Barang Kan Hujan

http://www.hdwalle.com


Langit mendung dan hujan turun semenjak sebelum subuh tadi. Inginku, dengan cuaca seperti ini, aku tak perlu keluar dari hangatnya selimut tebal dan tumpukan bantal di kasurnya. Inginku. Sayangnya aku tak bisa. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Waktuku tinggal tiga puluh menit untuk bersiap-siap dan berangkat ke kantor.

Dengan cepat aku melangkah memasuki kamar mandi, mengguyur tubuh dengan air yang pagi ini lumayan menggigit dinginnya. Lumayan untuk membuat tubuhku bangun dan memaksakan diri membakar kalori untuk menghangatkan diri.

Pukul tujuh lebih empat puluh menit. Aku menarik cepat sebuah dress berwarna marun dari dalam lemari lalu mulai berpakaian. Kasur yang masih berantakan masih sempat aku rapikan sebelum akhirnya aku mengunci pintu kamar, memakai sendal, lalu memakai jas hujan. Hujan belum reda, masih sederas sebelumnya. Tapi tak ada alasan. Kewajiban harus tetap dijalankan. Jadi, berbekal sandal gunung dan jas hujan, aku menembus hujan.

Sepuluh menit perjalanan melewati jalan naik turun, yang orang bilang jalan belakang, akhirnya jempolku mendarat di mesin finger print. Nyaris terlambat. Menyebalkan. Seharusnya tadi aku bangun lebih pagi, tak perlu mempedulikan nyanyian hujan yang menyenyakkan itu. Salahku. 

Tapi toh kantor masih sepi juga. Tak apa. Satu bagian diriku mulai berusaha untuk menentramkan hatiku seperti biasa. 

Tak bisa. Kamu tak punya cukup alasan untuk terlambat. Tak peduli yang lain terlambat dan beralasan hujan. Kamu tak boleh. Aaah... aku sebenarnya tak menyukai bagian diriku yang ini. Tapi, sebenci apa pun aku padanya, dia adalah aku, bagian dari diriku, yang sialnya, seringnya benar.

Aku melangkah melewati koridor yang pagi ini tak bernyawa, hanya dihiasi suara hujan, lalu membelokkan langkah ke ruangan tempat meja kerjaku sudah menunggu.

"Hujan dari pagi," sapa seorang perempuan begitu aku memasuki kantor. Dia sudah duduk manis di meja kerjanya, menghadap laptop yang sudah menyala.

"Iya, Mbak," jawabku sembari meletakkan tas di atas meja di sebelahnya.

Lalu tak ada obrolan yang berarti. Kami mulai larut pada pekerjaan kami masing-masing hingga satu persatu teman sekantor kami datang dan duduk di kursinya masing-masing.

"Tadi pagi aku hampir terlambat."

Aku menghentikan pekerjaan sejenak dan menoleh ke meja di sebelah. Perempuan itu ikut menoleh padaku.

"Anakku, susah sekali kubangunkan tadi pagi. Hujan, katanya. Dia bilang tak apa-apa terlambat soalnya kalau hujan seperti ini, gurunya belum akan datang dan hanya akan ada sedikit temannya yang sudah datang."

"Oya? Lantas?" tanyaku.

"Kupaksa tentunya. Kubilang padanya, 'Mau hujan mau enggak, mau ada gurunya atau enggak, mau ada temennya atau engga, mama nggak mau tahu. Jam tujuh kamu sekolah, artinya jam segitu kamu sudah harus ada di sekolah'. Gitu."

"Bangun dia, Mbak?" tanyaku lagi.

"Bangun, lah. Kupaksa," katanya. "Tapi, ternyataaaa... Ya ampun. Ternyata dia bener."

"Bener?"

"Iya. Waktu sampe sekolah, sekolahnya masih sepi. Teman-temannya masih sedikit sekali. Dan waktu kutanya salah satu temannya, di mana gurunya, dia bilang belum datang. 'Barang kan hujan' gitu katanya."

"Anakku juga. Tak mau bangun tadi dia."

Ada suara dari sisi lain ruangan. Aku dan perempuan di sisiku menoleh padanya.

"Harus kau paksa juga dia?" tanyaku.

Perempuan itu menggeleng. "Kubiarkan saja."

"Kau biarkan?" tanyaku.

"Iya. Aku tahu di sekolahnya pasti banyak yang tak masuk. Aku tahu gurunya juga entah masuk atau nggak. Makanya kubiarkan saja dia tidur."

"Tak sekolah anakmu hari ini?"

"Enggak. Barang kan hujan," jawabnya.

"Hmmm.. Pantas ya?"

"Pantas apa, Mbak?" Aku kembali menoleh pada perempuan di sisiku.

"Pantas banyak sekali orang yang tak bisa disiplin. Terlalu banyak dimanjakan seperti itu. Telat dateng kuliah, alesannya 'barang kan hujan'. Telat dateng ujian, alesannya 'barang hujan'. Telat dateng kerja, alesannya 'barang hujan'. Ya pantaslah, sejak kecil udah dibiasain kayak gitu. Hujan dikit, nggak mau bangun, ya udaaaah nggak papaaaa... Barang kan hujan."

Aku tersenyum.

"Pendidikan karakter itu dari kecil. Nanti kalo kamu sudah punya anak, didik anakmu dengan baik, jangan dimanjain. Jangan dikit-dikit hujan dijadikan alasan kemalasan."

"Hehe.. Iya, Mbak."

"Bener loh. Harus dididik dari kecil. Jangan ngandelin sekolahan. Kamu itu nanti jadi ibu. Ibu itu madrasah pertamanya anak. Kamu yang pertama kali bakal ngajarin anakmu. Ajarin disiplin, ajarin buat nggak manja, ajarim tanggung jawab."

"Iya, Mbak."

Aku tersenyum lalu menoleh ke jendela, memandangi hujan yang mulai reda dan meninggalkan gerimis.

Tenang saja. Aku tak akan bilang, 'Barang kan hujan'. Kau dengar, kan? Aku mengerling pada hujan di luar sana.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil