Balada Sidak

123RF.com


"Tapi memang tak patut sekali." Seorang perempuan berkemeja hijau menjauhkan ponsel dari hadapan wajahnya lalu menarik cangkir kopi dan menikmati isinya.

"Apa yang tak patut?" Temannya, seorang perempuan dengan kemeja bunga-bunga meraih ponsel yang baru saja diletakkan di atas meja, lalu sejenak membaca apa yang ditayangkan layar itu.

"Itu tuh... Pak Gubernur. Ngamuk-ngamuk dia pas sidak di rumah sakit."

"Oooh... Itu." Ponsel itu kembali diletakkan ke atas meja.

"Belum pernah ngerasain jaga malem sih dia. Nggak tahu gimana beratnya kerja di rumah sakit. Nggak tahu gimana capeknya."

"Ya cuman kan nggak harus semua tidur bareng gitu kali. Kalo jaga itu ya jaga."

"Terus nggak boleh tidur sama sekali gitu? Lah emang kita ini robot?"

"Yang bilang kalian ini robot ya siapa?"

"Ya kalo bukan, masak kayak gitu perlakuannya? Kayak yang kesejahteraan pegawenya udah bagus gitu."

"Kok jadi sampe ke situ. Jangan bawa-bawa urusan kesejahteraan dong. Yang nyuruh jadi dokter sama perawat siapa? Itu kan pilihan kalian sendiri. Ya waktu milih harusnya sadar resiko dong. Harusnya tahu kalo bakalan berat, bakalan kudu jaga malem buat ngerawat pasien. Bukan malah enak-enakan tidur."

"Ya nyangkut ke kesejahteraan juga dong. Kalo kesejahteraannya udah bagus, kinerjanya kan pasti lebih bagus."

"Masak? Yakin kamu? Sedangkan dari awal niat jadi perawat sama dokternya aja cuman buat 'dapet duit', bukan niat bekerja jadi dokter atau perawat. Manusia semacam itu, mau kamu kasih duit sebanyak apa pun, kalo niat kerjanya udah salah kayak gitu, nggak bakal berubah. Bakalan tetep ngerasa kuraaaaang aja. Ujung-ujungnya nganggep kesejahteraannya nggak diperhatiin sama pemerintah, terus kerjanya sesuka hati lagi. Bleh. Lingkaran setan."

"Ya kalo nggak suka, nggak usah ke rumah sakit aja kalo sakit. Ke dukun sana."

"Nah kan. Mulai..."

"Mulai apa?"

"Kamu itu.. Tadi habis play victim, terus sekarang karena udah terpojok, mulai deh ngambek. Kayak anak kecil tau nggak? Kalo nggak gitu terus bikin meme, jelek-jelekin musuh. Apaan tuh? Nggak bermutu."

"Kamu kok belain dia banget sih? Udah dikasih apa emangnya kamu sama dia?"

"Otakmu nih. Negatiiiiif aja isinya. Masalahnya aku tuh udah ngalamin sendiri. Malem-malem anakku yang bayi demam tinggi, ta bawa ke UGD dan di sana nggak ada yang jaga. Semuanya tidur. Harus dibangunin dulu. Ya harusnya nggak gitu dong. Ada atau nggak ada pasien, namanya jaga kan harus stand by. Nggak bisa tidur semuanya bareng-bareng gitu."

"Apa sih kalian ini. Temenan deket dari dulu kok cuman gara-gara ngobrolin berita jadi nadanya tinggi semua gini?" Perempuan yang tubuhnya dilapisi cardigan berwarna putih, yang sedari tadi hanya duduk dengan tenang di antara mereka berdua, akhirnya mengeluarkan suaranya.

"Ya kan kamu denger sendiri gimana negatifnya pikiran dia."

"Halah. Kayak kamu engga aja. Kamu itu juga negatif tauk! Nyalah-nyalahin dokter sama perawat aja bisanya. Pemimpin arogan kayak gitu kok dibela."

"Heh, sudah.. Sudaaaah.. Kok malah diulangi lagi. Udah pada gedhe-gedhe kok mikirnya masih kekanak-kanakan gitu." Perempuan bercardigan putih itu menggelengkan kepala heran. "Gini," katanya, berusaha menengahi. "Menurutku, kedua belah pihak itu sama-sama ada salahnya."

"He.." Perempuan berkemeja hijau langsung menegakkan tubuhnya.

"Tungguuuu.. Dengerin dulu." Perempuan bercardigan putih itu mengangkat tangannya, lalu sesaat tergelak, merasa lucu dengan kondisi panas kedua sahabatnya itu. "Dokter sama perawat itu manusia, bukan robot. Itu bener. Jaga malam itu capek. Bener. Tapi bahwa seharusnya seorang dewasa itu adalah manusia yang sadar risiko, yang harus siap sedia menerima risiko dari setiap pilihan yang dibuatnya, itu juga bener. Kan udah mutusin jadi dokter atau perawat yang memang jam kerjanya bikin capek, ya harusnya bisa dong memanajemen diri. Bisa dong tidurnya pake giliran. Di tempatku, kalo jaga malem, kita juga tidur kok. Cuman tidurnya giliran. Harus ada yang tetep jaga walaupun nggak ada pasien. Jadi sekiranya ada pasien yang tiba-tiba dateng, ada yang stand by. Kan kasusnya yang kalian perdebatin tadi itu, semuanya tidur, nggak ada yang jaga."

"Nah, apa kubilang," kata perempuan berkemeja bunga-bunga.

"Tapi bapaknya nggak bener juga sih menurutku. Caranya yang nggak tepat. Berlebihan. Marahnya nggak elegan. Dan aku sendiri pada dasarnya memang nggak setuju sama cara sidak yang diikuti wartawan seperti itu. Itu namanya membuka aib orang lain. Kalo emang mau sidak, ya datang saja. Pakai cara yang sopan, tanyakan apa yang perlu ditanyakan dengan cara yang sopan. Jika memang harus memberikan nasihat, ya berikan nasihat dengan cara yang baik. Jika tak ada yang ditanyai, ya sudah. Ambil dokumentasi saja sebagai bukti kemudian lakukan prosedur penjatuhan sanksi. Nggak perlu heboh nendangin barabg-barang segala. Beliau muslim kan? Seharusnya tahu bagaimana adab menasehati. Kalo yang beliau lakukan itu, itu menyakiti hati. Engga pas."

"Iya juga, sih," sambut perempuan berkemeja bunga-bunga. "Tujuannya bener. Tapi caranya nggak pas."

"Iya, kan? Seorang muslim itu, mau semarah apa pun, kan diminta bersabar. Dan ketika menasihati, kan diminta dengan lemah lembut, dengan tidak menyakiti, dan dengan tatap muka pribadi, tidak diumbar seperti itu," lanjut perempuan bercardigan putih. "Lagipula, dengan melakukan hal itu, memangnya apa yang mau ditunjukkan? Apa yang mau beliau banggakan? Bukannya beliau pemimpinnya? Pimpinan itu, baik atau tidaknya, kan salah satu faktor penentunya adalah pemimpinnya, yang dijadikan panutan, yang dicontoh, yang menjadi kontrol. Seharusnya jika pimpinannya hasilnya seperti itu, hasilnya tak baik, seorang pemimpin merasa bahwa dia belum berhasil, merasa bahwa yang harus diperbaiki itu juga sistem kepemimpinan dia. Artinya sebenarnya dengan mengumbar aib rumah sakit itu di media massa seperti itu, dia telah mengumbar aibnya sendiri. Iya, tidak?"

"Menepuk air di dulang, terpercik wajah sendiri," gumam perempuan berkemeja hijau.

"Tepat." Perempuan berkemeja bunga-bunga itu lantas tersenyum.

"Eh, udah yuk. Udah isya. Aku harus pulang, mau jaga malam." Perempuan berkardigan putih berdiri, bersiap meninggalkan cafe.

"Tapi nanti malam jangan tidur loh. Biar nggak ada yang ngebanting kursi lagi," kata perempuan berkemeja hijau.

Mereka lantas tertawa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil