18.001



"Sembilan puluh satu ribu rupiah," katanya.

Saya tersentak. Tak banyak. Tapi cukup untuk meningkatkan denyut jantung saya yang tentunya meningkatkan rasa lapar yang sudah saya tahan sedari siang. Malam itu saya hanya membawa tas kecil dan memutuskan untuk hanya menyelipkan selembar uang lima puluh ribu beserta surat-surat penting ke dalamnya. Lalu tiba-tiba setelah (hanya) memesan sepotong ayam goreng, kentang, dan sebotol air mineral, saya diminta membayar sembilan puluh ribu rupiah.

Otak saya tak berpikir cepat. Jadi saya hanya langsung berbalik, meminjam selembar uang seratus ribu yang ada di genggaman tangan teman saya, lalu membayar makanan yang saya pesan. Baru kemudian sewaktu teman saya sibuk memilih makanan, otak saya mulai bisa diajak berpikir dan menyuruh saya mengecek kembali bukti pembayaran yang tadi saya selipkan ke dalam tas kecil saya. Dan benar saja. Di kertas putih kecil itu tercetak tak terlalu jelas daftar barang saya bayar: dua potong ayam, dua kentang goreng, dan sebotol air mineral. Pesanan saya ternyata terinput dua kali.

"Mas, maaf, Ini pesanan saya tadi, ayam sama kentangnya terinput dua kali," kata saya seraya menyerahkan bukti pembayaran.

Laki-laki itu membaca bukti pembayaran saya.

"Saya hanya pesan satu ayam, satu kentang, dan air mineral. Tapi di situ terinput dua ayam, dua kentang, dan satu air mineral."

"Oh iya. Sebentar." Laki-laki itu segera mengambil kalkulator lalu mulai menghitung.

Menghitung... menghitung.... menghitung... Wajah itu lalu mulai tampak bingung.

"Perlu saya bantu?" tanya saya yang langsung dengan cepat mendapatkan cubitan pelan di paha oleh teman saya. Waktu saya menoleh, dia memberikan kode pada saya untuk tidak rese.

"Tadi mbaknya bayar pakai uang seratus ribu, kan? Terus saya sudah kembalikan sembilan ribu kan?" tanya laki-laki itu.

"Iya." Rasa lapar saya semakin menggelora. Emosi jiwa saya juga mulai tergoda untuk menggelora.

"Terus tadi mbaknya belinya ayam, kentang, sama air mineral..."

Saya mulai benar-benar tak sabar. "Mas, masnya kan hanya salah input ayam dan kentang, jadi hitung saja harga kentang, ditambah harga ayam, dan pajaknya. Sudah. Hanya itu yang perlu dikembalikan kepada saya."

Laki-laki itu menatap saya dengan bingung. Tangan yang sebelumnya sibuk menekan-nekan tombol di kalkulator langsung berhenti. Dan saya semakin emosi.

"Kan mbaknya beli air mineral juga. Masak nggak dihitung?"

"Lah kan air mineralnya nggak keitung dobel."

"Iya... tapi...."

Sekali lagi paha kanan saya dicubit dari sebelah. Teman saya sudah mulai terlihat tak nyaman. Apalagi beberapa pelanggan dan pegawai sudah mulai memandangi kami.

"Mas... yang kita hitung ini kan berapa banyak uang yang harus mas kembalikan ke saya. Jadi hanya hitung yang dobel saja. Jadi yang dihitung hanya harga ayam dan kentang saja. Terus ditambah pajak sepuluh persen."

"Berarti saya kembalikan ke mbaknya enam puluh ribu ya?"

"Kok enam puluh ribu?"

"Iya. Enam puluh ribu," katanya lagi dengan yakin.

"Ya sudah. Sini," kata saya yang sudah mulai malas dan kembali mendapatkan peringatan dari sebelah.

Lalu uang itu diserahkan ke saya. Saya menerimanya, sesaat berhenti, berdiri tak melakukan apa-apa sambil menatap petugas yang berdiri di balik meja itu.

"Masnya nggak minta maaf? Kan sudah salah input?" tanya saya. Iya, saya mulai rese.

Lalu sikutan pelan terasa di bagian kanan tubuh saya, menggantikan cubitan kecil tadi. Saya menyerah, mengikuti langkah teman saya ke meja. Tapi saya tak langsung makan. Saya mengeluarkan bukti pembayaran saya lalu menghitung jumlah yang seharusnya dikembalikan ke saya: harga satu potong ayam, satu kentang, dan pajak sepuluh persen. Totalnya empat puluh satu ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan rupiah. Jadi benar, uang yang dikembalikan ke saya kelebihan delapan belas ribu satu rupiah. Dengan cepat saya meraih uang delapan belas ribu rupiah dari dalam tas saya, membawanya ke kasir.

"Mas, maaf. Uang yang mas kembalikan ke saya tadi kelebihan delapan belas ribu."

"Kan saya kembalikan enam puluh ribu, mbak."

"Iya. Makanya itu. Kelebihan. Ini." Saya menyerahkan uang itu ke atas meja kasir. Tapi laki-laki itu memandang bingung ke saya.

"Masnya mau nggak ini?" tanya saya. Kembali kehilangan kesabaran.

"Udah pas kok, mbak."

"Mas, masnya nanti harus ganti rugi loh kalo nggak mau menerima ini?"

"Nggak papa, Mbak."

"Bener?"

Kepala itu terangguk di antara tatapan beberapa pasang mata.

"Ya udah."

Uang itu kembali saya ambil lalu saya dorong masuk dengan sembarangan ke dalam tas kecil saya.

"Masnya aneh. Nggak mau dikasih duit. Padahal kan kasihan kalo dia harus ganti rugi," cerocos saya begitu duduk.

"Dia lebih milih ganti rugi delapan belas ribu daripada ketemu kamu lagi itu," jawab teman saya dengan tenang sambil menikmati mie gorengnya.


#Tak Penting

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil