Uwiez - Ei - Muti

www.tumblrquotes.us



"Untuk Uwiez, Ei, dan Muti,
para manusia yang telah membuktikan
bahwa darah tak selalu lebih kental dari pada air."



Namanya Uwiez, Ei, dan Muti. Sebenarnya bukan seperti itu mereka dulu memperkenalkan diri pada saya ketika kami pertama kali bertemu. Tapi, saya pikir tak ada gunanya juga saya membahas bagaimana cara kami berkenalan. Yang jelas, saya pertama kali berkenalan resmi dengan mereka sewaktu duduk di kelas 2 SMA. Walaupun setahun sebelumnya, sebenarnya saya sudah tahu tentang mereka.

Saya sudah tahu namanya Uwiez. Siapa coba yang tak akan menanyakan siapa namanya jika setiap hari saya melihatnya berteriak-teriak memanggil-manggil kakak kelas dari balkon depan kelasnya yang ada di lantai dua bangunan yang letaknya tepat di depan bangunan kelas saya. Hanya saja, saya tidak terlalu peduli dengannya, hanya merasa perlu tahu namanya. Saya merasa tidak ada kepentingan juga untuk mengenalnya karena toh kami tak pernah berhubungan. Waktu itu, yang saya tahu tentangnya hanya dua: bahwa namanya adalah uwiez dan bahwa dia adalah manusia bersuara paling keras dari yang saya kenal.

Saya sudah tahu namanya adalah Ei. Dia sebenarnya satu SMP dengan saya. Tapi karena tidak pernah satu kelas, saya tidak terlalu mengenalnya. Sewaktu di kelas satu, ruang kelas kami sebenarnya berdampingan, saya di 1.5 dan dia di 1.4. Tapi karena memang tak terlalu kenal dan mungkin karena belum dijodohkan, kami juga tak pernah mengobrol.

Saya tahu namanya Muti. Sewaktu di kelas satu, dia satu kelas dengan Ei. Yang saya tahu tentangnya hanyalah bahwa dia adalah anak Paskibra yang pastinya lebih sering berkumpul dengan sesama anak Paskibra. Oiya, saya juga tahu bahwa dia suka bicara sembarangan, ceplas ceplos dan galak. Mungkin ini sebabnya ketika akhirnya dijodohkan, kami bisa langsung akrab. Karena kami satu spesies.

Di tahun berikutnya, ketika naik ke kelas dua, saya baru benar-benar diperkenalkan dengan mereka. Waktu itu, di minggu pertama sekolah, saya yang awalnya ditempatkan di kelas 2.6, tiba-tiba dipindahkan ke kelas 2.2 dengan alasan jumlah siswanya ganjil dan jika saya bertahan di kelas 2.6, kemungkinan saya tidak akan mendapatkan teman sebangku selama satu tahun. Ya walaupun sebenarnya, ketika saya sampai di kelas 2.2., jumlah siswanya justru menjadi ganjil. Tapi karena ketika saya menyampaikan hal tersebut, pihak BP keukeuh bahwa saya harus di sana, ya sudah. Saya ikut saja. Hari pertama di kelas 2.2, manusia unik bernama Uwiez tiba-tiba datang dan duduk di kursi kosong di hadapan saya dan teman sebangku saya. Oh iya, teman sebangku saya waktu itu adalah teman satu gengnya ketika masih kelas satu. Di hari itulah saya diperkenalkan padanya dan mulai ikut menanggapi obrolannya dengan teman sebangku saya setiap kali dia datang. Setiap kali dia datang. Ya, selama saya berada di kelas 2.2., dia tidak hanya datang sekali. Dia datang berkali-kali, setiap kali istirahat. Sampai akhirnya saya bertanya juga mengapa setiap kali istirahat dia bertandang ke kelas saya dan bukannya menghabiskan waktu dengan teman sebangkunya. Karena biasanya, kami lebih memilih menghabiskan waktu dengan teman sebangku kami daripada bertandang ke kelas lain sendirian. Di hari kedua itu barulah saya tahu bahwa dia juga tidak memiliki teman sebangku. Katanya, jumlah siswa di kelasnya tak genap. Lalu perjodohan itu dijalankan juga oleh Yang di Atas, Di hari ke tiga, tiba-tiba saya dipanggil BP dan diminta untuk pindah lagi ke kelas 2.1, ke kelasnya.

Saya masih ingat sekali bagaimana wajah Uwiez ketika menyambut saya di depan pintu kelas 2.2. Untuk sesaat, dia memandangi saya dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu kembali ke arah tas ransel hitam yang saya jinjing, menghentikan pandangannya di sana sebelum bertanya ke mana saya akan pergi. Saya ingat dia tersenyum lebar dan langsung menyambut saya dengan suka cita sewaktu saya katakan bahwa saya dipindah ke kelasnya. Lalu, duduklah saya di bangku di sisinya dan mulai diperkenalkan juga dengan Ei dan Muti, dan dimulailah hidup saya bersama manusia-manusia luar biasa ini.

Persahabatan kami sebenarnya tak berbeda dari persahabatan cewek-cewek SMA pada umumnya. Kadang akur, kadang bertengkar sampai tak saling menyapa. Ada bahagia, ada duka. Kadang alim, kadang bengal. Kegiatan kami pun tak jauh berbeda dari remaja kebanyakan: jalan, nonton, makan, nongkrong, nongkrong sambil mengomentari setiap orang yang lewat, membolos, menginap di rumah salah satu dari kami, curhat-curhatan masalah gebetan, dan masih banyak lagi. Kami tak terlalu berbeda. Tapi, bagi saya, hubungan kami sangat istimewa karena bagi saya, kami bisa selalu saling mengandalkan satu sama lain, hingga saat ini. Dan semakin tahun, semakin saya mengenal mereka, saya benar-benar semakin bersyukur Alloh sudah menjodohkan saya dengan mereka.

Dari Uwiez saya belajar untuk berani. Dia manusia yang tak pernah segan untuk protes jika diperlakukan tak adil. Dia mengajari saya bahwa hak itu harus diperjuangkan. Dia sering memrotes saya ketika saya dianggapnya bersikap tak adil padanya, ketika saya dianggap bersikap lebih baik kepada Mutia atau Ei, atau kepada orang lain daripadanya. Dia juga mengajarkan pada saya untuk jangan takut dikatakan bodoh dan bahwa tidak apa-apa ketika kita tidak tahu. Karena memang hanya Alloh yang maha tahu. Dari sikap itu saya belajar untuk jangan pernah berhenti belajar, kapan saja, kepada siapa saja. Karena setiap orang pasti punya ilmu yang melebihi saya. Dari dia juga saya belajar untuk berani memperjuangkan rasa. Dulu, bersamanya, saya mendatangi kakak kelas yang sudah saya lirik-lirik semenjak awal kelas dua. Dia yang mendorong saya untuk mendatanginya dan mengajaknya berkenalan. Dia yang membuat saya berani. Ya walaupun setelah itu si Kakak kelas lantas menghilang, menghindar, paling tidak saya sudah belajar untuk tidak takut lagi.

Dari Ei saya belajar untuk lebih dewasa dalam menghadapi setiap masalah. Ei yang selalu menjadi penengah setiap kali di antara kami ada yang bertengkar, saling marah, dan memilih untuk tidak saling bicara. Dia adalah manusia yang tersabar di antara kami berempat. Darinya saya belajar untuk tak terlalu cepat mengambil keputusan menyerang balik ketika merasa terancam. Dia, walaupun saya tahu dia sendiri tak menyadarinya, telah mengajari saya untuk bermain tak tik dengan masalah, untuk selalu berkepala dingin ketika menghadapi masalah.

Dari Mutia, saya belajar untuk patuh dan menghormati orang tua. Sebagai remaja, saya dulu sebenarnya bukan remaja pemberontak. Saya juga tidak pernah melawan orang tua. Hanya saja, saya masih sering mencuri-curi waktu untuk pulang lebih terlambat daripada waktu yang ditentukan oleh ibuk yang saya pikir waktu itu wajar-wajar saja dan biasa saja. Tapi Muti berbeda. Dia benar-benar patuh pada bapak. Ketika bapak tidak mengijinkan, dia tidak akan pergi, sekuat apa pun kami berusaha memengaruhi. Belakangan baru saya sadar bahwa ketika saya melanggar jam malam, orang tua akan merasa khawatir luar biasa. Apalagi ketika yang melanggar adalah anak perempuannya.

Dan dari mereka bertiga, saya belajar menjadi sahabat yang sesungguhnya. Dari mereka saya belajar bahwa sahabat itu bukan orang yang melulu mendukung apa pun yang kita lakukan. Sahabat justru adalah orang yang berani dengan lantang mengingatkan atau dengan keras menampar kita ketika kita melakukan kesalahan. Sahabat adalah orang yang tidak takut kita marah dengan apa pun yang dikatakannya ketika mengingatkan kita, ketika meluruskan kita.

Sekarang, persahabatan kami sudah berusia dua belas tahun. Alhamdulillah, kami masih dekat sampai sekarang, masih saling bisa mengandalkan satu sama lain. Kami masih sering berusaha menyediakan waktu untuk satu sama lain di sela-sela kesibukan kami. Kami masih terus berusaha menyediakan waktu untuk mendengarkan curhatan satu sama lain walaupun kadang tak bermutu. Saya berharap semoga Alloh tidak memutuskan perjodohan kami di tengah jalan dan semoga Alloh tidak hanya menjodohkan kami di dunia, tapi juga di kehidupan setelahnya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil