Buat Apa Uji Kompetensi?

unstrangemind.wordpress.com

"Menghalangi rejeki orang saja," keluhnya dengan kesal.

Aku pura-pura tak mendengarnya, berusaha menyibukkan diri dengan pekerjaan yang sebenarnya baru saja kuselesaikan.

"Menghalangi rejeki orang bagaimana?"

"Ya kan harusnya, kalo nggak ada uji kompetensi segala, selesai wisuda, dapat ijazah, kita bisa langsung bekerja, bisa langsung bisa cari kerja. Gara-gara ada uji kompetensi, kan kesempatan kita buat cari kerjaan jadi tertunda. Apa coba namanya kalo bukan menghalangi rejeki orang?"

Aku tak bergeming, sengaja bertahan hanya sekedar untuk mengetahui bagaimana akhir pembahasan topik yang cukup menarik itu. Cukup menarik, setidaknya buatku. Ini bukan pertama kalinya aku mendengar orang mengeluhkan tentang uji kompetensi.

"Bukan."

"Bukan? Maksudmu, bukan menghalangi rejeki orang gitu?"

"He eh."

"Kok bisa?"

"Lah kan rejeki yang ngatur yang di atas sana. Emangnya manusia bisa menghalangi rejeki manusia lain? Yang bisa ngalangin rejeki itu ya cuman yang ngasih sama diri kita sendiri."

"Hmm.. Mulai. Kamu mau nyeramahin aku masalah agama lagi?"

Aku mengulum senyuman, tapi tak berusaha mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyajikan video di youtube yang sengaja kusetel tanpa suara.

"Engga.. Ngapain nyeramahin kamu? Kurang kerjaan aja."

"Heleh."

"Hehehee.. Bukan gitu.. Cuman kan emang bener kan? Yang bisa ngehalangin datengnya rejeki kan cuman Tuhan sama manusianya sendiri."

"Iyeee." Ada nada kesal di sana.

Aku meraih botol air putihku, meneguk sedikit isinya, tak ingin terlalu kentara aku mendengarkan pembicaraan dua orang calon peserta ujian itu.

"Jadi ceritanya kamu nggak setuju nih kalo diadain uji kompetensi?"

Kali ini aku melirik. Perempuan berjilbab ungu yang sedari tadi terus tersenyum menanggapi keluhan temannya itu melebarkan kedua matanya pada perempuan berjilbab hitam di sebelahnya. Senyuman masih saja ada di wajahnya.

"Kamu masih harus nanya?" Masih seketus sebelumnya.

"Kenapa? Karena ngalangin rejekimu?"

Perempuan berjilbab hitam itu memutar bola matanya. "Secara kan ribet banget, Ta. Kudu ujian lagi yang soalnya susah mampus, yang materinya itu lengkap dari bahan kuliah kita sejak semester satu. Bayangin dong udah berapa tahun aja itu? Tiga tahun! Mana inget aku pelajaran tiga tahun yang lalu. Udah gitu kan banyak tuh materi kuliah kita. Ya masak materi sebanyak itu kudu diapalin? Kenapa sih kudu ada uji kompetensi segala? Kudu ada STR segala? Dulu nggak pake gituan juga nggak papa kok!"

"Hmm.. Kalo menurutku sih uji kompetensi sama STR itu penting."

"Penting apa? Segala pake STR yang kudu diperpanjang yang syaratnya punya SKP. Endingnya apa? Sekarang orang jualan SKP kan? Banyak kan yang kalo ada seminar cuman maunya bayar seminarnya aja, nggak ngerasa perlu dateng, nggak juga merasa butuh buat belajar ilmunya, yang penting cuman bisa beli SKP buat menuhin target syarat perpanjangan STR aja. Nggak dapet manfaat ilmunya. Apa coba namanya kalo nggak ada manfaatnya?"

"Wow. Panjang. Hahahaha..."

Aku sedikit melirik perempuan berjilbab ungu itu. Di kedua matanya ada senyuman geli.

"Kamu nggak pengen tanya ke aku kenapa menurutku ujian kompetensi sama STR itu penting?" tanya perempuan berjilbab ungu itu.

"Nggak."

"Yaelah.. Jangan ngambek gitu dong.. Tanyalah.. Ayo tanya..."

Ada helaan napas kesal dari perempuan berjilbab hitam itu. "Ya udah aku tanya. Kenapa emangnya?"

"Penting, soalnya banyak manusia kayak kamu. Hahahaha..."

"See.. That's why I didn't wanna know why. I knew you'd say that."

"Hahaha.. Udah udah.. Jangan sewot gitu dong, Cintaaaaaa."

"Tauk."

"Oke. Sekarang aku tanya. Kamu yakin nggak kalo lulusan semua pendidikan profesi itu memiliki kualitas yang sama? Sama bagusnya, maksudnya."

"Ya nggak mungkin lah. Secara kualitas lulusan kan punya banyak faktor penentu, sistem pendidikannya, pengajarannya, kualitas pengajarnya...."

"Iya. Oke sori aku potong. Cukup. Intinya enggak, kan? Kamu nggak yakin kan? Pertanyaan selanjutnya nih. Kalo kamu sakit, dirawat di rumah sakit, terus dokternya.. perawatnya... petugas kesehatannya nggak kompeten. Mereka sebenernya nggak bisa apa-apa tapi karena sekolah mereka dulu itu sekolahan ecek-ecek yang cuman mentingin dapet mahasiwa dan dapet duitnya dan nggak peduliin kualitas pendidikan sama lulusannya jadi mereka dilulusin dengan nilai yang bagus sampe akhirnya bisa kerja di rumah sakit. Mau kamu dirawat sama mereka?"

"Wow. Panjang."

"Biar. Tapi jawab duluu.. Mau engga kamu dirawat sama mereka?"

"Ya jelas enggak, lah."

"Makanya itu. Kenapa uji kompetensi nasional itu penting? Biar kuaitas lulusan senegara ini tuh sama.. Sama-sama bagusnya. Jadi sekolahan yang ecek-ecek itu, yang selama ini nggak mentingin mutu lulusannya itu, mereka akan mulai peduli terus memperbaiki kualitas sistem pendidikan mereka."

"Hmmm..."

"Terus, kamu tadi juga ngeluhin kan gimana kamu bakal bisa inget materi dari sejak kita kuliah semester satu dulu? Ya ini jawabannya. Kalo nggak ada uji kompetensi, kamu bakalan belajar lagi nggak? Jujur deh. Enggak, kan?"

"Pret."

"Hahaha.. Jujur aja deh. Aku gitu juga soalnya. Dan kayaknya hampir semua orang. Hampir semua dari kita. Kalo nggak karena ngadepin ujian kompetensi, nggak dipaksa ngadepin ujian kompetensi, nghak bakalan aku belajar lagi. Padahal materinya sebenernya penting loh. Anatomi, fisiologi, kebutuhan dasar manusia... Di semester awal semua dan rata-rata dari kita udah lupa. Dulu kita belajar cuman sekedar buat lulus ujian semester, habis itu kita nggak nganggep penting. Padahal kalo udah kerja kan ilmu itu penting banget."

"Panjang."

"Hahahaha..."

Aku ikut tersenyum, tapi sekali lagi menyembunyikannya dengan meneguk sedikit isi botol air putihku.

"Tapi pengurusan STRnya bertele-tele. Birokrasinya susah. Bayar lagi. Paling-paling sebenernya ini caranya organisasi profesi buat cari duit aja. Akal-akalannya mereka aja buat cari untung."

"Hus. Kamu ini.. Hidupmu menderita banget."

"Menderita gimana? Enak aja!"

"Manusia yang hati sama pikirannya isinya negatif terus itu kan menderita sebenernya. Kayak kamu nih."

"Heh. Sial."

"Hahahaha.. Lah itu tadi buktinya. Padahal organisasi profesi kita ini udah berusaha membantu, berusaha membangun, memperjuangkan biar profesi kita ini semakin baik. Ya ini caranya. Harusnya kamu dukung dong."

"Heleh. Buktinya..."

"Apa? Jualan SKP?"

"Salah satunya."

"Gini deh.. Apapun yang sekarang lagi terjadi, coba kita lihat positifnya dulu. Urusan negatifnya, yang soal jualan SKP itu, nanti kita perbaiki ke belakang, yang penting sekarang kita perbaiki niat sama pikiran kita dulu. Hilangin pikiran negatif dulu."

"Hmmm.."

"Gini. Positifnya, sekarang banyak banget kan yang ngadain seminar, pelatihan, worshop. Iya kan?"

"Iya siiiih.. Cuman kaaaan..."

"Stop. Berhenti di situ dulu. Yang ngadain seminar, workshop, pelatihan semakin banyak. Artinya apdet ilmunya semakin gampang. Artinya orang-orang yang memiliki keinginan belajar ilmu-ilmu baru sekarang mulai terfasilitasi. Masih banyak loh orang yang memang pengen belajar. Dengan adanya kewajiban nyari SKP buat syarat perpanjangan SKP ini, orang-orang akan semakin terpacu buat ikut seminar.. Jadinya mereka akan terpapar dengan ilmu baru. Gitu. Dan gitu dulu. Yang penting itu dulu."

"Lainnya diperbaiki belakangan.. Ya ya ya..."

"Kan pelan-pelan. Dan emang nggak boleh instan. Segala sesuatu yang instan itu biasanya nggak lestari."

"Bahasamuu... Lestariiii..."

"Iya dong. Berproses.. Gini dulu.. Ujian kompetensi dulu, perpanjangan STR dulu.. Sambil jalan nanti pasti akan diperbaiki. Kan niat awalnya memang untuk memperbaiki kualitas semuanya."

"Hais.. Udah ah. Capek dengerin kamu. Panjang. Males. Ayo pulang. Hujan sudah reda."

Perempuan berjilbab hitam itu berdiri, lalu mengajak temannya untuk ikut berdiri.

"Mbak, udah reda hujannya. Belum mau pulang?" tanya perempuan berjilbab ungu itu ramah. Dia tersenyum padaku.

"Iya. Sebentar lagi. Duluan aja nggak papa."

"Beneran nggak papa kita duluan? Kalo kita duluan, mbaknya sendirian loh. Nanti nggak ada yang bisa dikupingin lagi obrolannya loh," sambung perempuan berjilbab hitam sambil tersenyum penuh arti padaku.

Ah, sial.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil