Teman?

www.pinterest.com


"Itu temanmu, kan?"

Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya lalu dengan cepat kembali membuang muka. "Teman..," cibirku.

"Bukannya kau dekat dengannya dulu?" tanyanya. Aku tak menjawab lagi. "Tak kau sapa dia?"

"Buat apa?" tanyaku lagi, masih saja tak acuh seperti sebelumnya.

"Ya kan kalian pernah dekat. Masak tak kau sapa dia?"

"Memangnya harus?" tanyaku. "Sudah ah, jangan lagi kau bahas manusia sok suci itu!" Aku mulai kesal.

"Sok suci?" tanyanya.

Sial. Bukannya menghentikan topik ini, pernyataanku sebelumnya justru membuatnya semakin tertarik, semakin banyak bertanya.

"Memangnya apa yang sudah dia lakukan?"

"Dia itu sok suci." Aku membuka ceritaku dengan kalimat itu. "Tak pernah dia mau membantuku sedikit saja. Padahal kan kau tahu sendiri bagaimana dekatnya kami dulu. Kupikir teman itu saling membantu. Tapi..."

"Mengapa dia tak mau membantumu? Membantu apa memangnya?"

"Dia itu kan rajin turun bimbingan ke rumah sakit. Sedangkan yah, kau tahu sendiri kan sesibuk apa aku di kantor? Mana sempat aku melakukan itu? Jadi pernah lah kutitip lembar bimbingan padanya, kuminta dia untuk memintakan tanda tangan pembimbing lahan di sana, di rumah sakit. Eh, dia malah menasehatiku macam-macam. Dia bilang itu namanya korupsi lah, namanya menipu. Dia bilang seharusnya aku menyempatkan diri ke rumah sakit, tak perlu lama, cukup datang saja lalu mengevaluasi bagaimana mahasiswa kami praktik. Banyak lah pokoknya."

Dia mengangguk-anggukkan kapalanya.

"Jadi jika sekarang kau tanya apakah dia itu temanku, bukan. Dia bukan temanku. Teman kok tidak mau membantu temannya. Padahal apa coba susahnya?"

"Iya," katanya. "Apa susahnya membawakan daftar hadirmu ke rumah sakit lalu memintakan tanda tangan pembimbing di sana?"

"Itulah," kataku, semakin bersemangat.

"Tapi...," katanya menggantung. Aku mengerutkan kening. "Sepertinya itu memang susah, kok!"

"Susah? Susah bagaimana? Pembimbing sana juga ngerti kok kalo aku tak bisa datang dan tak apa-apa, mau-mau saja menandatangai daftar hadirku."

"Bukan itu..." Sekali lagi dia menggantung ucapannya. "Bukan itu masalahnya."

"Lalu apa masalahnya?"

"Masalahnya, dia tak salah. Kalo nanti kita mati, malaikat tidak akan mengurusi daftar hadirmu. Malaikat akan mengurusi catatan amalmu, pahalamu, dosamu, kejujuranmu, dustamu."

"Ah, jangan bilang kau membelanya," keluhku.

"Aku tak membelanya. Untuk apa? Kenal pun tidak aku dengannya."

"Ya sudah. Jika memang kau tak membelanya, jangan kau nasehatiku dan mengatakan bahwa dia benar!"

"Yah, terserah padamu," katanya kalem. Dia menyandarkan punggungnya. "Tapi kalau aku jadi dirimu, aku tak akan melepaskannya. Langka sekali manusia seperti dia itu. Apalagi di jaman sekarang di mana semua orang begitu sibuk mencari rizki, sampai-sampai melupakan sang Pemberi Rizki. Di mana orang-orang berlomba untuk bisa lulus akreditasi dunia sampai-sampai tak peduli dengan akreditasi akhirat."

Aku hening.

"Beruntung sekali kau ini punya teman seperti dia. Dia menjagamu. Dia hanya ingin kau selamat di akhirat nanti. Tak ada yang lain," katanya. "Jika aku jadi kau, kupertahankan dia."

Aku masih hening.

Ternate, 24 Oktober 2015 4:43 PM













Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil