People.. People..

www.familysecuritymatters.org


Ada yang bilang bahwa semakin kita tua, maka akan ada semakin banyak orang yang kita benci. Well, untuk saya sepertinya hal itu tidak salah. Entahlah. Saya pribadi memang merasa sepertinya ada semakin banyak orang yang saya benci akhir-akhir ini. Orang-orang yang sebenarnya sudah lama saya tahu, sudah saya hafal perangainya, yang dulu tak terlalu terasa mengganggu. Atau orang-orang asing yang bahkan tak saya kenal sekali. Banyak.

Saya mulai membenci para penggerutu. Saya membenci setiap orang yang mengisi harinya dengan menggerutu, menggerutukan semua hal, setiap saat. Pemerintah tak adil, atasannya dzalim, teman-temannya yang menyebalkan, dan tentu saja hidupnya yang tak menyenangkan. Saya membenci mereka yang selalu mengeluhkan semua hal, seolah semua hal itu salah, seolah dia adalah orang yang paling menderita di antara semua manusia di muka bumi ini.

Saya membenci para penakut. Saya membenci setiap orang yang setiap hari hanya bisa membicarakan orang-orang yang dibencinya, yang dianggapnya membuat hidupnya menderita, tapi ketika diajak untuk melakukan sesuatu akan menolak. Bahkan ketika diminta untuk memperjuangkan haknya sendiri. Tak berani diajak melakukan perubahan. Padahal di belakang kata-katanya selalu menusuk, selalu terlihat tahu bagaimana caranya, tapi tak pernah mau mengambil tindakan nyata saking takutnya. Takut yang salah tempat. Takut pada atasan, bekerja keras dengan penuh keluhan, sampai-sampai semua waktu ibadah terlewatkan, lupa bahwa seharusnya dia lebih takut pada Tuhan.

Saya mulai membenci para manusia yang begitu senang bermain menjadi korban. Seolah mereka adalah satu-satunya manusia yang menderita di dunia ini. Saya membenci mereka yang setiap kali keinginannya tak dikabulkan lantas mengatakan bahwa orang lain tak mengerti betapa menderitanya mereka. Saya membenci orang-orang yang merasa bahwa seharusnya semua orang memahaminya dan mengabulkan setiap keinginannya.

Saya mulai membenci para manusia yang bermuka dua, seolah satu muka tak cukup untuk mereka. Saya membenci mereka yang begitu manis di depan, padahal memuntahkan semua kata-kata menyakitkan di belakang, membuka setiap aib orang yang di hadapannya mereka suguhi senyuman.

Saya mulai membenci orang-orang yang tak bisa menghargai pemberian orang lain, yang selalu saja berusaha menemukan kekurangan dari semua pemberian orang. "Masakan macam apa ini?" atau "Ih, rasanya aneh sekali", atau "Masak seperti ini kamu beli mahal sekali. Kamu sudah ditipu itu namanya".  Mengapa mereka tak bisa mengatakan, "Terima kasih"? Sudah, tak perlu yang lain lagi. Cukup itu saja. Masalah enak tak enak, suka tak suka, tak bisakah mereka simpan di dalam kepala mereka saja?

Saya mulai membenci orang-orang yang katanya sudah dewasa tapi tak bisa mengambil tanggung jawab atas pilihan-pilihan yang dibuatnya sendiri. Ah, entah apa yang perlu saya jelaskan untuk manusia semacam ini selain saya benar-benar membenci mereka, yang tahu bahwa tindakannya salah, tahu semenjak awal, tahu apa akibatnya, tapi tetap melakukannya, tapi lantas ketika menerima akibatnya mereka menjadi manusia penggerutu, bermain sebagai korban. Benar-benar...

Tapi di atas semua itu, saya paling membenci para pembenci. Manusia-manusia yang merasa berhak membenci manusia lain, yang merasa paling baik, merasa paling benar. Seolah mereka ini bukan jenis manusia yang menyebalkan.

Ah, entahlah.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil