan yang baik dan senyuman dari para bapak polisi, para pengguna jalan tidak melanjutkan omelannya dan menurut untuk mencari jalan alternatif. Berarti memang benar, senyuman itu bisa meredakan emosi negatif. Semoga ramahnya dan manisnya senyuman para bapak polisi ini ditiru juga oleh para pemberi pelayanan yang lain, termasuk di tempat penyedia jasa pengiriman barang yang saya datangi dua malam sebelumnya.

Alhamdulillah saya sekarang sudah sembuh. Yah, semoga sih bukan hanya sembuh dari penyakit, tetapi juga dari kebodohan sebagai manusia yang tidak menghargai apa yang saya miliki. Have a great day.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil