Mbah Yo

inspirably.com


Dulu di dekat rumah saya, berjarak satu rumah, tinggal sepasang suami istri. Saya biasa memanggil beliau berdua dengan sebutan Mbah Yo.

Mbah Kakung seingat saya bekerja sebagai penarik becak. Tapi di sela-sela waktunya, beliau menerima jasa gecel atau pijat untuk anak kecil. Dulu bapak dan ibuk sering sekali membawa saya ke rumah beliau untuk dipijat, apalagi setiap kali kami habis bepergian jauh. Setiap kali dipijat, saya pasti menangis karena sakit. Tapi setelah itu saya akan selalu bisa tertidur dengan lelap. Mbah kakung adalah seorang pekerja keras yang ringan tangan. Simbah tidak akan tinggal diam jika melihat tetangganya memerlukan bantuan. Mbah Kakung suka bermain catur. Setiap kali saya menghabiskan waktu di rumahnya, beliau acap kali mengajak saya bermain catur, dengan sabar mengajari saya yang tak juga mengerti bagaimana cara memainkan permainan ini. Tapi saya selalu suka melihat simbah bermain catur dengan cucu laki-laki saat dia datang berkunjung. Saya masih ingat betul, catur simbah ukurannya besar-besar dan suka saya main-mainkan sebagai boneka-bonekaan.

Mbah Putri, jika saya juga tidak salah, bekerja berjualan pakaian bekas di pasar. Setiap pagi beliau diantar dan dijemput oleh mbah kakung menggunakan becaknya. Mbah putri suka memasak. Saya tahu karena saya sering menghabiskan waktu bermain di halaman rumahnya yang kecil bersama teman-teman sebaya saya. Apalagi setiap kali cucu-cucunya simbah yang dari Jakarta datang berkunjung. Dan setiap kami bermain di sana, simbah akan dengan senang hati memasak untuk kami. Seadanya, tetapi rasanya tak pernah seadanya. Tapi dari sekian jenis masakan yang dibuat simbah, saya paling suka dengan kolak tela-nya. Simbah suka membuat kolak, tapi bahannya bukan pisang. Bahan kolaknya simbah adalah tela (ubi jalar), atau jika tidak, ya waluh kuning. Saya akan selalu dengan senang hati dan senyuman lebar menyambut simbah yang datang ke rumah dengan membawa rantang gembreng berisi kolak manis dan hangat itu.

Simbah berdua tidak hidup berlebihan. Kehidupan beliau berdua sangat sederhana. Simbah tinggal di rumah yang tidak terlalu besar, kecil saja dengan satu ruang tamu, dua kamar tidur, kamar mandi, dan dapur yang ada di halaman belakang di dekat sumur pompanya. Pendapatan harian simbah juga tidak pernah bisa diprediksi. Tapi sepanjang hidup saya bersama mereka, saya tidak pernah sedikit pun pernah mendengar keluhan dari mereka. Setiap kali saya menungguinya bermain catur, simbah paling hanya bercerita tentang nasehat hidup, sambil menghisap rokoknya yang tanpa filter. Mbah putri, walaupun suka sekali bercerita, juga tak pernah mengeluh. Keduanya tampak selalu bahagia dengan hidupnya, walaupun belakangan saya baru tahu bahwa kehidupan mereka yang sebenarnya tidak sebahagia itu, bahwa mereka juga memiliki masalah. Tapi tetap saja mereka tak pernah menampakkannya.

Sekarang sudah lebih dari lima tahun saya tidak bertemu simbah. Tak lama setelah mbah kakung meninggal dunia, mbah putri menjual rumahnya dan ikut anaknya ke Jakarta. Sampai sekarang saya tidak tahu bagaimana kabarnya. Yang jelas, saya selalu berharap Alloh senantiasa melindunginya dan melimpahkan berkah kepadanya karena manusia luar biasa itu telah mengajarkan kepada saya bahwa rasa cukup itu tidak ditentukan oleh banyaknya materi, tapi oleh bisa tidaknya kita bersyukur dengan apa yang kita miliki. Beliau mengajarkan bahwa masalah itu bukan hal yang perlu diumbar, bahwa apa yang perlu dibagi dengan orang lain adalah kebahagiaan dan senyuman. Beliau juga mengajarkan kepada saya bahwa tak perlu menunggu memiliki kelebihan untuk bisa memberi. Memberi itu bukan tentang ada atau tidak, tapi tentang mau atau tidak.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil