Sekantong Permen Jeli

segiempat.com


Orang bergolongan darah B tidak suka diatur. Begitu bunyi salah satu kalimat di buku yang membahas tentang golongan darah. Sebagai seorang bergolongan darah B, saya sebenarnya tidak terlalu setuju. Saya suka keteraturan dan tidak suka manusia yang tidak bisa diatur. Tapi memang sebenarnya saya ini lebih suka kebebasan. Saya tidak suka diatur dengan peraturan yang aneh-aneh, tidak berdasar, atau dibuat sesuka hati. Saya lebih suka keteraturan, tapi saya menghargai kebebasan.

Peraturan dan kebebasan. Dua hal ini membuat saya teringat pada sekantong permen jeli. Permen warna-warni beraneka rasa yang kenyal itu. Iya. Itu. Sewaktu kuliah dulu, saya sudah lupa semester berapa, saya pernah sedikit berseteru dengan seorang pengawas ujian karena sekantong permen itu. Sewaktu saya kuliah dulu, setiap kali akan mulai ujian, pengawas ujian akan membacakan peraturan ujian sampai saya, setelah beberapa kali ikut ujian, cukup hafal dengan isinya. Dan saya ingat dengan jelas sekali bahwa di dalam peraturan itu tidak ada larangan tentang membawa makanan ke dalam ruang ujian atau makan pada saat ujian. Jadi siang itu setelah istirahat, saya sengaja tidak memasukkan permen jeli saya ke dalam tas. Saya meletakkannya di kursi saya agar bisa saya makan sambil ujian. Dan pastinya sudah bisa ditebak, ya, saya didatangi pengawas yang melarang saya makan dan meminta permen saya.

"Mengapa tidak boleh?" tanya saya waktu itu.

"Karena itu melanggar tata tertib."

"Tata tertib yang mana?" tanya saya lagi. "Di dalam tata tertib ujian tidak ada larangan untuk makan pada saat ujian," kata saya lagi, masih saja ngeyel.

"Iya, tapi itu mengganggu peserta ujian lain." Pengawas itu sepertinya mulai kesal. Tapi hal ini justru menjadi semakin menarik untuk saya.

"Kalau saya makan ini, ada yang terganggu?" tanya saya pada teman-teman yang duduk di sekitar saya. Untung bagi saya, mereka menggeleng. Semuanya. Karena memang pada kenyataannya, saya tidak menimbulkan suara atau gerakan yang akan dapat menganggu peserta ujian lain.

"Ya sudah." Pengawas ujian itu kemudian berlalu. Dan setelah kejadian itu, sikap beliau berubah terhadap saya, tak lagi seramah sebelumnya. Tapi waktu itu saya tak begitu peduli.

Saya bangga? Tidak. Kalau saya ingat-ingat lagi, seharusnya saya bisa bersikap lebih sopan. Walaupun saya tidak suka dengan cara beliau yang berusaha menjatuhkan sanksi dengan berusaha menyita makanan saya atas sesuatu yang tidak melanggar peraturan apa pun. Saya memiliki hak untuk makan di dalam ruang ujian karena memang tidak ada larangan untuk itu. Dan beliau berusaha melarangnya bahkan menghukum. Seharusnya waktu itu memang saya bisa bersikap lebih sopan karena beliau juga manusia yang harus saya manusiakan.

Belajar dari hal tersebut, bahwa ada orang-orang yang suka mengacak-acak peraturan, membuat peraturan seenak hati mereka sendiri, saya kemudian selalu berusaha mempelajari setiap peraturan yang ada, berusaha paham apa hak dan kewajiban saya, apa saja larangan yang tak boleh saya langgar, lalu mengajarkannya kepada anak-anak didik saya. Saya tidak mau anak-anak didik saya nantinya hanya diam ketika diberi sanksi atas sesuatu yang seharusnya tak perlu disanksi. Saya tidak mau pula anak-anak didik saya menjadi pelaku, menjadi orang-orang yang sesuka hati memainkan peraturan. Mereka harus tahu haknya, kewajibannya, apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan. Agar tak ada lagi cerita tentang sekantong permen jeli yang lain.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil