Bully

picture source: www.zocalopublicsquare.org


Seorang teman bercerita pada saya tentang pencantuman nama sebuah rumah sakit di sebuah status di facebook, tentang betapa tidak baiknya pelayanan di salah satu instalasi di sana. Efek dari status itu tentu saja orang-orang yang bekerja di sana menjadi geram. Salah satu petugasnya sempat menangkap layar di status tersebut lalu menyebarluaskannya.

Sewaktu saya membaca status yang dimaksud, saya menganggukkan kepala paham. Saya paham mengapa para pegawai di sana menjadi geram dan lantas menjadikan nama si penulis status sebagai bulan-bulan mereka. Saya paham. Bahasa yang digunakan dalam status itu memang tergolong tidak sopan dan menyakitkan. Benar memang tujuannya mungkin ingin memberikan masukan, tapi tetap saja, bagi saya, seharusnya ada bahasa yang lebih sopan yang bisa dipilih untuk digunakan. Dan untuk pihak yang diberikan masukan, yang tak terima dengan cara masukan itu diberikan, yang lantas menangkap layar dan menyebarluaskannya, saya hanya bisa tertawa saja dengan apa yang mereka lakukan. Karena ternyata mereka sama saja, tak berbeda dengan pihak yang memberikan masukan. Tapi sepertinya masalah itu sekarang sudah berlalu, sudah tak lagi terdengar kabar tentangnya. Lagipula saya dengar status itu sudah dihapus dan penulisnya sudah meminta maaf. Sudah. Masalah selesai. Atau paling tidak begitu seharusnya.

Jauh sebelum itu seorang teman saya membagikan tautan pada sebuah gambar di media sosial tentang sepasang anak muda, laki-laki dan perempuan, yang asik berpacaran di kursi di sebuah alat transportasi lalu di sebelahnya berdiri seorang wanita tua. Komentar di bawahnya, tentu saja, kebanyakan menghakimi sepasang sejoli itu. Mulai dari anak tak tahu sopan santun, tak menghormati orang tua, bahkan yang paling sadis, mereka dianggap anak-anak durhaka karena berani berbuat seperti itu kepada seorang ibu. Waktu itu saya menuliskan komentar di sana, merasa gerah dengan komentar lain yang begitu menghakimi bahkan tanpa tahu kondisi sebenarnya seperti apa. Di sana saya menuliskan ketidakterimaan saya dengan segala penghakiman yang diberikan kepada kedua anak muda itu. Saya menuliskan, jika memang bertujuan ingin menasehati, seharusnya caranya tidak seperti itu. Mengapa tidak langsung saja pengunggah foto itu menasehati kedua anak muda itu agar memberikan tempat duduknya kepada si ibu tua yang berdiri di samping mereka? Atau jika tidak, mengapa bukan dia berikan saja tempat duduknya kepada si ibu? Tak perlu mengambil gambar orang yang saya yakin sekali tidak dia kenal, orang asing, lalu menyebarkannya sebagai contoh yang tidak baik. Tapi hasilnya saya malah kena semprot teman yang membagikan, masih belum berhenti di sana, saya dilaporkan pada atasan yang kemudian meminta saya untuk tidak mengulangi 'kesalahan' yang sama. Kesalahan.

Sepertinya untuk sekarang ini polanya sama. Semenjak ada media sosial, semua orang menjadi terlalu bebas. Terlalu bebas mengungkapkan isi kepalanya, terlalu bebas berpendapat, dan sayangnya kita ini juga merasa semakin bebas untuk menghakimi. Kita lupa bagaimana caranya melakukan klarifikasi, lupa apa gunanya klarifikasi. Kita bahkan semakin lupa bagaimana adab nasehat-menasehati. Oke, tidak semua orang, sebagian dari kita. Sebagian yang jumlahnya lebih banyak daripada yang tidak. Kita sekarang lebih memilih untuk berlomba-lomba menunjukkan kesalahan orang lain, kekurangan mereka, membagikan aib mereka, menjadikan mereka sebagai korban penghakiman tanpa diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan. Kita ini berlomba-lomba menjadi diri kita sebagai perundung. Bully. Merasa senang jika ada orang lain yang dihakimi. Merasa benar, merasa berhak untuk merasa benar. Padahal kita semua paham bahwa menunjukkan dosa orang lain tak lantas membuat kita sebagai orang suci.

Ada caranya. Ada adabnya jika memang benar tujuan kita nasehat-menasehati. Menasehati seharusnya tidak melukai. Menasehati seharusnya niat awalnya karena Allah, bukan karena ingin mendapat perhatian manusia. Menasehati seharusnya tidak mempermalukan orang yang dinasehati. Menasehati seharusnya dilakukan secara rahasia. Menasehati seharusnya dengan lembut, sopan, dan penuh kasih. Menasehati seharusnya dilakukan diwaktu yang tepat, Ada adabnya. Atau jika memang sulit untuk menghafalkan adab itu, bayangkan saja kita berada pada posisi yang dinasehati. Bagaimana kita berharap orang lain akan menasehati kita? Bukankah begitu juga seharusnya cara kita melakukannya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil