(Masih) Tentang Kebencian




"Kau tahu apa yang dilahirkan oleh kebencian?

Aku menggeleng.

"Kebencian yang lain lagi. Terlebih ketika kau tuliskan itu di tempat kata-kata bisa dibaca. Kau benar-benar akan melahirkan kebencian yang lain, pembenci-pembenci yang lain."

"Kau sedang membicarakan status-statusku?"

"Dan berita-berita yang kau bagikan. Yang semuanya mengandung kebencian."

"Aku menuliskan fakta. Kenyataan!"

"Apa harus seperti itu caranya? Sudahkah kau pikirkan akibatnya? Bukan padamu, tapi pada pembacamu. Coba kau ambil waktu dan baca lagi komentar-komentar mereka. Mereka telah menjadi pembenci, sama sepertimu."

"Aku menuliskan fakta. Kenyataan. Bukan kebencian." Aku berkeras.

"Untuk apa?"

"Untuk membuka mata semua orang bahwa sebenarnya selama ini ada yang salah."

"Lalu?"

"Ya mereka akan tahu."

Dia menghela napas, lalu tersenyum.

"Masalah itu ada untuk diselesaikan, bukan untuk dicarikan kambing hitam."

"Loh, memang selama ini dia yang salah kok. Pemimpin kok tak bisa apa-apa!"

"Masalah itu ada untuk diselesaikan." Dia mengulangi kata-katanya. "Kau sudah tahu ada masalah, bisa menunjukkan bahwa itu salah. Artinya, kau punya jalan keluarnya, kan?"

Aku membuang muka, tak menjawabnya.

"Kau bisa melakukan sesuatu untuk itu kan?"

Aku masih tak berpaling padanya, masih tak menjawabnya.

"Begini saja," katanya. "Jika memang kau tahu jalan keluarnya, beritahu padanya, pada pemimpin kita, dengan cara yang benar, yang pasti sampai padanya. Kalau kau hanya menulis status-status penuh kebencianmu itu, apa kau yakin dia akan tahu? Kau saja tak berteman dengannya. Yang membaca hanya orang-orang yang kau kenal, yang sama membencinya sepertimu, yang siap menjadi pembenci sepertimu. Tak ada gunanya kurasa.

"Atau begini," katanya lagi. "Coba kau lakukan sesuatu yang nyata, yang membuat perubahan lebih baik untuk negerimu. Bukan hanya status, membagi berita, bukan juga menghina, membanding-bandingkannya dengan pemimpin lain, dan mengatakan hal-hal tak berguna. Bukan juga demonstrasi tiada henti. Menuntut bukan solusi untuk masalah ini. Buat tindakan nyata dulu. Tunjukkan kau lebih baik darinya, atau paling tidak menunjukkan kepedulianmu itu nyata."

"Heh, pemimpinnya itu bukan aku, tapi dia! Mengapa pula aku harus melakukan sesuatu untuknya."

"Loh, memangnya ini bukan negaramu? Memangnya ini hanya negaranya?"

"Enak saja! Ini negaraku juga."

"Lalu mengapa hanya dia yang kau suruh berjuang. Lalu bagaimana denganmu?"

Ternate, 29 November 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil