Menuai Badai




Hari ini, lagi-lagi hidup memberikan pelajaran luar biasa untuk saya.

Sesusai adzan subuh tadi, saya yang masih setengah sadar, masih bermuka bantal, meminta seorang sopir taksi mengantarkan saya ke sebuah rumah sakit di daerah Slipi. Salah satu mahasiswa saya yang sedang praktik klinik di Jakarta mendadak muntah-muntah dan lemas sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Sampai di sana, saya disambut oleh wajah lelah seorang teman dan dua orang mahasiswa yang sudah terlebih dahulu sampai. Pagi tadi saya langsung bertukar jaga, meminta mereka bertiga pulang, dan menjaga mahasiswa saya sendirian setelah mendapatkan gambaran kasusnya.

Selama tiga belas jam kemudian, saya masih setia duduk di salah satu kursi ruang tunggu IGD. Menunggu, tentu saja. Selama tiga belas jam itu, saya dan seorang mahasiswa yang menemani saya, duduk dan bercerita tentang segala hal yang bisa kami ceritakan sembari menunggu mendapatkan kamar rawat inap. Yang menarik saya adalah momen di mana obrolan kami terhenti sejenak karena adanya obrolan yang lebih heboh di sebelah kami. Yang lebih menarik lagi adalah isi obrolannya.

"Sudah, jangan lu tengokin terus. Biar diurus perawatnya. Ada perawat dan dokter. Biar diurusin."

Ya, saya salah karena dengan sengaja telah memasang telinga. Dan saya lebih salah lagi karena menuliskannya di sini. Tetapi saya merasa saya harus menuliskannya. Saya harus membagikannya karena, walaupun sederhana, tetapi pesannya begitu mengena.

Awalnya saya berpikir bahwa beberapa orang di sisi saya ini tidak punya perasaan karena mereka dengan teganya meminta istri dari pasien untuk tidak perlu terlalu sering menengoknya ke dalam ruang IGD. Tapi setelah saya mendengar lebih banyak, apalagi closing-nya, saya menganggukkan kepala saja.

"Biar aja dia ngerasain kalo dia itu nggak bisa hidup sendirian, kalo dia bakalan butuh orang. Laki lu tuh udah terlalu lu manjain. Kerjaannya tiap hari ngamuk melulu, nyalahin lu melulu, nggak pernah ngehargai elu. Biarlah sekarang dia ngerasain gimana ga enaknya kalo dia nggak punya siapa-siapa. Biar dia sadar," kata salah satu dari mereka.

Itu intinya. Itu pelajaran saya. Di dunia ini, saya tidak hidup sendiri. Walaupun jika sebenarnya, ketika dipaksa, manusia akan mampu untuk hidup sendiri. Tapi, itu kehidupan macam apa? Makanya, sepertinya, saya sudah mulai harus bebenah dan memperbaiki cara saya berhubungan dengan orang lain. Saya sudah harus mulai melihat kembali bagaimana selama ini saya memperlakukan orang lain. Sudahkah baik? Sudahkah saya menjadi pembela kebenaran dan bukan hanya pembela siapa yang saya anggap benar? Sudahkah saya memperlakukan manusia sebagai manusia, sesuai kodratnya dan bukan hanya sesuai jabatan, umur, atau pangkat? Atau yang paling mudah saja; sudahkah saya memperlakukan orang lain seperti bagaimana saya ingin diperlakukan? Atau adakah saya lupa bahwa siapa pun yang menabur angin akan menuai badai?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil