Dzalim




"Dzalim!"

Aku menghentikan kegiatanku sewaktu, entah sudah ke berapa kalinya, aku mendengar perempuan berkaca mata yang duduk di dekat kasir itu menggumamkan kata yang sama. Dzalim. Dengan nada penuh kebencian yang sama.

"Siapa yang dzalim, mbak?" Seorang perempuan lain yang duduk paling dekat dengannya bertanya. Mungkin, sama denganku, dia sudah mulai risih mendengar nada kebencian dari perempuan berkacamata itu.

"Pemimpin kita."

"Dzalim bagaimana?"

"Bagaimana tidak dzalim? Di era kepemimpinan dia, harga-harga meningkat. Semua bahan kebutuhan rakyat harganya jadi selangit. Bahkan cabe. Ya ampun. Cabe loh, harganya.. Tak masuk akal."

Perempuan satunya mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah tahu bahwa perempuan berkacamata di hadapannya masih belum selesai. Dan dia benar.

"Rakyat kecil digusur, disuruh pindah ke rusun tapi disuruh bayar. Udah gitu rusunnya kan jauh dari tempatnya bekerja. Artinya mereka harus mengeluarkan uang lebih untuk transportasi. Apa namanya itu kalo bukan dzalim?"

Perempuan berkacamata itu wajahnya dipenuhi kebencian.

Tapi lantas perhatianku teralihkan oleh suara lonceng tanda pintu dibuka. Dua orang anak laki-laki, dari pakaiannya aku tahu mereka anak kuliahan, memasuki kedai dan mendatangiku. Aku menyambut mereka dengan senyuman, sengaja lebih memilih untuk memfokuskan diri pada dua tamuku ini daripada wajah penuh kebencian perempuan berkacamata yang masih saja menumpahkan kekesalannya.

"Mbak, es kopi dua, ya?" kata salah satu laki-laki itu begitu sampai di hadapanku.

Aku memilih untuk melayani laki-laki ini saja. Lelah telingaku mendengar cerita tentang kebencian lagi. Harapanku, setelah aku menyelesaikan pesanan ini, perempuan itu sudah akan selesai dengan cerita kebenciannya.

"Padahal dulu waktu kampanye janjinya muluk-muluk. Berpihak pada rakyat kecil. Mana buktinya. Dasar dzalim!"

Belum selesai. Perempuan berkacamata itu ternyata belum selesai.

"Oh begitu." Perempuan yang satunya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mbaknya ini pengamatannya luar biasa," katanya. Kedua matanya terlihat begitu tulus.

Perempuan berkacamata itu tersenyum dengan segan.

"Kerja di mana, mbak?" tanya perempuan yang satunya lagi.

"Cuman pegawai biasa aja, Mbak."

"Kerja di kantor pemerintah sebelah, ya?"

"Kok tahu?"

"Saya sering lihat mbaknya soalnya. Saya kerja di rumah sakit situ. Kalo pas jaga pagi, saya kan sering bareng sama mbak di bus. Kayaknya rumah kita searah."

Perempuan berkacamata itu mengangguk-anggukkan kepala. "Ini nggak kerja?"

"Baru selesai jaga malam, Mbak. Hari ini libur."

Perempuan berkacamata itu mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. "Tapi memang pemerintah kita ini...." Dia masih melanjutkannya. Lagi.

"Kalo saya nggak berani sih mbak mau mengeritik pemerintah sebegitunya seperti mbak. Apalagi melabeli mereka dengan dzalim."

"Kenapa?" tanya perempuan berkacamata itu.

"Ya masalahnya saya sendiri saja, sebagai rakyat, belum bener jadi orang. Masyarakat kita saja juga belum semuanya bener jadi masyarakat. Masih banyak yang korupsi, nyuri, mabuk.... Masih banyak yang nyante dan nyaman sama maksiat. Bahkan, saya rasa, semakin kemari masyarakat kita semakin merasa nyaman melakukan dosa saja. Semakin tak takut, semakin bangga justeru. Sering kan kita ini waktu ngumpul-ngumpul sama temen malah dengan bangganya menceritakan dosa-dosa masa lalu kita? Dosa kok bangga. Bermaksiat kok bangga."

"Jadi intinya apa?"

Perempuan yang lain itu tersenyum sembari memasukkan ponsel dan dompetnya ke dalam tas, mengangkat gelas plastiknya yang masih berisi setengah, bersiap pergi.

"Dan demikianlah kami jadikan sebagian orang yang dzalim sebagai pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan amal yang mereka lakukan," katanya sebelum kemudian tersenyum. "Mungkin benar pemerintah kita ini dzalim. Tapi mungkin kita ini diberi pemerintah yang dzalim karena kesalahan kita sendiri, karena kita semua ini masih menikmati maksiat. Menikmati korupsi misalnya. Korupsi waktu misalnya. Dibayar oleh uang rakyat, tapi dengan santainya menghabiskan waktu di tempat ngopi saat jam kerja."

Lalu perempuan itu menganggukkan kepala, tersenyum, dan mulai melangkah meninggalkan perempuan berkacamata yang di wajahnya ada gulungan emosi yang aku tak tahu apa namanya.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup dari Jendela Bus

Bulan Separuh

The World is On Fire, Tentang Serial Daredevil