Tunjangan Hari Raya

vi.sualize.us



"Udah tanggal segini THR belum turun." Ada keluhan jelas yang dinapaskan dalam kalimat itu.

"Jangankan THR, uang makan saja belum turun." Keluhan senada dari suara yang berbeda.

Laki-laki itu bertahan, menanamkan pandangannya pada laporan yang terpampang di layar leptop di hadapannya. Bertahan untuk tak berkomentar macam-macam. Tapi suara-suara itu tak juga hilang, tak juga berkurang. Keluhan semakin keras, semakin ramai sampai akhirnya semuanya tak lagi tertahankan.

"Kalian ini...." Kata-kata itu benar-benar tak bisa lagi ditahannya. "Dari tadi kok cuman ngeluhin duit ga turun-turun terus." Dia tak beranjak dari tempatnya duduk. Pun melepaskan pandangan dari layar leptopnya.

Keluhan-keluhan itu mereda. Kepala-kepala itu mulai menoleh padanya, memandangnya heran.

"Kalian minta dikirimin uang makan, THR, gaji ke tiga belas itu memangnya kalian udah kerja dengan benar?"

Wajah-wajah itu memanjang, dijejali ketersinggungan.

"Enak aja. Aku kerja tauk!" sahut si Pengeluh 1.

"Udah bener kerjamu?"

"Tentu saja!"

"Datang kerja tepat waktu kau? Pulang tak pernah lebih cepat dari jam pulang?"

"Tentu!"

"Hmm..bagus. Mengajar kau sesuai jadwal? Melakukan penelitian? Pengabdian kepada masyarakat? Membimbing di praktik lapangan?"

"Tentu....." Mulai ada keragu-raguan di sana.

"Yang benar? Benar-benar sudah benar?"

"Ya...."

"Kalau memang sudah benar, kenapa semenjak datang tadi kau hanya duduk-duduk bercerita dan mengeluhkan tunjangan? Padahal laporanmu belum kau selesaikan, nilai anak-anak bimbinganmu belum ada, berkas proses pembelajaranmu tak lengkap..."

"Ah.. sudah-sudah!" Suara itu menyela. "Apa sih kalian ini, tak penting!" katanya lagi. "Eh kau tahu tidak? Si artis X itu ternyata bandar narkoba loh."

Laki-laki itu memutar bola mata lalu menyumpal telinganya.


Ternate, 27 Juni 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil